Manusia (rakyat) membutuhkan negara, dan negara membutuhkan rakyat. Antara keduanya terdapat jalinan yang diatur dengan etika tertentu sehingga terjalin hubungan simbiosis mutualistis. Sayangnya dalam praktik, kerap terjadi hubungan eksploitatif: (pejabat) negara mengeksploitasi rakyat, atau rakyat (yang punya kuasa) mengeksploitasi yang tunakuasa.
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna. Kesempurnaan itu ditunjang terutama oleh akal, di samping naluri, rasa, nyawa, dan aspek-aspek lain yang juga dimiliki oleh binatang. Akal menjadi pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Ketika mampu memfungsikan akalnya secara benar, derajat manusia bisa melejit, jauh lebih tinggi atau lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Tapi saat gagal memfungsikan akalnya secara benar, manusia terjerambab, bahkan bisa lebih hina dari binatang.
Dengan akalnya manusia menemukan etika, yakni pengetahuan tentang kususilaan, atau dalam bahasa Romo Franz Magnis-Suseno, prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia. Etika inilah yang menjadi pedoman bersama kehidupan antar-manusia, atau antar-makhluk yang ada di alam raya ini, juga yang mengatur hubungan antara manusia (rakyat) dengan negara.
Dengan etika, dapat dibangun keselarasan, keadilan, rasa saling menghormati satu sama lain, dan bersedia menerima imbalan (baik-buruk) dari apa pun yang telah dan akan dilakukannya.
Pada saat etika dijunjung tinggi dan ditaati semua orang, maka keselarasan, keadilan, rasa saling menghormati, dan hukum sebab akibat, akan bisa berjalan dengan baik. Untuk menjaga agar etika tetap dijunjung tinggi, dibuatlah hukum dalam arti aturan main dalam bentuk perintah dan larangan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam hubungan-hubungan manusia. Juga untuk mengatur hubungan manusia dengan makhluk lainnya, dan negaralah yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum ini.
Dalam praktik, etika banyak diabaikan sehingga sekarang ini sedang musim manusia-manusia tunaetika, yakni manusia-manusia yang tidak menghormati hukum, berbuat sekehandak hatinya, sekadar untuk memenuhi hasrat dan keinginan-keinginan nafsunya. Bahwa perbuatan itu merugikan orang lain, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Bagi manusia tunaetika, yang menjadi pertimbangan hanyalah keuntungan, atau capaian kenikmatan, dari apa pun yang sudah dan akan dilakukannya.
Tunaetika menjadi wabah yang menyebar di kalangan elite politik, para pejabat publik (pemangku kepentingan pemerintah dan negara), juga mereka yang mengaku dirinya kalangan intelektual, yang seyogianya merepresentasikan manusia-manusia terpelajar dan pembelajar.
Para elite politik yang sekarang mendekam di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah mereka yang benar-benar tunaetika. Para intelektual yang mencari-cari dalih untuk membenarkan tindakan-tindakan yang tidak selayaknya dibenarkan, juga tergolong tunaetika. Atau menggunakan kepintarannya untuk menipu, untuk merendahkan atau menghina kekurangan orang lain.
Termasuk tunaetika juga para pejabat negara yang dipilih rakyat untuk memimpin dengan memangku jabatan tertentu, tapi memanfaatkan jabatannya justru untuk mengkhianati rakyat, mengeruk kekayaan negara untuk diri dan keluarganya. Juga para hakim yang menetapkan hukuman tanpa berpijak pada rasa keadilan, semata-mata demi kepentingan kekuasaan dan kekayaan.
Merebaknya tunaetika, baik bagi para elite politik (pejabat negara) atau kalangan intelektual, adalah bencana kemanusiaan dalam suatu negara. Karena itulah para peletak dasar etika sejak era sangat dini zaman Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles hingga pada abad ke-20 seperti Jean Paul Sartre dan Emmanuel Levinas, sudah berupaya merumuskan konsep-konsep dasar bagaimana seharusnya negara dibangun dan untuk apa, serta bagaimana interaksi antar manusia yang ada dalam negara itu.
Negara dibangun untuk tujuan mulia dan untuk kebahagiaan manusia. Sedangkan manusia (rakyat) yang ada di dalamnya harus memiliki tanggung jawab, baik pada dirinya sendiri maupun pada seluruh umat manusia. Pada saat manusia bertindak mengatasnamakan negara untuk kepentingan dirinya sendiri, atau memperlakukan orang lain tidak seperti dia memperlakukan diri sendiri, maka pada saat itulah terjadi pengabaian etika baik dalam bernegara maupun dalam pergaulan sesama manusia.
Ada dua kemungkinan mengapa banyak pejabat negara, juga para intelektual, bertindak mengabaikan etika. Pertama, karena tidak pernah belajar sehingga tidak tahu apa itu etika dan bagaimana menerapkannya; dan yang kedua, karena akal yang menjadikan dirinya manusia telah hilang atau tidak berfungsi. Satu saja dari dua sebab ini terjadi, rusaklah kehidupan bernegara, apalagi jika kedua-duanya terjadi.
Untuk penyebab pertama rasanya tidak mungkin. Para pejabat negara dan intelektual adalah mereka yang umumnya menempuh pendidikan tinggi yang niscaya belajar etika. Sementara sebab yang kedua sangat mungkin terjadi, mereka gagal mengendalikan tuntutan materialis dan hodonis yang bergejolak dalam dirinya sehingga menutup atau mengalahkan akal sehatnya. Yang lebih tragis lagi, tindakan-tindakan tuna etika kadang dilegitimasi dengan dalil-dalil agama yang dipilih sesuai dengan seleranya.
Negara yang dikuasai dan dipenuhi manusia-manusia tunaetika adalah negara tanpa masa depan. Pada situasi seperti ini, menumbuhkan kesadaran etika dimulai dari diri sendiri menjadi pilihan yang paling mungkin, antara lain dengan menggagas dan mengamalkan inisiatif-inisitif kebajikan dari yang paling sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya, menyingkirkan duri/paku dari jalan raya, hingga yang paling rumit seperti menumbuhkan kesadaran kolektif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Harapan kita, yang rumit akan menjadi mudah pada saat dimulai dari yang sederhana dengan komitmen dan terus-menerus dilakukan hingga menjadi kebiasaan dan membudaya.