Jumat, April 26, 2024

Pak Emil Salim dan Tarik Ulur Pemindahan Ibu Kota

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.

Presiden Joko Widodo telah membuat keputusan politik untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Pulau Kalimantan. Ini keputusan yang berani di tengah kelesuhan ekonomi nasional sejak tiga tahun terakhir. Bahwa ada pro dan kontra dengan rencana pemindahan tersebut adalah hal yang wajar. Salah salah satu yang keberatan dengan rencana pemindahan ibu kota itu adalah Prof. Dr. Emil Salim, Guru Besar (emeritus) FEUI dan mantan menteri beberapa periode pada masa Orde Baru.

Ada dua keberatan yang disampaikan Pak Emil. Pertama, pemerintah semestinya lebih fokus menyelesaikan masalah-masalah krusial yang ada di Jakarta, seperti banjir, macet, kotor, dan semacamnya, bukan menghindarinya dengan memindahkan ibu kota. Kedua, seharusnya pemerintah menyiapkan anggaran untuk menghadapi bonus demografi pada 2030, ketimbang menggelontorkan anggaran untuk memindahkan ibu kota.

Saya justru memiliki pandangan yang berbeda dengan Pak Emil. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan krusial di Jakarta salah satunya adalah dengan memindahkan ibu kota agar kegiatan-kegiatan nasional tidak menumpuk di Jakarta. Selama Jakarta masih menjadi ibu kota negara, maka magnet urbanisasinya akan tetap sangat kuat sehingga persoalan-persoalan terkait dengan kependudukan, lingkungan hidup, dan lingkungan sosial bukan akan selesai, tapi akan terus bertambah.

Saya masih ingat betul pernyataan Pak Emil saat menjadi Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada tahun 1985. Saat itu Pak Emil menyatakan bahwa Kota Jakarta itu hanya layak dihuni maksimal lima juta penduduk saja. Pada Sensus 2010 penduduk Jakarta pada malam hari sudah mencapai 10,5 juta jiwa, sekarang mungkin sudah mencapai 12 juta jiwa.

Pada siang hari diperkirakan ada penambahan dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) sekitar tiga juta jiwa. Atau total 15 juta pada siang hari. Jumlah ini tiga kali lipat dari yang diprediksikan oleh Pak Emil saat itu. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah melebihi kapasitas, rasanya sulit mencari solusinya.

Tata ruang di Jakarta sudah telanjur menempatkan pemukiman warga ke pinggiran dan membangun kompleks perkantoran di tengah kota, sehingga pada pagi hari orang berbondong-bondong ke tengah kota, dan pada sore hari pulang kerja juga berduyun-duyun ke pinggiran kota. Ini yang menyebabkan kemacetan di Jakarta sulit terhindarkan. Akan diselesaikan dengan cara apa masalah kemacetan di Jakarta kalau desain tata ruangnya sudah salah?

Penyiapan masalah bonus demografis agar tidak menjadi bencana demografis juga tidak mungkin hanya berkonsentrasi di Jawa. Yang tertinggal itu justru daerah-daerah seperti Kalimantan, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan wilayah Pulau Papua. Seluruh penduduk yang bermutu (negeri maupun swasta) ada di Jawa, sementara anak-anak usia sekolah yang perlu perhatian ekstra justru ada di wilayah timur Indonesia.

Sejarah 74 tahun Indonesia merdeka sudah membuktikan bahwa pembangunan pendidikan dan kesehatan yang bagus pun selalu berada di dekat kekuasaan. Kalau kekuasaannya ada di Jawa, maka yang akan diperhatikan ya yang dekat dengan kekuasaan (Jawa). Otonomi daerah, yang diasumsikan akan mendorong perkembangan daerah dan pemerataan lebih cepat, ternyata tidak terbukti karena pejabat daerahnya lebih suka menghabiskan waktunya di Jakarta dan sekitarnya. Maka, memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan akan mendekatkan kekuasaan dengan daerah-daerah yang tertinggal tersebut.

Posisi Tengah-Tengah

Saya mendukung pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan bukan kali ini, tapi sejak masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kali ini saya pun mendukung penuh keputusan politik yang diambil Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur dengan sejumlah alasan.

Pertama, posisi ibu kota yang baru berada di tengah-tengah wilayah NKRI, jadi semua merasa dekat, baik yang di ujung barat (Aceh) maupun ujung timur (Papua). Jadi, adil untuk semua wilayah yang akan bertemu dengan presiden atau menteri di pusat kekuasaan.

Kedua, mendekatkan pengawasan pemerintah ke daerah-daerah yang masih tertinggal agar mereka semakin mendekati pembangunan di Jawa. Ketiga, membagi beban kependudukan yang sekarang ini 58% menumpuk di Jawa, sementara Pulau Jawa hanya sepertiga Pulau Kalimantan.

Keempat, mengurangi kepadatan arus lalu lintas baik di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) maupun di Kota Jakarta itu sendiri, karena sebagian kepadatan di Bandara Soetta maupun Jakarta itu dipicu oleh perjalanan orang-orang daerah yang berurusan dengan pemerintah pusat. Bila ibu kotanya pindah ke Kalimantan, otomatis penerbangan dari daerah-daerah tidak semuanya ke Jakarta, melainkan ke Kalimantan, sehingga kepadatan lalu lintas di Bandara Soetta maupun Kota Jakarta akan berkurang. Jadi, pemindahan kota justru menjawab kritik Pak Emil Salim tersebut.

