Nama Cristiano Lucarelli tidak dikenal karena deretan trofi yang ia simpan dalam lemari. Bukan juga karena ia berhaluan kiri. Lebih dari itu, Lucarelli dikenang karena ia adalah satu dari sedikit pesepakbola yang terbuka atas pilihan politiknya.
Lucarelli merupakan putra daerah Livorno, kota tempat berdirinya Partai Komunis Italia. Ia lahir dan tinggal di Shanghai (Shangay), sebuah proyek permukiman pemerintahan fasis Italia kala itu. Dibangun pada 1930-an, Shanghai disebut sebagai favela-nya Italia. Lucarelli menyaksikan sendiri bagaimana kompleks permukiman di sana jauh dari kata nyaman.
“Saat Anda pergi ke toilet, semua orang di bangunan itu bisa mendengarnya,” kata Lucarelli dikutip dari Futball Grad.
Shanghai sendiri disebut sebagai salah satu wilayah “terkeras” di Livorno yang penghuninya mayoritas kelas pekerja. Shanghai juga dikenal karena kuatnya komunitas masyarakat di sana.
Tak banyak yang bisa dilakukan Lucarelli kecil untuk hidup, termasuk sekolah. Ia lebih sering menyepak bola bersama sang adik, Allesandro. Hal ini yang membuatnya bermimpi untuk menjadi pesepakbola, meski ia harus mengorbankan banyak hal, termasuk meninggalkan kampung halaman.
“Aku selalu menghabiskan masa kecilku di lapangan bersama adikku, Alessandro. Kami bermain dari pagi sampai malam. Kami selalu pulang dengan kehabisan nafas dengan baju yang sobek dan sepatu yang rusak,” ungkap Lucarelli dikutip dari These Football Times.
Karier sepakbola Lucarelli merangkak dari bawah dengan bergabung bersama Cuoiopelli pada 1992. Kariernya perlahan menanjak setelah bergabung bersama timnas Italia U-21 pada 1996.
Belum genap setahun, karier Lucarelli bersama timnas terhenti gara-gara masalah yang terdengar sepele. Saat merayakan gol, Lucarelli mengangkat kostum dan menutup wajahnya, yang sekaligus memperlihatkan wajah Che Guevara di baju dalam yang ia kenakan.
Sejak saat itu, tak ada lagi panggilan timnas untuk Lucarelli. Namun, Lucarelli tak peduli, karena Livorno lebih di atas timnas kadar kebanggannya.
Buat Lucarelli, Livorno adalah segalanya. Ia bahkan menyebut kalau hari pertamanya sebagai pesepakbola profesional di Cuoiopelli adalah hari tersedih dalam hidupnya. Alasannya? Karena itu untuk pertama kalinya ia berpisah dengan Livorno. Dikutip dari In Sun and Shadow, saat kereta membawanya dari Livorno ke Cuoiopelli, ia bahkan tak bisa menahan tangisnya. Padahal, Livorno dan Cuoiopelli masih berada di provinsi yang sama, di Tuscany.
Dedikasi Lucarelli untuk Livorno
Pada akhir musim 2002/2003, Lucarelli masih berseragam Torino. Namun, ia mendengar kabar kalau Livorno akan melakoni pertandingan penentuan promosinya mereka ke Serie B, tingkat kedua kompetisi sepakbola Italia.
Sialnya, pertandingan penentuan itu digelar bersamaan dengan jadwal pertandingan terakhir Torino di Serie A. Lucarelli pun memberanikan diri untuk meminta izin pelatihnya agar bisa menyaksikan pertandingan tersebut.
Di luar dugaan, izin ia kantungi. Ofisial Torino sampai berbohong kepada media kalau Lucarelli mengalami cedera sehingga tak bisa ikut bertanding. Dengan senyap, Lucarelli pulang ke Livorno dan berdiri di tribun penonton bersama para penggemar berat Amaranto—julukan Livorno.
