Kamis, Juli 17, 2025

Pajak Trump, Resiko Global

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

\Meskipun upaya perdamaian Donald Trump untuk mengakhiri konflik di Ukraina dan Rusia belum membuahkan hasil, Presiden AS ini baru saja merayakan kemenangan besar di negerinya. Kongres Amerika Serikat dengan bangga meloloskan rancangan undang-undang yang ia sebut “Big Beautiful Bill”—sebuah pencapaian yang digadang-gadang sebagai “hadiah ulang tahun terbaik untuk Amerika.” Bagi Trump, ini bukan sekadar kemenangan, melainkan penegasan agenda dan janji-janji kampanyenya: meningkatkan anggaran militer, memperkuat pendanaan deportasi, dan memangkas pajak sebesar $4,5 triliun.

Tentu saja, warga Amerika akan merasakan dampak langsung dari undang-undang monumental ini. Namun, jangan salah, dampaknya meluas jauh melampaui perbatasan AS. RUU ini membawa konsekuensi global yang signifikan, memengaruhi investor dan pedagang di seluruh dunia, membebani pekerja pabrik yang memasok barang ke Amerika, dan bahkan menekan pemerintah yang mungkin menghadapi ancaman tarif baru. Mari kita selami lebih dalam implikasi-implikasi penting ini.

Bagi para investor, khususnya mereka yang berniat menanamkan modal di Amerika Serikat, undang-undang ini membawa berita yang kurang menyenangkan. RUU ini diperkirakan akan memicu lonjakan drastis utang nasional AS, melonjak lebih dari $4 triliun. Meski dampaknya tidak instan, kenaikan ini pasti akan terjadi. Pemangkasan pajak dan peningkatan pengeluaran yang diusung Trump bakal membengkakkan beban utang Amerika, mengurangi pendapatan pemerintah, dan pada akhirnya, membuat utang AS menjadi lebih berisiko.

Saat ini, persoalan utang Amerika sudah cukup mengkhawatirkan, dengan total utang pemerintah yang nyaris menyentuh $37 triliun. Selama puluhan tahun, obligasi Amerika dikenal sebagai investasi yang sangat stabil dengan peringkat triple-A. Namun, pada bulan Mei lalu, Moody’s, salah satu lembaga pemeringkat terkemuka, telah menurunkan peringkatnya menjadi double-A1. Penurunan ini sebagian besar diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan Trump sebelumnya, seperti perang dagang dan pengeluaran yang tidak terkendali. Dengan disahkannya undang-undang baru ini, yang kian memperkuat kebijakan-kebijakan tersebut, investor kemungkinan besar akan semakin berhati-hati dalam mengambil keputusan.

Undang-undang terbaru yang diinisiasi oleh Donald Trump berpotensi memberikan dampak signifikan bagi jutaan pekerja asing di Amerika Serikat, terutama mereka yang secara rutin mengirimkan uang kembali ke negara asal mereka. Inti dari kebijakan ini adalah rencana Trump untuk memberlakukan pajak sebesar 1% pada setiap transaksi pengiriman uang (remitansi). Pajak ini akan berlaku untuk berbagai metode transfer, termasuk uang tunai, wesel, dan cek kasir.

Ketentuan pajak baru ini dirancang untuk menargetkan seluruh warga negara non-AS, namun dampaknya akan terasa paling besar di India. Negara Asia Selatan ini menjadi sorotan utama karena posisinya sebagai penerima remitansi terbesar dari Amerika Serikat. Ini berarti, ribuan keluarga di India yang bergantung pada kiriman uang dari kerabat mereka di AS harus bersiap menghadapi pengurangan pendapatan bersih.

Sebagai gambaran, tahun lalu India menerima $33 miliar dari AS, jumlah yang setara dengan hampir 28% dari total remitansi yang masuk ke negara tersebut. Banyak keluarga di seluruh dunia sangat bergantung pada aliran dana ini untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan adanya pajak baru ini, anggaran bulanan mereka jelas akan terpangkas. Dampak negatifnya tidak hanya akan dirasakan oleh keluarga di India, tapi juga oleh jutaan pekerja dari negara-negara lain seperti Meksiko, Tiongkok, Filipina, Prancis, Pakistan, dan Bangladesh.

Bukan hanya itu, para pendukung energi bersih juga akan merasakan dampak pahit dari RUU ini. Trump mencabut berbagai konsesi pajak untuk industri ini, mengakhiri pemotongan pajak untuk energi terbarukan dan memperkenalkan aturan baru yang mempersulit perusahaan untuk mengklaim keringanan pajak. Tak berhenti di situ, undang-undang ini juga menghapus keringanan pajak untuk pembelian kendaraan listrik (EV). Langkah ini menuai kecaman keras dari tokoh seperti Elon Musk, yang bahkan menyebut RUU ini “gila dan merusak.”

Meskipun banjir kritik, Presiden Trump tetap teguh pada rencananya. Sebelumnya, kredit pajak telah menjadi kunci sukses bagi produsen kendaraan listrik (EV) seperti Tesla, membantu mereka tumbuh dan bersaing. Namun, dengan berakhirnya konsesi ini, bisnis mereka terancam rugi, bahkan margin keuntungan bisa terpangkas. Ini juga dapat menghambat rencana ekspansi, membuat perusahaan seperti Tesla berpikir ulang sebelum menjajaki pasar baru seperti India, atau bahkan menuntut konsesi besar untuk investasi.

Di sisi lain, undang-undang ini membawa angin segar bagi kelompok bisnis besar di Amerika. Mereka akan menikmati konsesi signifikan untuk pembelian peralatan dan pengeluaran riset & pengembangan (R&D). Produsen chip semikonduktor juga kecipratan untung; jika mereka meningkatkan produksi chip di AS, mereka akan menerima keringanan pajak.

- Advertisement -

Pada intinya, melalui “Big Beautiful Bill,” Trump menepati janjinya kepada korporasi raksasa di Amerika Serikat. Undang-undang ini memang sangat menguntungkan mereka, namun bagi sebagian besar dunia, dampaknya mungkin tidak secerah itu.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.