Kamis, Maret 28, 2024

Natal dan Spirit Kemuliaan

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Umat Kristiani menyalakan lilin ketika mengikuti misa malam Natal di Gereja Immanuel, Jakarta, Sabtu (24/12). Perayaan Natal yang diikuti umat Kristiani itu mengangkat tema Memberdayakan sumber daya insani demi mensejahterakan persekutuan, pelayanan dan kesaksian (Yesaya 42: 6 & 7). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16
Umat Kristiani menyalakan lilin ketika mengikuti misa malam Natal di Gereja Immanuel, Jakarta, Sabtu (24/12). Perayaan Natal itu mengangkat tema Memberdayakan Sumber Daya Insani Demi Menyejahterakan Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian (Yesaya 42: 6 & 7). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/ama/16

Natal adalah ritus keagamaan yang hendak memuliakan Yesus Kritus yang telah berjasa mengantarkan umat Kristiani ke jalan kehidupan yang penuh kasih dan damai. Kemuliaan Yesus tentu tidak sekadar menjadi menara kesucian yang tidak aksesible dengan harapan umat manusia, melainkan kemuliaan itu adalah sebentuk teosofi dan emanasi yang harus direngkuh dan dimanifestasikan ke dalam perilaku yang nyata.

Hal ini sangat penting dilakukan agar semangat kemuliaan tersebut dapat diperlakukan kepada manusia untuk saling membantu dan berbagi antar sesama.

Di samping itu, spirit kemuliaan Natal yang digunakan sebagai ekspresi transendentalisasi untuk mengenang kelahiran Yesus harus mewujud sebagai cermin ketuhanan untuk memantulkan sifat keluhuran-Nya ke dalam ruang-ruang kehidupan. Dengan cara ini, ia akan menjadi keniscayaan bagi siapa pun untuk selalu tulus dan ikhlas berbagi tanpa melihat latar belakang keyakinan dan ideologi.

Bila sikap ini bisa ditumbuhkan, maka Natal akan menjadi sarana untuk membangkitkan rasa keterlibatan diri secara empatik (empathic engagement) terhadap pihak lain dalam setiap ruang interaksinya. Untuk merajut keluhuran rasa ini, nilai-nilai kasih dan damai yang menjadi sistem kepercayaan dan spiritualitas umat Kristiani patut dimanifestasikan ke dalam laku kesehariannya.

Melalui manifestasi nilai-nilai kasih dan damai, umat Kristiani dapat menghadapi berbagai persoalan yang ada dengan tenang, termasuk menyikapi perayaan Natal yang selalu dihadapkan dengan banyak rintangan dari berbagai kalangan. Terutama dari pihak tertentu yang gemar menyebarkan selebaran maupun imbauan bagi pemeluk agama tertentu untuk tidak menyampaikan selamat Natal maupun pelarangan penggunaan atribut Natal, baik oleh seseorang yang beragama lain maupun di wilayah publik.

Di sinilah uji eksperimentasi keimanan harus didudukkan dengan baik. Agar Natal yang secara esensial untuk memanifestaskan spirit kemuliaan sebagaimana ditunjukkan Nabi Isa selama hidupnya betul-betul mampu diekspresikan dan dipraktikkan sebagai laku kebersahajaan di tengah keberagaman masyarakat.

Dalam konteks ini, beragam yang dimaksud adalah daya respons yang sebagian besar bernuansa negatif sehingga apa yang mereka lakukan terkesan menyudutkan posisi kaum Kristiani.

Meski demikian, bila perayaan Natal disadari sebagai spirit kemuliaan yang berpancar dari semangat perjuangan dan pengorbanan Nabi Isa, senegatif apa pun respons yang diberikan pihak lain, sesungguhnya ia ibarat pupuk yang bisa menyuburkan semangat keagamaan umat Kristiani.

Apalagi, negara ini adalah Indonesia yang bangunan sosialnya telah dilingkupi oleh semboyan bhinneka tunggal ika. Meski ada ejekan dan kebencian apa pun yang diberikan oleh pihak lain,  masih akan ada sebagian orang dari pihak lain yang bersedia merajut keterlibatan diri secara empatik. Tujuannya agar antara pihak lain (seperti umat Islam dengan umat Kristiani) bisa menjalin semangat kemanusiaan yang rerata. Merujuk pandangan Ali bin Thalib, “mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”

Dengan demikian, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa Nomor 56 Tahun 2016 terkait dengan pengharaman bagi umat Islam menggunakan atribut Kristiani dalam menyemarakkan Natal, percayalah bahwa fatwa itu tak lebih sebagai seruan moral yang boleh dipatuhi dan boleh juga diingkari.

Seperti dimaklumi, dalam iklim kehidupan kita, di mana keragaman dan toleransi adalah pondasi pokok bangunan kebangsaannya, mengedepankan kedamaian dan keterlibatan diri secara empatik terhadap nuansa perayaan Natal adalah sikap yang perlu diutamakan. Demikian pula sebaliknya terhadap perayaan hari keagamaan bagi penganut agama lain.

Apalagi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah menegaskan bahwa siapa pun tidak boleh bertindak sewenang-wenang dengan cara melarang pemasangan atribut perayaan Natal di area publik, apalagi sampai mengganggu kekhusyukan natal. Karena itu, yakinlah, walau sebagian dari pihak lain masih berpandangan picik dalam memperlakukan ritus keagamaan umat Kristiani, sebagian yang lain tetap akan menjadi padu rasa yang sama-sama ingin menikmati kedamaian terpancar dari perayaan Natal.

Kedekatan Emosional
Natal 2016 yang berdekatan dan bahkan beriringan dengan perayaan maulid Nabi Muhammad sesungguhnya tidak bisa dikalkulasi sebagai peredaran waktu yang kebetulan. Bisa jadi ini menjadi isyarat kepada kita bahwa dua peringatan yang berdekatan tersebut menjadi titik temu emosional yang merajutkan agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi) dalam satu spirit keberagamaan yang lurus-toleran (al-hanifiyah al-samhah).

Serba kedekatan waktu ini menjadi harapan bagi kita untuk menumbuhkan cinta kepada sesama, sikap saling menghargai berbagai perbedaan, dan menumbuhkan semangat kedamaian. Dengan demikian, apa yang menjadi pesan kenabian, baik yang diusung oleh Nabi Muhammad maupun Nabi Isa berfungsi sebagai asas kemanfaatan secara berkelanjutan. Atau dalam bahasa agama “khairunnas man anfa’uhum linnas”.

Sebagaimana ditegaskan oleh Ihsan Ali-Fauzi dalam “Fatwa MUI di Antara Maulid dan Natal” (Geotimes, 22/12/2016) bahwa kita semua, termasuk para pemimpin umat Islam di negeri ini, perlu belajar menimba dan meneladani kearifan para founding fathers kita, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, dalam memperlakukan penganut agama lain dalam kehidupan berbangsa. Pada titik inilah kita semua harus berpikir arif dan merefleksikan keseluruhan peristiwa proses menjadi Indonesia dengan bijaksana.

Semoga momen Natal yang berdekatan dengan perayaan maulid Nabi Muhammad ini menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk menjalin hubungan intersubyektif antara satu dan yang lain. Agar virus kebaikan, kebahagiaan, perdamaian, dan kasih sayang menyebar ke segala penjuru dengan penuh kemuliaan.

Selamat Hari Raya Natal 2016. Minal ‘aidin wal-faidzin. Kullu natalin wa antum bi khairin.

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.