Di pertandingan tersebut, Livorno berhasil promosi ke Serie B; sebuah momen yang mengagitasi Lucarelli untuk kembali ke kesebelasan masa kecilnya. Namun, ia tak bisa pindah dengan mudah. Ada beberapa hal yang membuat kepindahan tersebut terbilang sulit.
Livorno mesti berpikir banyak untuk membayar biaya transfer Lucarelli yang tentu saja tak murah. Namun, Lucarelli punya cara: Ia “membeli” kontraknya di Torino agar bisa pindah dengan gratis ke Livorno.
Di hari pertamanya sebagai pemain Livorno, ia pun mengeluarkan penyataan terkenal yang pasti jarang terdengar di sepakbola modern saat ini: “Some players buy themselves a Ferrari, or a yacht, for a billion lira. I bought myself a Livorno shirt.”
Berstatus sebagai penyerang berpengalaman, tak membuat Lucarelli tergesa-gesa meminta nomor punggung “9” atau “10” untuk dikenakan. Ia malah memilih nomor “99”.
Pemilihan ini merupakan bentuk rasa hormatnya terhadap ultras penghuni tribun utara Stadion Armando Picchi, Brigate Autonome Livornese (BAL), yang dibentuk pada 1999. BAL sendiri merupakan ujung tombak Livorno untuk menunjukkan seberapa komunisnya mereka pada dunia.
Perayaan gol Lucarelli pun amat khas. Ia mengangkat satu tangannya yang terkepal yang bersinonim pada salam kaum perlawanan dan kaum kiri. Berdasarkan The National, Lucarelli bahkan menyetel nada dering telepon genggamnya dengan The Red Flag atau Bandiera Rossa, yang merupakan salah satu lagu khas sosialis.
Selain mendukung penuh klub, BAL juga merawat komunis agar tetap hidup. BAL rutin merayakan hari ulang tahun Stalin, membawa simbol-simbol komunis ke stadion, dan membuat chants anti-fasis. Ini yang membuat BAL juga tak kalah rutin didenda karena menampilkan spanduk dan nyanyian anti-Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia yang berhaluan kanan-jauh.
Meski demikian, BAL juga menyerukan simpati atas ketidakadilan dari penjajahan terhadap Palestina. Lebih keras lagi, BAL pernah mem-boo saat dilakukan penghormatan atas tentara Italia yang wafat di Irak. BAL menyebut alasan boo tersebut karena mereka tak setuju dengan Pemerintah Italia yang mengacak-acak Irak.
Gerakan Perlawanan
Di Italia, khususnya di Livorno, komunis tidak bersinonim dengan hal yang aneh-aneh seperti “atheis”, “pembunuh para jenderal”, dan hal buruk lainnya. Di atas posisinya sebagai sudut pandang politik dan ekonomi, komunis menjadi gerakan perlawanan atas ketidakadilan.
Lucarelli tak segan mengungkapkan pandangannya soal sepakbola lewat alam pikir komunisme. Pada 30 April 2007, Lucarelli diundang Dr. John Foot, ke seminar di University College London di Italia. Tema seminar tersebut adalah “Money, Politics, and Violence: Is there any more space for passion in Italian football?”
Lucarelli berpendapat bahwa sepakbola Italia bisa saja berkembang asalkan para pemain, pelatih, suporter, diedukasi untuk menerima kekalahan dan tidak menghalalkan segala cara untuk menang.
“Saat saya menyaksikan sepakbola Inggris, saat ada kesebelasan yang terdegradasi, para penggemar tetap bertepuk tangan. Di Italia, Anda bahkan tak bisa keluar rumah,” kata Lucarelli.
Pemain kelahiran 4 Oktober 1975 ini menceritakan pengalamannya yang terdegradasi bersama sejumlah kesebelasan. Ia mengalami teror luar biasa yang juga berpengaruh pada keluarganya.
