Banyak analis sepakbola yang mencoba menguak motif kepindahan Neymar da Silva Santos Junior dari Barcelona ke Paris Saint-Germain. Alasannya macam-macam, mulai dari mencari gaji yang lebih tinggi hingga Neymar yang ingin menjadi satu-satunya “matahari” yang bersinar tak tertandingi.
Kabar kepindahan Neymar ini menguras banyak energi para penggemar sepakbola. Neymar, seperti halnya Lionel Messi, adalah aset yang amat dijaga oleh Barcelona. Kesebelasan Catalan tersebut bahkan memagarinya dengan klausus pelepasan (buy-out clause) senilai 200 juta paun. Angka tersebut hampir mustahil bisa ditebus oleh kesebelasan mana pun. Terlebih ada Aturan Financial Fairplay (FFP) yang digagas Konfederasi Sepakbola Eropa, UEFA, agar klub tak ceroboh dalam menghamburkan uang.
Selain itu, kepindahan Neymar juga bukan sesuatu yang diprediksikan, seperti halnya kepindahan John Stones dari Everton ke Manchester City yang memang sudah digosipkan semusim sebelumnya. Transfer Neymar terbilang cepat (dua pekan) dan tidak berlarut-larut. Apalagi kalau Federasi Sepakbola Spanyol tidak turut campur dengan menahan kontrak Neymar.
Pertanyaan utama yang mengemuka adalah dengan uang sebanyak itu, apa yang sebenarnya diincar oleh Paris Saint-Germain? Treble dengan tambahan raihan Liga Champions untuk pertama kalinya? Atau jangan-jangan, ini bukan soal Paris Saint-Germain semata?
Tentang Uang dari Timur Tengah
Paris Saint-Germain (PSG) bersama Manchester City melegitimasi bahwa uang bisa membeli segalanya, termasuk kejayaan. Dengan gelontoran dana melimpah, peningkatan prestasi signifikan adalah bukti yang tak terbantah.
Kedua kesebelasan sama-sama mendapatkan kucuran dari Timur Tengah. Namun, kalau mau dilihat lebih jauh, ada perbedaan yang amat signifikan di antara keduanya: Manchester City diakuisisi Abu Dhabi United Group pada Agustus 2008, sementara PSG oleh Qatar Sports Investment pada 2011.
Semenjak akuisisi tersebut, para pemain berlabel bintang mulai berdatangan, yang menaikkan tingkat kesadaraan orang-orang atas klub tersebut. Menjadi wajar pula rasanya kalau kedua kesebelasan tersebut mampu meraup banyak penggemar di belahan dunia lain.
Seperti kita ketahui, Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) bukanlah dua negara yang tengah berjabat erat. Seolah ada friksi di antara keduanya yang pada puncaknya, Qatar mendapatkan sanksi embargo dua bulan lalu dari Arab Saudi, Mesir, Kuwait, dan tentu saja UEA.
Mencari Motif Datangnya Neymar
Seseorang memiliki motif saat melakukan suatu hal. Pun dengan PSG, atau dalam hal ini Nasser Al-Khelaifi, Pimpinan Qatar Sports Investment, saat mendatangkan Neymar.
Apakah Neymar bisa membuat PSG langsung meraih gelar juara Liga Champions musim ini? Mungkin, tapi belum tentu.
Apakah Neymar bisa membuat PSG mampu mempertahankan gelar Liga Prancis untuk kelima kalinya secara beruntun? Tanpa Neymar pun agaknya PSG mampu melakukannya.
Apakah kehadiran Neymar bisa menguntungkan secara finansial? Ya! Di hari saat Neymar diperkenalkan, PSG sudah meraup 1 juta euro dari penjualan 10 ribu kostum bernama Neymar. Kalau tren ini tetap stabil (meskipun akan sulit terjadi dan mesti dibagi dengan penyedia apparel), cuma perlu 221 hari lagi buat PSG untuk “balik modal”.
Neymar, di luar kehebatannya sebagai seorang pesepakbola, juga mendatangkan keuntungan lain yang tidak terduga: citra.
