Kaum minoritas cukup akrab dengan kata yang satu ini, karena sebagian orang menganggap sekadar menganut keyakinan yang berbeda dengan keyakinannya sebagai penodaan.
“Noda” mengandung dua arti. (1) Arti primer, yaitu arti yang semula dimaksudkan di balik kata itu. Noda dalam arti primer adalah bercak atau noktah berwarna khas di tengah warna lain yang lebih banyak dan merata.
(2) Arti sekunder, yaitu arti yang semula bersifat metafora atau majazi atau kiasan, namun karena penggunaan yang dominan dalam pengujaran, bergeser menjadi arti primer, meski secara kesusatraan tetap ia bersifat metafor atau kiasan. Noda dalam arti sekunder adalah aib atau sesuatu yang berbeda dengan norma umum.
Secara umum, arti primer dan arti sekunder noda adalah sesuatu yang dianggap merusak keindahan karena berbeda dan terkesan muncul tanpa kehendak, meski belakangan bercak-bercak berwarna kontras justru digemari oleh banyak orang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ditetapkan bahwa noda dalam makna awal adalah noktah (yang menyebabkan kotor) bercak: tampak—hitam dari tinta pada kemejanya; terdapat—darah pada baju; dan dalam makna kedua adalah aib; cela; cacat dan dosa.
Mengikuti arti primer dan sekunder “noda” sebagai kata benda, lahir kata kerja “menodai”. Ia adalah kata yang berarti secara primer sebagai perbuatan yang berakibat terciptanya bercak fisik; dan berarti secara sekunder sebagai perbuatan yang dianggap sebagai tindakan dengan dorongan tujuan mempermalukan, merendahkan, menghina sesuatu yang mulia berupa keyakinan (abstrak) dan makhluk yang terhormat (abstrak).
Dalam KBBI ditetapkan bahwa “menodai” mengandung tiga; a) makna awal, yaitu menjadikan ada nodanya; mengotori, seperti mempercikankan tinta hitam; b) makna kedua, yaitu mencemarkan; menjelekkan nama baik keluarga; c) makna ketiga, yaitu merusak (kesucian, keluhuran, dan sebagainya), seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan perbuatan-perbuatan anti-susila lainnya.
Mengikuti “noda” dan “menodai”, kata penderita “ternoda” juga mengandung tiga arti. Dalam KBBI ditetapkan bahwa ternoda berarti kena noda; dicemarkan; dikotori.
Terlepas dari anatomi bahasanya, agama bagi penganutnya adalah keyakinan yang sangat sakral alias suci. Ia diyakini selamanya tidak akan pernah ternoda. Ia suci karena diturunkan oleh Mahasuci kepada manusia tersuci dan dikawal manusia-manusia suci.
Agama sebagai wahyu selalu berada dalam area kesucian agar tetap menjadi pedoman penghambaan dan dalam wilayah kemutlakan agar tak menjadi “kotak saran” hamba-hambanya yang berebut peran Tuhan.
Agama yang suci dan mutlak dihadirkan sebagai aturan dan sistem nilai. Karenanya, ia mesti menempati posisi teratas secara substansial. Bila dihadirkan untuk mengatur manusia, maka pastilah agama tidak diserahkan kepada yang menjadi objek dan pihak yang diatur. Karena itu, penerimanya pastilah suci. Afinitas penerima dan yang diterima meniscayakan itu. Manusia-manusia yang tidak terjamin kesuciannya tidak perlu berebut peran menjaga kesuciannya. Tugas mereka adalah bersaing mengamalkannya
Justru, bila memperhatikan genealogi leksikalnya, menganggapnya ternoda bisa dianggap sebagai penodaan. Yakinlah agama Anda tetap baik-baik saja.
Terlepas dari rumitnya anatomi kata “noda”, “menodai” dan “ternoda”, terutama bagi sebagian orang yang tidak punya waktu untuk mencernanya, kehendak menjaga kehormatan sesuatu yang kita yakini adalah ekspresi kecintaan. Ini tak dapat dipungkiri. Tapi mengekspresikan cinta haruslah tidak menimbulkan efek benci.
Yang lebih penting dari itu, cara terbaik menjaga kehormatan agama dan keyakinan yang kita anut adalah mengamalkannya.