Setelah memberikan kegembiraan aneh kepada Jerman dan para pendukungnya, dengan membuat hasil imbang 0-0 di Munich, dan menjadikan kiper cadangan mereka sebagai bintang pertandingan, Perancis memberikan kegembiraan yang sebenarnya kepada pendukungnya sendiri di Paris. Dalam pertandingan lanjutan Nations League, mereka menang 2-1 atas tim yang sedang terlihat aneh: Belanda.
Disambut tulisan “Juara Dunia” yang membentang seluas Stade de France, dan dua bintang emas dari konfigurasi penonton di tribun, Perancis turun dengan 10 pemain yang sama dengan saat mereka menjalani final di Luzhniki dua bulan lalu. Hanya Hugo Lloris yang cedera digantikan Alphonse Areola. Dan mereka memainkan sepakbola yang sama—yang membunuh Argentina, Uruguay, Belgia, dan akhirnya Kroasia, di Rusia.
Seperti pendekar mabuk, mereka sepintas terlihat hoyong dan lena, dan itu membuatmu merasa mampu dan mudah meringkusnya. Tapi, biasanya selepas serangan yang terpatahkan, sebuah bola panjang tiba-tiba akan dilontarkan dari belakang, dan Kylian Mbappe akan berlari kencang nyaris melayang di sisi kanan, mengontrol bola dengan sempurna, membuat dua-tiga gocekan, melepas tendangan, dan matilah kau.
Memang, bukan serangan macam itu yang membunuh Belanda, Senin dini hari kemarin. Jasper Cillessen, mungkin karena cuma jadi penonton Piala Dunia, sebagaimana hal yang sama ia lakukan di sebagian besar waktunya selama tiga musim ini di Barcelona, sepertinya sudah cukup siap dengan apa yang akan dihadapinya. Meski, tentu saja, tak sesiap itu. Mbappe mengawali—dengan cara sedikit beda, setelah Kenny Tete dengan sembrono memberikan bola kepada Matuidi. Tapi, Giroud-lah yang mengakhiri.
Olivier Giroud? Ya, kita baru diingatkan bahwa ia seorang penyerang; ada nomor sembilan di punggung kaos birunya; ia adalah top skor Liga Perancis musim 2012 bersama Montpellier—jika Anda belum pernah mendengarnya; ia mencatatkan 73 gol bersama Arsenal, yang dicetaknya dengan berbagai macam cara—salah satunya dengan cara menyengat bola yang melayang di udara, sepertinya yang dilakukannya ke gawang Crystal Palace pada Januari 2017.
Ia ada di Rusia, di semua pertandingan, di hampir semua menit, meski nyaris sebulan nonton Piala Dunia kita hanya melihatnya ikut berdesak-desakan di kotak penalti lawan, sesekali berusaha mencari pelanggaran, sesekali mencoba melepas tembakan, dan gagal. Tak ada sebiji gol pun. Kita mengejeknya saat ia menggendong trofi Piala Dunia dengan wajah bahagia, seakan ia bocah bodoh yang dengan tak tahu malu ikut merayakan juara kelas teman sebangkunya. Tapi Didier Deschamps tahu, Giroud baginya adalah (Stephane) Guivarc’h bagi Aime Jacquet. Dan Deschamps benar. Juara Piala Dunia tak bisa salah!
Mungkin Perancis-nya Deschamps tak semenarik Perancis-nya Jacquet. Tapi, menilik betapa mudanya mereka, betapa membunuhnya mereka, sepertinya kita akan terus melihat dan mengingat mereka, menulis dan membaca soal mereka. Boleh jadi dalam waktu lama.
***
Soal Belanda, apakah kita akan melihat “keanehan” ini sementara saja, atau untuk seterusnya?
Tentang keanehan, sepertinya mesti diluruskan dulu. Sebenarnya mereka tak se-“aneh” itu.
Tak lolos Piala Dunia atau ajang besar lainnya, sebagaimana yang mereka alami di musim panas lalu, bukan cerita yang terlalu aneh untuk Belanda. Setelah generasi emas era Total Football, yang memberikan mereka dua final Piala Dunia (1974 dan 1978), Belanda kemudian tak ke mana-mana selama nyaris satu dekade. Tidak di Piala Dunia 1982 dan 1986, tidak juga di Piala Eropa 1984. Lalu, dengan Van Basten, Gullitt, Rijkaard, dan Koeman di dalam tim, mereka bangkit kembali, merebut trofi Piala Eropa 1988—piala pertama dan satu-satunya yang pernah mereka punya. Mereka jatuh dengan buruk di Italia 1990, dan tak berbuat banyak di Amerika 1994. Dan generasi itu habis.
