Di luar persoalan radikalisme dan aksi teror yang mengerikan di Paris, salah satu isu yang menarik didiskusikan adalah bagaimana nasib para pengungsi dan pencari suaka pasca kasus penembakan dan bom bunuh diri di Paris. Seperti diketahui, pasca kejadian Kepolisian Prancis dilaporkan telah menemukan paspor milik warga Suriah tercecer di dekat mayat pelaku teror di Stadion Stade de France, Paris, Jumat, 13 November 2015. Paspor itu, menurut Menteri Perlindungan Warga Negara Yunani Nikos Toskas, ternyata milik pencari suaka yang mendaftarkan diri di salah satu pulau Yunani pada Oktober 2015.
Terlepas apakah pelaku teror memang berasal dari salah satu pencari suaka ataukah mereka hanya memanfaatkan kebijakan Uni Eropa yang memberi kelonggaran dalam proses penampungan pengungsi Suriah, bagaimanapun penemuan paspor di atas akan membuat negara-negara Uni Eropa memikirkan ulang kebijakan yang telah disepakati sebelumnya.
Kekhawatiran sebagian pihak yang yang menentang kebijakan penerimaan pengungsi yang dinilai terlalu longgar, paling tidak sebagian kini terbukti benar. Niat baik negara-negara Uni Eropa yang bersedia menampung para pengungsi dari Suriah ternyata bisa menjadi celah yang merugikan keselamatan dan keamanan masyarakat Uni Eropa sendiri.
Setelah penembakan dan bom bunuh diri di Paris, bisa dipastikan ratusan ribu pengungsi asal Suriah yang kini tengah berusaha mencari suaka ke berbagai negara Uni Eropa dan negara lain akan terkena getahnya. Warga masyarakat Eropa, terutama warga Prancis yang sebelumnya bersimpati terhadap nasib pengungsi, bukan tidak mungkin kini menjadi lebih berhati-hati karena tidak ingin kecolongan untuk kedua kalinya.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbanyak di Eropa, Prancis kini dihadapkan pada dilema yang tidak mudah. Di satu sisi, pemerintah telah sepakat untuk ikut menampung paling-tidak 24 ribu pengungsi dari Suriah yang terusir dari negaranya karena konflik ideologi dan perang saudara. Sementara itu, di sisi yang lain, aksi terorisme yang menguncang Paris membuktikan bahwa sikap dan tindakan untuk ikut terlibat menampung para pengungsi suriah ternyata berisiko merugikan keselamatan dan keamanan nasional.
Saat ini, negara-negara Uni Eropa yang sebelumnya sepakat untuk ambil bagian dalam upaya penanganan para pengungsi Suriah diperkirakan akan merevisi kesepakatan yang telah diputuskan. Polandia, misalnya, adalah salah satu negara yang memutuskan untuk mengkaji ulang kesepakatan relokasi pengungsi Suriah, dan bahkan ada indikasi mulai menutup pintu bagi pengungsi Suriah yang tidak bersalah, namun terkena imbas dari aksi teror di Paris.
Tidak mustahil, sikap Polandia ini juga akan diikuti negara-negara lain di Uni Eropa, dengan alasan tidak mau mengalami nasib yang sama seperti Prancis. Aksi kemanusiaan negara-negara Uni Eropa yang mau menampung pengungsi Suriah dikhawatirkan justru akan bisa menjadi bumerang yang merugikan diri mereka sendiri. Karenanya bisa dipahami jika pasca teror Paris, kebijakan terhadap nasib pengungsi Suriah akan mengalami perubahan.
Sebagai negara sekutu Amerika Serikat, selama ini Prancis memang menjadi salah satu negara yang proaktif melawan kelompok teroris, khususnya Negara Islam Irak dan Syria (ISIS). Lebih dari 10 ribu tentara Prancis saat ini telah dikerahkan di berbagai negara. Di antaranya lebih dari 3.000 tentara di Afrika Barat, 2.000 tentara di Timur Tengah, dan 3.200 tentara di Irak. Selain itu, Prancis juga dilaporkan ikut ambil bagian dalam upaya memerangi kelompok afiliasi Al-Qaidah, Islam Maghreb, di Mali pada 2013. Yang terbaru, Presiden Prancis Francois Hollande juga mengumumkan akan mengerahkan kapal induk ke Teluk Persia untuk memerangi dan menghancurkan ISIS.
Bagi kelompok teroris, sikap dan kebijakan Prancis yang mendukung AS memerangi terorisme di berbagai negara itu tentu memicu semangat perlawanan dan keinginan mereka untuk melakukan aksi balas dendam. Bagi kelompok teroris, kebijakan Uni Eropa yang memberikan kelonggaran kepada par pengungsi asal Suriah akhirnya justru dilihat sebagai salah satu kesempatan yang menguntungkan untuk melakukan penyusupan dan menyerang Prancis dari dalam.
Di Prancis sendiri, kegagalan pemerintah melakukan deradikalisasi, diprediksi menjadi bom waktu yang berbahaya. Munculnya kaum ekstremis dari para tahanan terorisme adalah salah satu konsekuensi yang mesti ditanggung Prancis karena kegagalan untuk medekonstruksi dan merekonstruksi radikalisme yang muncul di sebagian warga masyarakatnya.
Seperti disampaikan Presiden Prancis, bahwa aksi penembahan dan teror bom bunuh diri yang terjadi di Paris adalah hasil kerja sama teroris yang menyusup dengan orang dalam di Prancis sendiri yang memiliki sikap fanatik dan tidak puas dengan berbagai kebijakan internal Prancis yang dinilai diskriminatif terhadap umat muslim. Kebijakan pelarangan pemakaian burka, misalnya, adalah salah satu kebijakan Prancis yang mendorong tumbuhnya sentimen dan resistensi kelompok teroris dari dalam maupun dari luar. Pada titik keduanya kemudian bekerjasama, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya aksi teror yang membuat Paris harus mengalami tragedi terburuk dan banjir berdarah yang menguncang.
Bagaimana nantinya nasib para pengungsi Suriah pasca teror di Paris tentu masih harus menunggu hasil pertemuan negara-negara Uni Eropa di Brussels, markas besar Uni Eropa. Harapan dari para pengungsi tentu teror di Paris tidak membuat negara-negara Uni Eropa menarik kembali kesepakatan mereka untuk menampung para pengungsi.
Di tengah kondisi konflik dan perang di Suriah yang tak kunjung usai dan konflik yang berkecamuk di berbagai negara, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat jumlah pengungsi dalam lima tahun terakhir meningkat luar biasa. Jutaan orang dilaporkan kini harus keluar dari negara asalnya dan hidup sebagai pengungsi yang tidak menentu karena mencari keselamatan dan keamanan bagi keluarganya.
Mereka tentu tidak hanya membutuhkan tempat penampungan air dan sanitasi, makanan, bantuan medis, atau bantuan pendidikan, tetapi yang terpenting adalah sesungguhnya mereka sangat membutuhkan niat tulus dan kesediaan negara-negara lain untuk menampung–tanpa harus terkontaminasi oleh pertimbangan-pertimbangan politis dan ideologi.
Semoga kasus teror di Paris tidak membuat negara-negara Uni Eropa kehilangan nuraninya untuk membantu nasib sesama yang menderita: para pengungsi Suriah yang sebetulnya tidak ikut bersalah apa-apa, tetapi harus menanggung getah akibat ulah para teroris yang menafikan arti penting kemanusiaan.