Donald Trump, bakal calon Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, menuntut Presiden Amerika Serikat Barack Obama tegas menyikapi insiden penembakan di Orlando, AS, yang menewaskan 50 korban jiwa. Tegas, menurut selera logika Trump, adalah menyatakan secara eksplisit bahwa pembunuhan tersebut merupakan aksi terorisme Islam. Karena pelakunya seorang Muslim radikal.
Jadi, bagi Trump, tak ada alasan untuk tidak menyandingkan Islam dengan kata radikal atau teroris. Tak cukup hanya menuntut Obama, Trump bahkan mengancamnya: “Apakah Presiden Obama pada akhirnya akan menyebutkan kata-kata terorisme Islam radikal? Jika dia tidak melakukannya, ia harus segera mengundurkan diri secara tidak hormat.” (cnn.com, 13/6/2016).
Reaksi keras Trump ini muncul setelah dalam peryataan resmi yang disampaikan beberapa saat setelah kejadian, Obama sama sekali tidak menggunakan terminologi “Islam radikal”. Kata Obama, pembantaian di Orlando adalah aksi terorisme yang didasari oleh kebencian, bukan oleh sebuah paham tertentu. Obama memilih menyandingkan kata “teror dengan kebencian”, bukan kata “Islam dengan radikal”.
Obama enggan menyeret-nyeret paham tertentu (Islam) ke pusaran masalah. Ini yang tak bisa diterima oleh Trump yang selama ini kerap melontarkan ujaran kebencian pada Islam.
Sekadar diketahui, Obama memang sudah berjanji untuk tidak menyandingkan Islam dengan kata radikal atau teror. Janji ini diikrarkannya saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perlawanan terhadap Kekerasan Ekstremis pada Februari 2015. Menurut Obama, kata itu akan memicu stereotip terhadap umat Islam yang mayoritas sebenarnya menolak paham radikal. “Kami tidak sedang berperang dengan Islam. Kami tengah berperang dengan orang-orang yang menyesatkan Islam,” kata Obama (abcnews.go.com, 13/6/2016).
Penyebutan “Islam radikal”, kata Obama, hanya akan memicu radikalisme dan kebencian terhadap Barat yang ditahbiskan oleh kelompok-kelompok radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Dengan kata lain, jika kita menggunakan kata itu, berarti kita masuk jebakan “stereotip” yang dirancang kelompok radikal. Semakin sering kata itu didengungkan, semakin menguntungkan para teroris. Karena memang itu yang mereka inginkan. Demikian kira-kira cara pandang Obama.
Saat ini kita memang sedang berada di dunia yang penuh dengan stereotip dan stigma. Kedua hal itu kemudian melahirkan generalisasi: pandangan terhadap sebagai Muslim menjadi dasar menilai seluruh Muslim dan Islam sebagai agama. Efeknya, fobia dan kebencian terjadi di berbagai level kehidupan.
Kita ambil contoh: ketika nama Omar Mateen diumumkan sebagai pelaku penembakan di Orlando, asosiasi sebagian publik AS segera mengarah pada agama Islam. Apalagi Omar memiliki rona wajah Arab. Tak cukup itu, Omar juga seorang imigran dari Afganistan, negeri lahirnya Al-Qaidah dan Taliban. Selama ini stereotip dan stigma yang telanjur dianggap benar oleh sebagian publik AS dan Eropa ini: Islam itu agama teror, Islam itu Arab, dan imigran itu “penyakit” sosial.
Jadi, dalam kasus penembakan di Orlando, ketiga anasir itu tak ada yang absen: Islam + Arab + imigran = terorisme. Kesimpulannya: penembakan yang dilakukan Omar dilatarbelakangi oleh motif keislaman. Akhirnya, fobia terhadap Islam semakin kuat: di mana ada Muslim, di situ ada potensi teror. Akhirnya, tumbuh kebencian pada Islam.
Itulah alur “kereta” logikanya: bermula dari “stasiun” stereotip-stigmatisasi dan berakhir di “stasiun” kebencian. Dan inilah “kereta” logika yang sedang “dikendarai” oleh Trump untuk mengantarkannya sampai di Gedung Putih. Terbukti, sejauh ini “jualan” Trump ini laku, sehingga ia bisa mendapatkan tiket sebagai calon presiden AS dari Partai Republik. Sebagian publik AS menganggap logika Trump itu masuk akal.
Dalam kondisi di mana stereotip dan stigmatisasi sudah pada level yang akut, sulit sekali mempertahankan cara pandang yang masih objektif. Sulit bagi rakyat AS untuk tidak menggeneralisasi Muslim dan mengidentikkan Islam sebagai agama teror. Sulit juga untuk tidak fobia dengan Islam.
Apalagi beberapa aksi teror memang memiliki anasir-anasir keislaman: baik nama pelaku yang Islami, berwajah Arab, maupun beridentitas imigran. Dalam kasus penembakan di Orlando, misalnya, beberapa saat setelah kejadian ISIS mengklaim bertanggung jawab atas aksi tersebut. Hasil investigasi juga menunjukkan bahwa pelaku pernah berbaiat pada ISIS. (cnnindonesia.com, 13/6/2016).
Meski keterkaitan dengan ISIS ini perlu ditelusuri lebih jauh validitasnya, secara prematur telah berkontribusi menanamkan stigma dan stereotip tentang Islam di kesadaran sebagian publik AS. Selama ini publik AS dipertontonan dengan “brand-brand” kesohor dalam melakukan teror: Al-Qaidah, ISIS, Taliban, Osama bin Laden, Abu Bakar Baghdadi. Semua brand tersebut mempromosikan produk yang sama: Islam kekerasan. Pola-pola seperti inilah yang mempersulit publik AS untuk tidak termakan oleh stigma dan stereotip. Terutama ketika mereka menjadi korban teror.
