Bak pertandingan, kini nelayan pesisir Teluk Jakarta boleh sedikit lega lantaran menang melawan orang nomor satu di DKI Jakarta dalam gugatan pembatalan reklamasi Pulau G yang digarap PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan PT Agung Podomoro Land. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan izin pengelolaan pulau tersebut yang diteken Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 23 Desember 2014.
Hakim Adhi Budi Sulistyo dalam amar putusannya menjelaskan proyek pembangunan pulau baru ini cacat lantaran tak berlandaskan kepentingan umum yang berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar. Izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pulau tersebut juga dinilai tak melibatkan warga pesisir dalam pembahasannya dan cenderung berpotensi merusak lingkungan.
Hakim Adhi juga menimbang pelanggaran tata usaha negara yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jakarta dengan mengabaikan Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penerbitan izin reklamasi. Pasal tersebut mengharuskan pemerintah memiliki rancangan zonasi pulau reklamasi. Namun, Rancangan Peraturan Daerah Zonasi belum tuntas karena pembahasannya dihentikan oleh DPRD DKI Jakarta hingga 2019, menyusul terkuaknya kasus suap Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja kepada anggota Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi.
Aktivis penolak reklamasi Teluk Jakarta usai mengikuti persidangan mengatakan para nelayan bungah luar biasa. Dalam video di beberapa stasiun televisi, terlihat mereka juga sujud syukur di dalam ruang sidang. Namun, saya sepakat apa yang dikatakan kawan saya itu, “Perjuangan masih panjang. Gugatan reklamasi Pulau F, I, dan K masih berjalan di pengadilan.”
Para nelayan dan aktivis penolak reklamasi perlu waspada dan menekan buncahan kegembiraan yang meluap. Ahok kini sedang meradang dan ia tengah menyusun strategi agar pulau-pulau tetap berdiri.
Tak Mau Kalah
Ahok melancarkan sejumlah strategi untuk melanjutkan reklamasi seperti menggugat putusan Hakim Adhi di pengadilan tingkat pertama ke Pengadilan Tinggi. Jika sudah menerima salinan putusan PTUN, Ahok melalui biro hukumnya menelaah dan merumuskan argumen untuk banding. Hal serupa juga dilakukan oleh tergugat lainnya, PT Muara Wisesa Samudra.
Strategi ini dimungkinkan jika kedua pihak belum menerima putusan hakim. Hukum positif mengizinkan gugatan tersebut hingga proses Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Namun, proses ini juga dapat berhenti di tingkat banding jika para pihak sepakat tak meneruskan langkah hukum. Alhasil, putusan ini dapat berkekuatan hukum tetap.
Sementara proses hukum berlangsung, Ahok meyakini proses reklamasi dapat terus berjalan. Strategi lainnya yang digunakan mantan Bupati Belitung Timur ini adalah membuka lelang baru untuk perusahaan properti lainnya atau menyerahkan langsung pengelolaan pulau tersebut kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti PT Jakarta Propertindo (Jakpro).
Baik lelang atau penunjukan langsung ini perlu proses panjang, termasuk bagaimana meyakinkan warga sekitar bahwa reklamasi ini tak berpengaruh terhadap pengrusakan lingkungan dan pencemaran air laut yang menyebabkan matinya biota laut seperti ikan, udang, terumbu karang, dan lainnya. Keyakinan ini perlu diperoleh untuk memuluskan izin AMDAL, selain dari kajian ilmiah.
Di dalam proses ini, warga sekitar perlu hati-hati ketika pihak pemerintah maupun pengembang mengklaim telah mendapat dukungan dari warga, warga yang mana? Merujuk data Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, warga yang bersaksi dalam sidang di PTUN justru mempertanyakan sosialisasi reklamasi yang diklaim oleh pemerintah dan pengembang telah dilakukan.
Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dengan adanya urukan tanah di sekitar daratan utara Jakarta justru menghambat aliran air yang bermuara ke Teluk Jakarta dari 13 sungai yang ada. Alhasil, penambahan beban sungai di daratan justru menyebabkan penumpukan debit air. Banjir pun tak dapat dibendung. Di daratan sebelah utara juga riskan terjadi banjir rob yang tak kunjung rampung akibat pembangunan yang terus-menerus dilakukan.
Selain itu, ada juga permasalahan lain yang perlu disoroti. Yakni, ketika izin diserahkan ke BUMD, apakah perusahaan pelat merah ini mampu menggarap proyek raksasa Pluit City di lahan seluas 161 hektare ini? Bagaimana dengan kesehatan keuangan Jakpro?
Jakpro telah menggarap sejumlah aset seperti Hotel Aston Pluit, Apartemen de`Paradiso, Mall Pluit Junction, Matoa Residence, Landmark Pluit, Apartement Laguna, Marina, Pulomas Park View, Pacuan Kuda Pulomas, Waduk Pluit, dan Waduk Ria Rio. Berapa banyak yang selesai digarap dan menghasilkan keuntungan untuk perusahaan?
Dengan penyertaan modal perusahaan berkisar Rp 2,95 triliun, Jakpro juga gagal merampungkan dua proyek seperti pembangunan Wisma Atlet dan renovasi Gedung Velodrome. Kini, arena balap Velodrome dan Light Rail Transit mulai digarap kembali. Ke mana uang kontribusi tambahan?
PT Muara Wisesa telah menggelontorkan uang lebih dari Rp 200 miliar sebagai bentuk kontribusi tambahan yang diberikan pengembang pulau reklamasi. Beberapa proyek yang didanai uang tersebut telah rampung dan sisanya masih dalam penggarapan seperti pembangunan sheet pile atau tanggul untuk program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), rumah susun Muara Angke dan Marunda, renovasi Pelabuhan Muara Angke dan lainnya.
Kontribusi tambahan ini sudah menjadi kontroversi ketika Ahok menjadi “preman legal” untuk meminta duit dari para pengembang tanpa ada dasar hukum berupa peraturan daerah. Klausul kontribusi tambahan sejumlah 15 persen itu baru ada di Rancangan Peraturan Daerah tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang pembahasannya kandas di tengah jalan. Ahok mengklaim menggunakan diskresinya sebagai kepala daerah sesuai dengan UU Administrasi Pemerintahan untuk menarik duit tersebut. Namun apakah dasar hukum tersebut cukup?
Gubernur Ahok juga mengatakan duit yang telanjur ditarik akan dialihkan menjadi kontribusi dari persyaratan koefisien luas bangunan (KLB) dan surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) para pengembang untuk proyek lain. Lagi-lagi Ahok menggunakan dalih bisa dengan mudah mengalihkannya lantaran memiliki diskresi.
Diskresi inilah yang patut menjadi pertanyaan. Bagaimana prosedur pelaksanaannya, termasuk penghitungan angka yang harus dibayar oleh pengembang dan bagaimana pertanggungjawabannya kepada publik?
Ahok-lah yang mampu menjawab pertanyaan ini untuk keterbukaan informasi kepada publik.