Betulkah sekitar 30% aparatur sipil negara (ASN) memilih pensiun dini kalau ibu kota pindah ke Kalimantan? Saya tidak mempercayainya, mengingat sulitnya menjadi pegawai negeri saat ini. Bahkan tak sedikit orang rela membayar ratusan juta rupiah agar dapat diterima sebagai ASN, anggota TNI, atau Polri. Mereka juga rela mendaftar di daerah-daerah di luar Jawa yang peluangnya diterima menjadi ASN, anggota TNI, atau Polri cukup tinggi.

Jadi, kalau ASN, anggota TNI, dan Polri itu hanya diminta pindah ke ibu kota baru yang lebih nyaman, terbebas dari kemacetan, dan tersedia lembaga pendidikan maupun kesehatan yang baik, juga tersedia asrama bagi mereka, tentu mereka akan dengan senang hati menjalaninya. Apalagi sarana transportasi udara yang menghubungkan Jawa dan Kalimantan juga lancar, tidak ada alasan lagi mereka enggan untuk pindah ke ibu kota baru.

Mereka yang menolak adalah yang berusia 45 ke atas. Tapi, itu justru merupakan blessing in disguise karena posisi mereka dapat diisi oleh tenaga-tenaga yang lebih muda, energik, kreatif, dan inovatif sehingga tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.

Masalah legalitas hukum sebagai dasar pemindahan ibu kota akan mudah diselesaikan setelah ada keputusan politik. Konsekuensi hukum dari keputusan pemindahan ibu kota adalah UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara perlu segera direvisi

Terkait dengan potensi gempa besar yang pernah terjadi pada 14 Mei 1921, sebetulnya wilayah Jakarta juga punya riwayat kegempaan yang dahsyat, terjadi pada 22 Januari 1780. Yang penting kalau sudah mengetahui potensi gempa besar, maka seluruh bangunan baru wajib memperhitungkan ketahanan gempa dan disertai pula jalur evakuasinya yang lebih jelas dana aman.

Mereka yang keberatan dengan rencana pemindahan ibu kota juga berlindung pada besarnya dana yang diperlukan untuk memindahkan ibu kota yang total mencapai Rp 466 triliun. Namun, dana tersebut lebih kecil dibandingkan dengan kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur transportasi di wilayah Jabodetabek yang mencapai Rp 520 triliun lebih dan belum tentu dapat mengatasi kemacetan.

Kecuali itu, dana sebesar itu amat besar bila dialokasikan dalam satu tahun anggaran saja. Namun, bila dianggarkan selama 5-10 tahun anggaran, tidak akan terasa besar. Lebih besar dana APBN yang bocor setiap tahunnya yang mencapai rata-rata 30%.

Pembangunan infrastruktur kota baru pasti dilakukan secara bertahap, tidak mungkin berjalan sekaligus, karena pasti memerlukan waktu lama pula. Misalnya, pada tahap awal adalah penyiapan lahan (pembebasan dan pemerataan lahan), lalu pembangunan infrastruktur transportasinya, jaringan listrik dan telekomunikasi, barulah tahap berikutnya pembangunan gedung-gedung pemerintahan, dimulai dengan pembangunan Istana Negara, markas militer, markas Polri, diikuti dengan pembangunan gedung-gedung kementerian/lembaga, asrama bagi pegawai ASN, anggota TNI, Polri, BUMN, dan lainnya.

Lalu fasilitas penunjang lainnya seperti sekolah-sekolah, rumah sakit, stadion olah raga, gedung kesenian, taman, dan sebagainya. Dengan jangka waktu pembangunan yang bertahap, otomatis penganggarannya juga bertahap, tidak dalam satu tahun anggaran saja. Artinya, keluhan mengenai besaran anggaran yang diperlukan untuk memindahkan ibu kota tersebut tidak perlu ada. Betul jumlah totalnya besar, namun untuk jangka waktu 5-10 tahun anggaran tersebut menjadi relatif kecil.

Satu-satunya kendala yang dihadapi saat ini untuk bergerak mulai membangun memindahkan ibu kota adalah kelesuan ekonomi yang terus terjadi. Kalau kita perhatikan, tahun 2019 ini penerimaan pendapatan negara, baik dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP), mengalami penurunan, sehingga defisit anggaran meningkat. Sampai bulan Juli lalu, penerimaan pajak baru mencapai 44,73%, sedangkan PNBP baru 63,78% dari target APBN 2019.

Kelesuhan itu salah satunya dipicu oleh kondisi ekonomi sejumlah negara yang menerima ekspor kita juga sedang mengalami resesi ekonomi. Bila kondisi ekonomi nasional yang lesu ini sulit dipulihkan, itu dapat menjadi kendala awal untuk memindahkan ibu kota. Karena itu, pekerjaan rumah (PR) terbesar pemerintahan Jokowi sekarang adalah memulihkan kondisi ekonomi tersebut.

Baca juga

Belajar Melupakan Jakarta

Saatnya Jokowi Memindahkan Ibu Kota

Pemindahan Ibu Kota Negara: Dari Imam Ali, Sukarno, hingga Anies Baswedan

Bedol Ibu Kota bukan Bedol Desa

Ibu Kota Baru dan Mimpi Sang Bapak Proklamator

Darmaningtyas
Darmaningtyas
Analis pendidikan/Pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta; aktif di MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) dan Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.