Beberapa waktu terakhir, di media sosial ramai pembahasan yang menghadapkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan pendukungnya dengan Nahdlatul Ulama (NU). Bahwa Pilpres 2019 adalah pertarungan Prabowo-Sandiaga dan pendukungnya melawan NU, begitu pun sebaliknya. Bahwa kemenangan Prabowo-Sandiaga adalah kekalahan NU dan kemenangan Jokowi-Ma’ruf adalah kemenangan NU.
Saya sangat menyayangkan pihak-pihak yang sengaja membangun wacana menyesatkan itu. Karena secara logika dan fakta sama sekali tidak benar.
Prabowo-Sandiaga adalah pasangan capres-cawapres yang diusung oleh empat partai politik: Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN–sebagaimana diatur UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Dalam partai-partai tersebut terdapat orang-orang dari pelbagai golongan, termasuk NU. Saya sendiri contohnya. Saya adalah Wasekjen Gerindra sekaligus Ketua PP GP Ansor, badan otonom kepemudaan NU.
Tentu, sebagai nahdiyin, saya tidak mungkin melawan dan memusuhi NU, meskipun mendukung Prabowo-Sandiaga. Justru ikhtiar saya berpartai di Gerindra adalah upaya membesarkan organisasi tersebut. Sebagaimana keyakinan saya bahwa, NU tidak ke mana-mana, tapi harus ada di mana-mana.
Ikhtiar politik saya tidak bertentangan dengan AD/ART ataupun peraturan organisasi lainnya di GP Ansor maupun NU. Keduanya netral dalam politik dan membebaskan setiap kadernya menentukan pilihan politiknya sendiri, sesuai dengan hasil Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang mengembalikan organisasi itu dan seluruh badan otonomnya ke khittahnya sebagai ormas keagaamaan, buka lagi partai politik seperti pada pemilu 1955 dan 1971. Bukan pula menjadi parpol dalam fusi partai-partai Islam di PPP.
Lagi pula, Prabowo juga seorang nahdliyin. Ia adalah anggota kehormatan Banser NU. Ia pun dekat dengan banyak ulama NU, seperti KH Said Aqil Siraj, KH Maimoen Zubair, dan masih banyak lainnya. Bukan sekali dua ia meminta nasihat kepada kiai-kiai NU dalam menentukan langkahnya. Setahu saya, bahkan kemantapannya menjadi capres juga setelah meminta nasihat kepada kiai-kiai NU. Sehingga, tidak mungkin ia melawan NU.
Praktik di lapangannya, selama masa kampanye tidak pernah sekalipun Prabowo dan Sandiaga mendiskreditkan NU, baik secara lisan maupun perbuatan. Sebaliknya, mereka selalu berusaha merangkul para nahdiyin. Mereka berkunjung ke pesantren-pesantren dan sowan ke banyak kiai. Bukan sekadar perkara elektoral, tapi karena memang memiliki perhatian kepada pesantren dan NU. Karena, jauh sebelum menjadi pasangan capres-cawapres mereka pun telah sering berkunjung ke pesantren dan kiai-kiai.
Menurut saya, visi-misi Prabowo-Sandiaga sangat selaras dengan kebutuhan nahdiyin. Mereka ingin lapangan kerja tersedia, kebutuhan pokok murah, dan lain-lain yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat kecil. Hari ini banyak nahdiyin yang masih miskin, rakyat kecil. Tentu apabila semua hal tersebut terwujud, akan memberi manfaat kepada nahdiyin.
Tidak benar pula kalau Prabowo-Sandiaga pro khilafah dan ingin mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti yang menjadi salah satu dasar argumentasi nahdiyin harus memenangkan Jokowi-Ma’ruf. Mereka berdua adalah nasionalis. Sudah terdidik dari kecil untuk mencintai Indonesia dan mempertahankan Pancasila sebagaimana nahdiyin.
Sehingga, menurut saya, wacana menghadapkan Prabowo-Sandiaga sengaja dihembuskan orang-orang yang ingin menyeret NU ke politik kembali atau menjadikan organisasi itu sebagai tameng politik petahana.
Hal itu sangat disayangkan. Karena, menyeret kembali NU ke politik praktis sama saja mengkhianati hasil Muktamar NU 1984 yang berarti mengkhianati pula pemikiran ulama-ulama NU inisiator kembali ke khittah. Sedangkan, nilai terbesar dalam NU adalah tawadhu kepada kiai dan ulama, bukan yang lain.
Lebih dari itu, menyeret NU kembali ke politik sama saja mengerdilkannya. NU adalah organisasi besar yang memiliki tanggung jawab menjadi penyeimbang kehidupan beragama dan bernegara. Politiknya lebih besar daripada pemilu yang berlangsung lima tahunan. Politik NU adalah politik kebangsaan.
Namun, ketika NU diseret kembali ke politik praktis, posisi tersebut akan menyempit. Ia tidak akan lagi menjadi rumah bagi bersandingnya kepentingan agama dan negara dalam satu atap. Melainkan hanya menjadi rumah bagi segelintir orang dengan segelintir kepentingan politik. Membuat orang di luar NU akan selalu berpikir di mana organisasi itu saat pemilu selayaknya pikiran tentang parpol-parpol.
Di tengah tantangan kehidupan berbangsa yang semakin berat, karena sumber gesekan yang semakin beragam termasuk akibat politik, sudah semestinya menarik NU ke politik praktis yang berpeluang menyempitkannya dihindari. Karena hanya NU yang berpeluang besar berperan menengahi dan menyelesaikan gesekan-gesekan tersebut. Justru NU harus berperan menyeimbangkan kembali kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara setelah pemilu.
Jadi, saya sangat berharap kepada mereka yang selama ini menghembuskan wacana NU versus Prabowo-Sandiaga dan seluruh pendukungnya agar menghentikan tindakannya. Nahdiyin harus dibebaskan menentukan sikap politiknya di pemilu sesuai dengan hati nuraninya. Memilih petahana silakan, memilih Prabowo-Sandiaga silakan. NU harus tetap ada di mana-mana dan menjadi komando bagi terjuwudnya kehidupan berbangsa dan beragama yang harmonis. Karena, hanya dengan cara itulah cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur akan dapat tercapai.