“Anda tak bisa mengantar istri belanja, mengantar anak ke sekolah. Kalau sedang tak beruntung, Anda akan bertemu dengan seseorang yang siap melakukan aksi kekerasan. Menang dengan segala cara, ini adalah masalah besar yang dimiliki sepakbola Italia,” ungkap Lucarelli.
Ucapan Lucarelli ini sendiri menyinggung skandal sepakbola Italia atau Calciopoli. Para pelakunya adalah kesebelasan besar yang mengatur pertandingan (match fixing) dengan menyuap kesebelasan lain.
Ini yang membuat Lucarelli menyebut kalau Livorno semestinya bermain di Liga Inggris; liga di mana anak-anak dan keluarga bisa menyaksikan langsung di stadion tanpa harus khawatir terjadinya kekerasan. Belum lagi sepakbola Inggris dibangun dan mengakar di kelas pekerja yang sesuai dengan dunianya Livorno.
Mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, menyebut kalau politik dan sepakbola tidak boleh dicampuradukkan. Kevin Nolan dalam tulisannya, Lucarelli and Di Canio: The Communist and The Fascist, justru menulis begini, “Politik memang tidak boleh mengambil peran di sepakbla, tapi tanpa politik, kedua pesepakbola itu (Lucarelli dan Di Canio) sekadar menjadi sosok biasa. Politiklah yang membuat mereka seperti sekarang ini.”
Mengapa para pesepakbola khas seperti Lucarelli jarang ditemukan? Lucarelli punya jawabannya. Ini karena rekan-rekan pesepakbola yang lain enggan terbuka soal pandangan politiknya. Dari sini bisa terlihat kalau para pesepakbola lain punya peluang kecil untuk menunjukkan solidaritas berdasarkan cara berpikir haluan politiknya.
“Aku yakin pesepakbola Italia lain juga punya minat pada politik. Namun, mereka lebih memilih menyembunyikannya untuk menghindari masalah,” kata Lucarelli.
Dikutip dari When Saturday Comes, Lucarelli pernah mendedikasikan golnya untuk 400 pekerja yang di-PHK di Florence. Lucarelli berujar, “Itu tak membantu mereka secara fisik. Namun, amat penting untuk menunjukkan rasa simpati Anda untuk mereka.”
Lucarelli akan menjadi komunis yang berbahaya jika ia menjadi marquee player kesebelasan di Liga Indonesia. Ketimbang berlatih, Lucarelli mungkin akan lebih sering mendampingi para petani yang melakukan aksi karena sumber air mereka akan dimusnahkan oleh pembangunan pabrik semen.
Dengan pandangan politik tersebut, Lucarelli tak segan untuk menunjukkan kepedulian, utamanya pada kelas pekerja dan masyarakat bawah. Pasalnya, Lucarelli hidup mengakar bersama mereka yang juga merasakan ketidakadilan.
Cara pandang ini sejatinya bukan untuk memasukkan politik ke sepakbola. Namun, pesepakbola adalah figur masyarakat yang perannya kadang dicontoh oleh para penggemarnya.
Saat Lucarelli menunjukkan simpatinya terhadap buruh yang di-PHK, perhatian masyarakat pun bisa teralihkan pada isu tersebut. Lucarelli menjadi pemicu bangkitnya tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap ketidakadilan.
Berhaluan apa pun Lucarelli, kanan, kiri, tengah, serong kiri, balik kanan, ia akan tetap dikenang; bukan sebagai seorang komunis, tapi sebagai simbol perlawanan.
Untungnya, Lucarelli tidak pernah bermain di Indonesia. Karena kalau tidak, ia akan mendapatkan perasaan yang sama seperti saat dirinya membawa sebuah tim ke jurang degradasi. Lucarelli akan membikin polisi banyak kerjaan, karena belum tidur sampai dini hari. Di mana para polisi akan menjaga rumahnya dari massa yang mencoba merangsek masuk sambil berteriak: “Ganyang PKI!”, “Bunuh Lucarelli!”
Ngeri!