Kehadiran Neymar akan membuat PSG lebih diperhatikan, setidaknya dari klip-klip di Instagram yang menunjukkan kehebatan Neymar mencetak gol. Ya, mencetak gol tanpa perlu sungkan harus memberikan kesempatan emas itu karena kini tidak ada Messi di PSG.
Citra sebuah brand atau merek punya pengaruh besar yang bisa berdampak pada penilaian konsumen. Salah satu contoh yang paling jelas adalah saat Samsung memutuskan untuk tidak melanjutkan kerja sama dengan Chelsea.
Memang, saat itu ada ketidaksesuaian soal pembaruan kontrak yang nilainya dua kali lipat. Namun, menurut Bussines Insider, penghentian ini tak lepas dari keinginan marketers Samsung di Inggris yang menilai kalau kerja sama tersebut tak cocok dengan strategi Samsung secara global.
Di Inggris, Samsung punya misi untuk menjadi “brand yang paling dicintai”. Tapi, di sisi lain, Chelsea justru termasuk kesebelasan yang punya banyak pembenci. Hal ini yang dikhawatirkan bisa berpengaruh terhadap brand Samsung itu sendiri.
Neymar juga bukannya tanpa pembenci. Beberapa kali ia tertangkap kamera tengah bersandiwara (baca: diving). Namun, bakat besarnya tak bisa disepelekan. Ia adalah salah satu bakat terbaik yang ada saat ini. Lagi pula membeli Neymar adalah keputusan tepat ketimbang mendatangkan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Baik Messi maupun Ronaldo sudah menginjak usia 30 tahun. Membeli Messi pun tak akan menyelesaikan masalah. Ini terbukti dari bagaimana ia seolah kesulitan menyesuaikan diri di lingkungan baru yang padahal rekan-rekannya berbicara dengan bahasa yang sama, di tim nasional Argentina.
Di sisi lain, Ronaldo memang mampu membawa Portugal juara Piala Eropa 2016, tapi faktor cedera membuat kondisinya mengkhawatirkan. Ratusan juta paun yang disiapkan bisa jadi hanya sebuah penghamburan.
Tahun ini, Neymar baru berusia 25 tahun. Kondisi fisiknya masih fit. Ia bisa beradaptasi dengan cepat, di Santos, di Barcelona, ataupun di timnas Brasil.
Satu-satunya yang masih belum terbaca adalah apakah dengan kehadiran Neymar bisa mengangkat permainan PSG secara drastis? Kalau ingin memenangi semua gelar, mengapa PSG tidak melakukannya secara perlahan? Dengan membeli banyak pemain potensial dengan diuji coba selama semusim misalnya? Toh Neymar masih bisa menunggu karena tahun depan pun buy-out clause-nya masih di angka 222 juta euro.
Persaingan Qatar dan UEA
Dalam beberapa hal, ada persaingan yang begitu terasa antara Qatar dengan UEA. Di dunia penerbangan, misalnya, Qatar punya Qatar Airways sementara UEA punya Emirates dan Etihad. Ketiganya masuk ke dalam delapan besar perusahaan penerbangan terbaik tahun 2017 versi Skytrax. Qatar Airways di urutan pertama, Emirates keempat (apakah ini pengaruh Arsenal?), sementara Etihad kedelapan.
Dalam dunia balapan, kedua negara punya sirkuit yang menggelar kejuaraan balap internasional. Qatar punya Sirkuit Losail yang kerap menjadi tempat pembuka ajang MotoGP, sementara UEA punya Sirkuit Yas Marina yang menggelar balapan penutup Formula 1. Satu hal yang membuat keduanya sama adalah pemasangan lampu yang membuat balapan bisa dimulai pada sore-malam hari yang juga mengatasi cuaca panas.
Cuaca panas ini pula yang menjadi kendala bagi negara-negara di Timur Tengah untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia. Berdasarkan USA Today, rata-rata suhu pada musim panas di Qatar mencapai 41 derajat celsius yang bisa melonjak hingga 45 derajat. Ini jelas bukan lingkungan yang tepat untuk sebuah turnamen tertinggi di dunia.