Sekali lagi, kita relatif bisa memahami kesalahpahaman sebagian publik AS yang mengidentikkan Islam dengan radikalisme dan menggeneralisasi Muslim sebagai teroris. Secara psiko-politis, ini bisa dipahami. Tapi, apakah mengidentikkan Islam dengan teror adalah solusi? Jawabannya: jelas bukan solusi. Malah sebaliknya: sikap ini bukan hanya akan memperparah masalah, tapi memproduksi kekerasan baru. Seperti kata Obama, membenci Muslim tidak menyelesaikan masalah.
Bagi Obama, kata “Islam radikal” hanya akan semakin memicu radikalisme dan kebencian terhadap Barat yang selama ini didengungkan kelompok bersenjata seperti ISIS. “ISIS mencoba memposisikan diri sebagai pemimpin agama, ksatria suci dalam mempertahankan Islam. Kita jangan sampai menerima peryataan yang mereka buat, karena itu adalah kebohongan berat,” kata Obama (cnnindonesia.com, 14/6/2016).
Hillary Clinton, calon presiden dari Partai Demokrat, juga memiliki argumentasi yang sama dengan Obama. Bagi Hillary, ada dua alasan mengapa penyebutan Islam radikal tidak menyelesaikan masalah: (1) penyebutan itu tidak memberi keadilan bagi sebagian besar Muslim di negara ini dan seluruh dunia yang merupakan masyarakat damai; (2) penyebutan itu menciptakan bentrokan peradaban yang menjadi alat perekrut bagi ISIS dan kelompok jihadis radikal lainnya.
Bagi Hillary, sikap ekstrem Trump justru merupakan “alat perekrut terbaik” anggota ISIS. Sikap seperti itulah yang melahirkan generasi yang dipenuhi stigma dan stereotip, sehingga menjadi ladang subur bagi kelompok radikal untuk merekrut anggota.
Jadi, seperti lingkaran setan: stigma dan stereotip memproduksi kekerasan dalam wujud yang baru. Dengan menolak mengidentikan Islam dengan radikalisme, baik Obama maupun Hillary, ingin memotong mata rantai problem terorisme global. Keduanya ingin persoalan ini berhenti di satu “stasiun” kesimpulan: kebencian. Bukan berhenti di “stasiun” kesimpulan yang stereotip: Islam.
Obama bahkan mencoba berefleksi lebih jauh ke belakang. Menurutnya, kemunculan ISIS merupakan konsekuensi tidak langsung kebijakan invasi Presiden George W. Bush ke Irak tahun 2003. “Sebelum ‘menembak’, kita harus tahu sasaran terlebih dahulu,” sindir Obama pada ironi kebijakan invasi yang justru memperakut problem terorisme (foreignpolicyjournal.com, 23/3/2015).
Problem terorisme memang tidak berdiri secara tunggal. Ia kompilasi berbagai problematika: politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Terorisme tak dapat dilepaskan dari masalah ketidakadilan ekonomi-politik global. Dominasi dan hegemoni Barat atas Timur (Islam) telah melahirkan padangan negatif Timur (Islam) terhadap Barat. Pola relasi antara keduanya tidak setara, tapi subordinatif.
Bagi Timur (Islam), kolonialisasi fisik memang telah usai, namun bermetamorfosa dalam bentuk penjajahan ekonomi, politik, dan juga budaya. Kapitalisme menjadi legitimasi tindak eksploitasi ekonomi Barat terhadap Timur (Islam).
Akhirnya, perasaan diperlakukan tidak adil oleh Barat menjadi api dalam sekam di dunia Timur (Islam). Di sinilah, “pihak ketiga” menciptakan stigma dan stereotip tentang Barat dalam paradigma orang Timur (Islam): bahwa Barat itu kafir (Kristen), penjajah, dan sewenang-wenang. Stigma bahwa Barat itu penjajah; penjajah itu kafir; kafir itu harus dibunuh. Terjadilah generalisasi: seluruh negara yang ada di belahan “Barat” dunia (AS dan Eropa) kafir.
Terjadi juga asosiasi: Barat selalu penjajah. Akhirnya, muncullah kebencian dari sebagian publik Timur (Islam) terhadap Barat. Sebagian publik Timur (Islam) termakan stigmatisasi dan stereotip.
Kondisi yang penuh stigma dan stereotip inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh “pihak ketiga” untuk menjalankan aksi terornya. Mereka melegitimasi aksi terornya sebagai bentuk perang (jihad) terhadap Barat. Mereka menggunakan Islam sebagai kendaraan aksinya. Terjadilah berbagai aksi terorisme dengan publik Barat sebagai sasarannya.
Sekali lagi, stigma dan stereotip dimanfaatkan sebagai celah untuk membenturkan dua peradaban: Barat dan Timur (Islam). Dan sekali lagi, “pihak ketiga” menang. Padahal, antara keduanya sebenarnya bisa hidup bersama. Lagi pula, tak jelas juga demarkasi antara “Barat” dan “Timur”. Ini semua efek dari stigmatisasi dan stereotipisasi.
Stigma dan stereotip telah melahirkan lingkaran setan kekerasan. Lalu, apa solusinya? “Pihak pertama” (Barat) dan “pihak kedua” (Timur/Islam) harus keluar dari jebakan stigma dan stereotip tentang yang lainnya. Dengan cara ini, celah (ruang kosong) yang selama ini digunakan oleh “pihak ketiga” untuk membenturkan peradaban tertutup.
Memang, ini bukan pekerjaan mudah. Bahkan, mungkin pekerjaan mustahil bagi sebagian kalangan. Tapi jika tidak, tetap saja stigma dan stereotip melilit kita dengan tali kekerasan.