“Doel udah makan?”
“Belum Nyak, tadi cuma sarapan roti di kantor”
(Si Doel Anak Sekolahan)
Sebagai bahan pangan pokok, beras dan segala produk turunannya memainkan fungsi penting dalam struktur meja makan keluarga Indonesia. Hampir tidak ada ritus makan tanpa menyertakan nasi. Tidak mengherankan jika nasi kemudian beranak pinak dalam berbagai ragam. Mulai dari cara masak (nasi goreng, nasi liwet, nasi bakar), daerah asal (nasi Padang, nasi Kapau), sampai ke kaidah pengemasan.
Dalam ranah pengemasan, ada dua mazhab yang menjadi patokan umum. Bungkus dan Kotak. Mazhab pertama punya jejak panjang dalam sejarah sosial politik Indonesia. Kehadirannya turut ambil bagian dalam peristiwa-peristiwa yang menjadi penanda zaman di bangsa ini. Tanpa mengurangi jasa dan kontribusi nasi kotak, dengan segala hormat tulisan ini akan difokuskan pada peran nasi bungkus dalam perjalanan sejarah bangsa.
Sesuai namanya, nasi bungkus adalah ragam hidangan nasi yang disajikan dalam keadaan terbungkus. Sesuai perkembangan zaman, pembungkusnya berkembang dari daun sampai kertas nasi. Beberapa hidangan nasi bungkus masih konsisten menggunakan daun sebagai kemasannya, seperti nasi jamblang dari Cirebon.
Nasi jamblang adalah hidangan nasi berbungkus daun jati dengan aneka lauk pelengkap. Awalnya dibuat oleh Nyonya Pulung asal desa Jamblang, Cirebon, Jawa Barat, saat masa pendudukan Belanda. Nyonya Pulung merasa iba dengan buruh-buruh pabrik gula dan spiritus yang berada di daerah Gempol dan Palimanan yang sulit mencari nasi untuk sarapan dan makan siang.
Dirinya lalu membuat hidangan nasi berbungkus daun jati yang banyak ditemui di daerah tersebut untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada buruh pabrik. Selain sebagai pembungkus, daun jati memberikan rasa khas pada nasi yang dikemas dalam keadaan masih hangat. Mirip dengan kontribusi daun pisang pada hidangan nasi timbel khas Priangan.
Lama kelamaan para buruh merasa terbantu dengan hidangan Nyonya Pulung dan kepopulerannya segera menyebar. Sampai saat ini nasi jamblang masih menjadi salah satu representasi kuliner Wong Grage. Penikmatnya pun meluas, tak terbatas sebagai makanan blue–collar worker saja. Lauk pauk pelengkapnya juga makin beragam. Salah satu yang populer adalah balakutak cumi. Cumi-cumi yang masih segar ditumis dengan bumbu tanpa menghilangkan tinta hitamnya yang memberi tambahan rasa gurih.
Berselang hampir satu abad kemudian, nasi bungkus kembali hadir mewarnai dinamika sosial politik Indonesia. Ketika ekonomi negara di ujung tanduk setelah rontok dihajar krisis moneter tahun 1997, pemerintah mencoba menggunakan nasi bungkus sebagai salah satu jaring pengaman sosial.
Jika Nyonya Pulung membagikan nasi jamblang buatannya untuk para buruh, Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial Kabinet Pembangunan VII menginstruksikan warung tegal di seputaran Jakarta untuk memberi nasi bungkus gratis bagi pekerja korban pemutusan hubungan kerja. Putri sulung Pak Harto itu bahkan tak segan ikut mencicipi nasi bungkus, meski cuma sesuap dua suap saat peluncuran program dan langsung melenggang dengan sedan dinas Volvo kinclongnya.
Jika nasi bungkus Nyonya Pulung dikenal karena kelezatannya, nasi bungkus Mbak Tutut jadi pembicaraan karena meninggalkan tumpukan utang. Kabinet Pembangunan VII hanya berusia seumur jagung dan jabatan Mbak Tutut sebagai Menteri Sosial dinyatakan demisioner berbarengan dengan mundurnya sang ayah sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Tagihan pembayaran dari pemilik warung tegal akhirnya menjadi tagihan abadi.