Namun, pada Desember 2010, Qatar mengejutkan semua orang karena terpilih sebagai penyelenggara Piala Dunia 2022. Ini sejarah baru karena untuk pertama kalinya Piala Dunia diselenggarakan di Timur Tengah.
Untuk mengakali cuaca panas, Qatar konon sudah menyiapkan unit pendingin udara baik itu di stadion maupun di luar stadion. Selain itu, untuk pertama kalinya pula, Piala Dunia akan dihelat pada musim dingin alias pada Desember.
Bisa jadi, Piala Dunia di Timur Tengah tak akan terjadi lagi pada waktu dekat, atau malah yang terakhir, yang menjadikan Qatar sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang bisa menyelenggarakan Piala Dunia. Dalam hal ini, Qatar unggul 1-0.
Neymar Sebagai Simbol
“Pembelian ini menunjukkan kalau Qatar masih terus berjalan, masih memiliki pengaruh secara internasional dan masih bisa menjadi pemain serius di sepakbola internasional,” kata Christoper Davidson, pengajar di Universitas Durham yang mengajar politik Timur Tengah, kepada The Washington Post.
Selain PSG, Manchester City pun dikabarkan amat berminat untuk mendatangkan Neymar. Setahun lalu, Ronaldinho bahkan yakin bahwa cuma City yang mampu membayar klausul pelepasan Neymar.
Namun, PSG selangkah lebih maju. Mereka sudah punya tiga pemain berkebangsaan Brasil: Thiago Silva, Marquinhos, dan Lucas Moura. Musim ini Dani Alves turut bergabung dari Juventus dengan status bebas transfer. Keempat Brasil ini adalah rekan Neymar di timnas, terutama Alves yang merupakan sahabat karibnya. Alves memang tidak terang-terangan, bahkan menolak, kalau dirinya disebut mempengaruhi Neymar.
“Aku (yang dulu) membantunya pindah ke Barcelona,” kata Alves yang mengabdi di Camp Nou sejak 2008. “Aku tak membuatkan keputusan buatnya, tapi aku bilang apa saja yang ada di Barcelona dan dia memutuskan untuk datang.”
Dipengaruhi atau tidak, yang jelas keputusan PSG dengan mendatangkan pemain Brasil sudah benar. Thiago Silva dan Dani Alves adalah dua sosok senior yang disegani oleh anggota skuat Brasil. Bukan tidak mungkin pula kalau Neymar merasa bahwa dirinya akan terbantu oleh kehadiran Silva dan Alves, bukan oleh Fernandinho, Ederson, apalagi Danilo.
“Ini adalah aksi soft power. Qatar perlu mendemonstrasikan kepada dunia bahwa, terlepas dari segala tuduhan yang diarahkan, Qatar adalah negara yang paling fleksibel di Timur Tengah sejauh ini,” kata Andreas Krieg, analis risiko politik untuk King’s College London.
“Memiliki pemain kelas dunia menunjukkan pada seisi dunia bahwa Qatar masih punya tekad. Mereka masih punya aset besar yang bisa mereka ambil dan kalau dibutuhkan, mereka akan menggunakan uang yang mereka punya untuk agenda selanjutnya.
Qatar unggul 2-0.
Dalam hal sepakbola, keunggulan Qatar ada satu lagi. Apalagi kalau bukan BeIN Sports yang juga dimiliki oleh Nasser. Di Timur Tengah, BeIN Sports merupakan pemegang hak siar eksklusif liga-liga top di Eropa termasuk Premier League, Ligue 1, dan Liga Champions.
Sehebat apa pun UEA, para penggemar sepakbolanya masih akan menyaksikan siaran yang dimiliki oleh tetangga yang mereka embargo. Malah, pelatih Al-Ahly berkebangsaan Mesir, Hossam el-Badry, dihukum dan didenda 10 ribu USD oleh Konfederasi Sepakbola Afrika, CAF. Gara-garanya, El-Badry enggan memberikan wawancara di Liga Champions Afrika, hanya karena BeIN Sports yang memegang hak siar turnamen tersebut.
Skor saat ini: Qatar 3, UEA 0.
Baca juga:
Di Sepakbola, Maaf Hanyalah Kata Belaka