Kemenangan tim muda Ajax di Liga Champions 1995 kemudian memunculkan harapan besar. Sebuah generasi emas baru sedang menjelang. Van der Sar, De Boer kembar, Reiziger, Bogarde, Davids, Seedorf, Overmars, Kluivert, dan masih banyak lagi. Tapi kemuncak tim ini bukan piala, melainkan sebuah gol sublim dari Dennis Bergkamp ke gawang Argentina di perempat final Prancis 1998.
Ketika 12 tahun kemudian, di Afrika Selatan 2010, mereka ada di final lagi setelah 32 tahun, mereka bukan lagi Belanda yang banyak diceritakan itu. Masih ada pemain-pemain dengan bakat menjulang macam Sneijder, Robben, dan Van Persie. Namun, tim Bert van Marwijk ini lebih diingat karena karakter anti-Spanyol-nya, dengan tendangan Nigel de Jong ke dada Xabi Alonso sebagai simbolnya.
Lalu tim Van Gaal, yang juga melangkah cukup jauh di Brasil 2014, sepertinya menjadi tanda berakhirnya sebuah era. Mereka kemudian berturut-turut tak lolos Euro 2016 dan Piala Dunia 2018. Dan lima pelatih dalam empat tahun menunjukkan betapa sedang bermasalahnya sepakbola Belanda.
Dan menjadi lebih jelas lagi ketika mereka menghadapi Perancis, pada pertandingan pertama mereka setelah menjadi juara dunia untuk kedua kalinya. Melawan juara dunia baru memang harus dengan sedikit rasa hormat, tapi tak semestinya sehormat itu. Apalagi jika kau adalah Belanda, Brilliant Orange, yang kata penulis sepakbola David Winner punya “kejeniusan neurotik”.
Belanda, tim yang dalam catatan sejarahnya ada pemain para jenius seperti Cruyff, Van Basten, Gullit, dan Bergkamp, kini terlihat lebih menumpukan dirinya pada seorang bek tengah berbadan tinggi besar, Virgil van Dijk. Gini Wijnaldum atau Kevin Strootman tentu saja tidak buruk, tapi pengganti pemain macam Wesley Sneijder yang baru saja pensiun seharusnya sekelas Eden Hazard atau Kevin de Bruyne atau kedua-keduanya. Malangnya, itu dua pemain Belgia, tetangga kecil mereka. Memphis Depay dan Ryan Babel di depan … sebentar, apakah kalian sudah pernah mendengar legenda tentang mereka?
Tentu saja, seperti yang sudah-sudah, Feyenoord, PSV, Ajax, atau Groningen masih terus melahirkan bakat-bakat baru. Setelah masa Luiz Suarez, Dusan Tadic, dan Christian Eriksen, klub-klub di luar belanda sudah mengantre nama-nama macam Hakim Ziyech, Hirving Lozano, hingga Kasper Dolberg. Sayangnya, mereka membela tim nasional lain.
Sementara, secara bersamaan, kisah-kisah kegagalan pemain macam Vurnon Anita, Bruno Martins Indi, Luciano Narsingh, dan terakhir Davy Klasssen, menyusul kisah Ryan Babel dan Memphis Depay sudah mulai menjadi cerita biasa bagi sepakbola Belanda.
Jadi, setelah ini, apakah kita masih akan melihat Belanda yang sering diceritakan “itu”?
***
Jika ada yang sedang panen besar soal bakat, Inggris patut menepuk dada. Mereka mencapai semifinal di Rusia lalu dengan tim yang masih sangat muda dan bisa terus berkembang. Stone, Trippier, dan Alexander-Arnold, Sterling, Keane, Alli, hingga Rashford. Sayangnya, mereka—sekali lagi—terlihat inferior di hadapan tim-tim sekelas mereka.
Kekalahan dari Spanyol adalah kekalahan keempat mereka secara beruntun, setelah di Piala Dunia mereka kalah dua kali dari Belgia dan Kroasia di semifinal. Dan mereka selalu kesulitan di 20 pertandingan terakhir melawan tim-tim berperingkat atas.
Mungkin itu akan menyadarkan mereka bahwa panen bakat yang sedang mereka nikmati kali ini sebenarnya tak sebesar yang mereka pikirkan. Ingat, media-media Inggris adalah kampiunnya hiperbola. Sebab, jelas terlihat, di Piala Dunia Rusia, juga di pertandingan melawan Spanyol, di antara pemain-pemain sayap cepat dan pencetak-pencetak gol tajam, tak ada gelandang berkelas di lapangan tengah. Pada wawancaranya setelah kekalahan dari Spanyol, Gareth Southgate merindukan sosok seperti Paul Gascoigne, bekas rekan setimnya di Euro 1996. Mungkin juga Chris Waddle. Atau Glenn Hoddle.
Atau, setelah UEFA bikin terobosan Nations League, mungkin ada baiknya Inggris memikirkan untuk mengadakan lagi Home Nations? Biar sepakbola tak perlu ke mana-mana, dan mereka tak perlu memanggilnya pulang di setiap Piala Dunia.