Mundurnya Soeharto adalah puncak dari gerakan reformasi. Sebelumnya gelombang demonstrasi yang dimotori mahasiswa menyebar di berbagai kota besar. Saat itu masyarakat menaruh banyak harapan akan datangnya perubahan di pundak mahasiswa. Mahasiswa dianggap sebagai perpanjangan lidah rakyat saat wakil mereka yang duduk di parlemen cuma kenal kata setuju, sebelum akhirnya menjadi sekadar pengisi kursi penonton acara talkshow televisi.
Nasi bungkus kemudian jadi tanda solidaritas. Di Jakarta, mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR mendapat pasokan nasi bungkus dari berbagai kalangan masyarakat. Mulai dari sopir taksi sampai arisan ibu-ibu istri pengusaha, yang salah satunya dikoordinir oleh Raisis Panigoro, istri pengusaha minyak Arifin Panigoro. Bantuan itu terus mengalir sampai mahasiswa berangsur-angsur pulang meninggalkan Senayan saat Soeharto resmi meletakkan jabatan sebagai Presiden RI.
Sementara di Yogyakarta, masyarakat di sepanjang rute menuju Alun-Alun Utara tempat dilangsungkannya Pisowanan Ageng pada 20 Mei 1998 secara sukarela dan tanpa dikoordinir menyediakan nasi bungkus untuk sekitar satu juta peserta rapat akbar yang jadi puncak dukungan masyarakat Yogyakarta untuk gerakan reformasi.
Sebelumnya di Universitas Gadjah Mada, para istri pengurus harian Keluarga Alumni Gadjah Mada membuka Warung Murah Kagama untuk membantu mahasiswa mendapat makan siang yang cukup bergizi dengan harga murah. Selembar uang Rp 500 dapat ditukarkan dengan nasi beserta sayur dan lauk pauk sederhana.
Rezim lalu berganti. Tiran yang dulu jadi musuh bersama sudah mengundurkan diri. Mahasiswa kembali lagi bertemu dengan tugas kuliah dan diktat setebal bata. Mereka kemudian lulus dan sebagian menjadi pengisi kubikel-kubikel di perkantoran kawasan Segitiga Emas Jakarta. Nasi bungkus kemudian menjadi perihal siasat. Perut harus tetap kenyang sementara pendapatan sudah dibagi ke berbagai pos tagihan.
Pekerja-pekerja yang di jam kantor tampil klimis dan berusaha patuh pada standar etika pergaulan dunia profesional, kembali menemui jati dirinya sebagai manusia separuh urban separuh ndeso saat jam makan siang tiba. Sebungkus nasi uduk, nasi padang, atau nasi warung tegal, yang dibeli dengan menyuruh pesuruh kantor, mengembalikan mereka ke sosok yang disebut oleh Seno Gumira Ajidarma sebagai Homo Jakartanensis.
Untuk sesaat mereka meninggalkan segala kaidah tabble manner dan menikmati asyiknya menyesap tulang ayam dan menjilati jari-jari yang dipenuhi bumbu gulai sambil ongkang-ongkang kaki dengan sandal jepit. Ritual yang tentunya mustahil ditampilkan saat makan bersama kolega di salah satu restoran fine dining terkemuka.
Nasi bungkus kemudian kembali ke arena politik sejak kampanye Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2012 yang mempertemukan Joko Widodo dengan petahana Fauzi Bowo. Ontran-ontran antar pendukung calon gubernur di forum dunia maya kemudian mempopulerkan istilah pasukan nasi bungkus, sebutan untuk kelompok pendukung calon tertentu yang legenda urbannya dibayar dengan nasi bungkus dan sejumlah duit.
Istilah pasukan nasi bungkus kemudian makin memanas saat kampanye Pemilu Presiden Tahun 2014. Pemicunya adalah seorang penyair berwujud separuh politisi bernama Fadli Zon. Dirinya membuat puisi berjudul Pasukan Nasi Bungkus. Nasi bungkus kemudian dimampatkan sebagai alat transaksi politis. Bukan lagi sebagai penerobos batas kelas dan tanda solidaritas.
Lepas dari segala sisik melik keberadaaanya, nasi bungkus tetaplah berperan penting sebagai pengganjal perut yang mampu beradaptasi dalam perkembangan zaman. Praktis dan terjangkau. Perkara sosial politis yang membawanya kesana kemari biarlah jadi catatan sejarah. Makan nggak makan asal kumpul. Kumpul nggak kumpul, yang penting makan.