Setelah kata “malu” lama hilang dari kamus politik di negeri ini, pemerintah tampaknya masih mencari-cari di mana kata “maaf” tersembunyi. Akhir-akhir ini ada tiga situasi yang menuntut pemerintah Indonesia supaya meminta maaf.
Pertama, desakan dari Singapura supaya pemerintah Indonesia memohon maaf atas kiriman asap yang datang dari Sumatera dan Kalimantan. Kedua, tuntutan maaf dari para aktivis hak asai manusia (HAM) dan korban kasus 1965 terkait pembunuhan massal dan pemenjaraan tanpa proses pengadilan terhadap orang-orang yang dituduh anggota atau pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketiga, usulan supaya pemerintah memohon maaf kepada keluarga Soekarno atas perlakuan yang diterima dari rezim Orde Baru setelah kekuasaannya diambil alih Soeharto.
Walau tidak separah seperti di Sumatera dan Kalimantan, indeks pencemaran udara di Singapura dan Malaysia sudah mengganggu aktivitas sehari-hari dan membahayakan kesehatan. Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan warganya, wajar pemerintah Singapura mengambil sikap terhadap pemerintah Indonesia, asal sumber ancaman itu. Alih-alih meminta maaf, pemerintah Indonesia malah menunjukkan kesombongan. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan seharusnya Singapura dan Malaysia justru bersyukur atas oksigen yang diberikan Indonesia selama ini (Kompas, 25/9/2015).
Dalam situasi yang lain, argumen seperti itu mungkin berguna untuk meningkatkan nasionalisme rakyat yang dalam beberapa aspek dirugikan oleh negara tetangga. Tetapi dalam situasi ini, argumen itu salah tempat dan tidak tepat waktu, karena ancaman itu justru muncul dari kampung halaman kita. Apalagi yang menjadi korban paling parah adalah rakyat Indonesia sendiri.
Bagi masyarakat Sumatera dan Kalimantan yang sudah sesak napas, permintaan maaf saja sudah tak lagi mempan untuk mengobati sakit. Pemerintah mesti menindak tegas perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembakaran lahan dan menjamin bencana ini tidak akan terjadi lagi di masa depan. Hutan yang rusak harus dipulihkan dan tinjau kembali setiap perizinan untuk perkebunan kelapa sawit yang merusak hutan.
Jelas bencana asap yang saban tahun membuat sesak masyarakat ini bukan disebabkan faktor alam, melainkan akibat ulah manusia. Lemahnya pengawasan pemerintah, hukuman yang tidak menimbulkan efek jera, serta kongkalikong antara pengusaha dan oknum pemerintah dari pusat hingga daerah, menyumbang pada bencana rutin tahunan ini. Sudah belasan tahun Indonesia mengalami masalah ini, namun tidak ada peningkatan sama sekali dalam usaha penanggulangannya.
Pemerintah bisa saja mengatakan perusahaan Malaysia dan Singapura yang beroperasi di Indonesia terlibat dalam pembakaran lahan. Namun alasan itu sedikit pun tidak mengurangi tanggung jawab pemerintah Indonesia untuk menghentikan bencana ini secepatnya. Justru rakyat Indonesia, Malaysia, dan Singapura menanti tindakan tegas pemerintah Indonesia tanpa pandang bulu. Karena usaha ke arah itu belum membuahkan hasil, wajar jika Singapura gerah dan menuntut pemerintah Indonesia memohon maaf.
Tetapi jangankan meminta maaf kepada negara tetangga, kepada rakyat sendiri pun pemerintah ini masih setengah hati. Di Jambi, asap telah memakan korban nyawa. Berapa nyawa lagi yang perlu terkorban baru permintaan maaf dari pemerintah bisa kita dapatkan?
Dalam sejarahnya, hampir tidak pernah terjadi. Karena jumlah korban bagi pemerintah kadang hanya angka statistik. Hampir 50 tahun lalu, satu juta lebih orang terbunuh atas nama menjaga kesaktian Pancasila. Di sisa umur mereka yang tersisa, keluarga korban masih menunggu kebesaran hati pemerintah memahami penderitaan mereka.
Pada peringatan tragedi ini, 1 Oktober lalu, Presiden Jokowi adalah presiden yang kesekian kali menolak untuk meminta maaf kepada para korban. Padahal, sudah banyak bukti sejarah menunjukkan pembunuhan massal itu bukan hanya aksi sipil yang membabi buta untuk membalas dendam terhadap kekejaman PKI sebelumnya. Rezim Orde Baru ikut berperan dalam merencanakan eksekusinya.
Bahkan bapak pendiri bangsa, Soekarno, disingkirkan dan dicabut hak-haknya. Sebagai mantan presiden yang walau ada kekurangan, namun telah banyak berjasa, perlakuan negara terhadapnya waktu itu sangat mengecewakan. Pandangan ini mungkin akan menimbulkan kontroversi bagi yang tertutup hatinya untuk berdiskusi. Tetapi menolak sama sekali untuk membicarakan soal itu seperti yang terjadi selama ini, justru membuat upaya rekonsiliasi bangsa menjadi sulit. Dan salah satu kata kunci rekonsiliasi adalah permohonan maaf.
Indonesia seharusnya belajar dari Australia yang meminta maaf kepada penduduk Aborigin karena pelaksanaan politik asimilasi. Juga dari pemerintah Jerman yang meminta maaf atas kekejaman Nazi. Atau dari pemerintah Afrika Selatan ketika baru bebas dari kebijakan apartheid. Semua kesalahan itu dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dan pernyataan maaf dilakukan oleh pemerintah setelahnya.
Masalahnya, di negara ini permintaan maaf selalu dihubung-hubungkan dengan persoalan harga diri. Sebuah konsep yang abstrak dan sangat subjektif. Dalam keadaan sosial politik dan ekonomi seperti hari ini, masih layakkah pemerintah berbicara soal harga diri?
Memohon maaf tidak selamanya berarti pengakuan atas kesalahan. Ia juga dapat bermakna mengakui kesalahan yang pernah dilakukan pemerintah terdahulu, jika memang diperlukan. Sikap itu juga bisa diartikan menunjukkan kebesaran hati dan keterbukaan untuk mencari jalan keluar dari permasalahan. Bahkan agama pun menganjurkan demikian.