Kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) selalu membangun narasi jihad bahwa Israel merupakan target utamanya. Mereka mengklaim peperangan ISIS di Suriah digemborkan sebagai sebuah jalan yang mesti dilakoni sebelum menghadapi Israel. “Pandangan kami tetap ke Al-Aqsha (Yerusalem),” pesan ini pernah saya dengar di salah satu video propaganda ISIS.
Tak sedikit pengamat yang percaya diri menyatakan bahwa dua entitas ini bermusuhan, ISIS adalah ancaman nyata bagi Israel, dan begitu juga sebaliknya.
Tetapi kenyataannya sangat berbeda. Israel bukan bagian dari koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat melawan ISIS di Suriah. ISIS juga tidak pernah melakukan serangan berbahaya terhadap Israel.
Jadi, apakah Israel dan ISIS menunjukkan “sikap menahan diri” satu sama lain?
Sekian lama saya mengamati, faktanya propaganda ISIS tentang isu Israel memang tidak banyak, bahkan nadanya biasa-biasa saja, tak sebanding terhadap musuh ISIS lainnya seperti muslim Syiah, Alawite Suriah, rezim Teluk, dan negara Barat.
Bagaimana ISIS dalam setiap pesannya selalu memanggil Syiah dengan sebutan rendah “Rafidhah”; pemerintah Suriah dengan julukan rezim “Nusayriah”; pemimpin Arab dengan gelar “Thagut”; kaum Sunni divonis “murtad”, negara Barat dengan “Salibis”. ISIS sedikit sekali menyinggung Israel.
Para simpatisan pun tampak memahami ISIS yang tak kunjung melakukan serangan terhadap Israel, bahkan cenderung membenarkannya. ISIS dinilai memiliki kesabaran strategis, sengaja menunda pertarungannya dengan Israel untuk tahap berikutnya. “Ketika Khilafah telah mapan, dan waktunya akan tiba, bala tentara akan berbaris ke Yerusalem.” Begitulah keyakinan mereka.
Para analis di Barat menilai ISIS sebenarnya sama saja seperti kelompok militan yang telah bersumpah menghancurkan Israel seperti HAMAS, Hizbullah atau militan Jihad Islam di Gaza. Namun, kenapa sikap Israel seperti pada titik yang sama dengan ISIS? Israel terlihat seolah “menunda” entah “menahan diri” untuk memerangi ISIS di Suriah. Tidak seperti responsnya terhadap Hizbullah atau HAMAS.
Apakah kebijakan Israel terhadap ISIS ini terkait dengan sikap resminya yang menyatakan dirinya netral terhadap krisis yang terjadi Suriah?
Saya menangkap sikap netral Israel lebih dikarenakan faktor mengutamakan musuh yang jelas. Iran masih merupakan ancaman utama. Tak hanya isu nuklir, namun strategi hegemoni Iran di kawasan, dukungan berkelanjutan terhadap Hizbullah (Libanon), dan Jihad Islam di Gaza.
Semua tahu Iran secara khusus telah turun tangan membantu Damaskus dan berusaha memberangus “pemberontak moderat” dan garis keras seperti ISIS.
Tentang krisis Suriah, sepertinya Israel ingin tetap melihat Bashar al-Assad tetap “berkuasa” di Suriah. Kenapa demikian? Sebab, Assad adalah satu-satunya alasan kenapa para pemberontak enggan berunding dan memilih gigih bertempur menggulingkan Assad yang dilindungi Iran itu.
Perundingan dan pembicaraan masa depan Suriah seringkali buntu. Tidak mencapai titik temu karena kedua belah pihak sama-sama teguh memegang pendiriannya saat membahas transisi kepemimpinan Suriah. Sekutu Damaskus kukuh mempertahankan kedudukan Assad, sementara pemberontak yang didukung Barat dan teluk menginginkan masa depan Suriah tanpa Assad. Dengan begitu, gencatan senjata seringkali tak bertahan lama.
Intinya Israel senang melihat Suriah menjadi negara yang lemah secara alami karena peperangan dan keadaannya tidak meningkat selama beberapa dekade. Karenanya, Suriah bukan lagi menjadi ancaman Israel dalam waktu yang lama.
Kehadiran Moskow yang membela Damaskus juga dinilai positif bagi Israel untuk mengurangi dominasi Teheran di Damaskus.
Meski secara resmi menyatakan netral dalam perang Suriah, Israel tercatat beberapa kali melakukan serangan di wilayah Suriah, dengan dalih menggagalkan pengiriman senjata dari Damaskus ke Hizbullah yang dikhawatirkan mengancam keamanan nasional. Sampai di sini dapat dimengerti para pengamat yang memandang netralitas Israel di Suriah sejatinya sangat terkait dengan kepentingan domestik.
Israel tampaknya sangat menikmati terjadinya peperangan di negeri tetangganya itu; kemunculan dramatis ISIS yang menyapu sejumlah wilayah di Suriah dan Irak pada 2014 telah menguras perhatian Iran; juga Hizbullah yang menjadi ancaman Israel selama ini tersedot kekuatannya ke Suriah membela rezim. Begitu pula HAMAS yang sebelumnya mendapat fasilitas di Suriah harus angkat kaki dari Damaskus gara-gara krisis di negeri ini.
Saya membayangkan, di balik pagar perbatasan, Israel minum teh seraya menikmati pertunjukan akbar musuh-musuhnya baku hantam satu sama lain.