Sepertinya tim sukses Bung Sandiaga Uno membaca Geotimes dan mendengarkan saran saya kalau Jakarta butuh pemimpin ganteng, seksi, dan mampu ereksi(1). Buktinya, Bung Sandi kini tidak segan-segan membeli celana dalam ketika ia berkunjung ke pasar malam di daerah Penjaringan, Jakarta Utara(2).
Alih-alih menghindari topik soal celana dalam yang sempat membuat namanya melejit(3), Bung Sandi terlihat lebih luwes ketika memilih dan membeli celana dalam. Bung Sandi bahkan menghabiskan waktunya untuk mengukur celana dalam tersebut di badan dan kepalanya. Sandiaga juga turut bercanda dengan ibu-ibu di sekitarnya dan menyebutkan bahwa celana dalamnya basah.
Good move, Bung Sandi! You’re on the right track!
Sandiaga memang seharusnya menonjolkan keseksian dan ketampanannya untuk mengumpulkan suara pemilih muda dan ibu-ibu rumah tangga. Kita harus mengingat bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono memenangkan pemilihan presiden beberapa tahun lalu. Suara mayoritas ibu-ibu kompak dalam satu koor: SBY ganteng! Minimal jika argumennya kacau dan kebijakannya menyulitkan, masih ada hal positif yang terlihat jelas dengan mata.
Sayangnya, Sandiaga tidak sendiri. Di kubu lainnya ada Agus Yudhoyono yang juga dianggap tampan dan gagah. Salah satu laman media daring bahkan menulis dengan judul besar bahwa Agus lebih ganteng dari Christiano Ronaldo. Ahok, yang juga tampan, harus berbagi panggung dengan kandidat pasangan lainnya.
Tampan yang Pertama, Tampan yang Utama
Dalam banyak kesempatan, individu memang lebih banyak mendasari keputusan-keputusan penting, termasuk pengambilan keputusan dalam pemilihan kandidat, dengan cara yang disebutkan Daniel Kahneman, psikolog yang memenangkan Nobel Ekonomi, sebagai fast, unthinking judgement.
Coba ingat kembali berapa uang yang Anda habiskan untuk membelanjakan sesuatu yang tidak Anda butuhkan, kemudian memberikan alasan “mungkin” berguna dan akan terpakai lain waktu. Begitu pula yang terjadi pada pemilihan kepala daerah.
Penelitian memang menunjukkan bahwa keputusan pemilih bukanlah berdasarkan evaluasi dan program kerjanya, melainkan dari hal yang dianggap remeh temeh seperti atribut: agama, suku, termasuk di antaranya adalah tampilan fisik. Ekstrimnya lagi, kita memilih sama dengan bagaimana anak-anak memlilih: apakah dari wajahnya terlihat punya kapabilitas atau tidak (Antonakis & Dalgas, 2000). Informasi mengenai atribut ini jauh lebih cepat menyebar dan lebih ditanggapi dengan reaktif oleh massa dibandingkan berlembar janji dan visi misi kampanye.
Kita akan lebih percaya pada individu yang terlihat rapi, seksi, sehat, dan wangi. Karenanya, pidato tidak perlu lebih panjang dari waktu yang dibutuhkan fashion stylist untuk menata penampilan kandidat. Kombinasikan rasa percaya diri dengan tampilan rapi, jas mahal atau kaos polo bermerek. Effortless look.
Todorov(4) (2005), seorang psikolog dari Princeton menemukan bahwa dalam memilih kandidat, walaupun seseorang berpikir bahwa dirinya mengambil keputusan yang rasional, bisa saja sebenarnya menilai seseorang minimal dari impresi individu tersebut terhadap wajah kandidatnya. Selanjutnya, ia juga mengatakan bahwa impresi kepada seseorang yang memiliki wajah baby face (seperti Bung Sandiaga) akan menunjukkan kesan mampu dipercaya.
Preferensi untuk memilih pemimpin yang berpenampilan menarik mungkin terkait dengan kepedulian kita mengenai kerentanan akan penyakit. Tampilan fisik yang menarik adalah salah satu penanda tingkat kesehatan seseorang: kulit lembut, tegap dan berisi, mata yang jernih, dan wajah simetri bak model fashion atau atlit superstar.
Ingat saja bagaimana Hillary Clinton diisukan tidak punya kapabilitas ketika rakyat Amerika mendengarkan isu bahwa ia menderita kanker. Bagaimana seseorang yang tidak fit secara fisik mampu memimpin negara?
Apakah ini berpengaruh? Di wilayah yang mempunyai tingkat kesehatan yang tinggi, perbedaan fisik antar-kandidat tidak akan begitu terlihat. Namun, di wilayah di mana tingkat kesehatan yang rendah, kandidat yang lebih menarik akan menangkup porsi suara yang lebih besar. Selain itu, informasi yang cukup mengenai kandidat akan membantu pemilih untuk dapat memberikan pertimbangan lebih banyak dalam memilih calon.
Pilkada Jakarta memenuhi kondisi krisis keduanya, di mana masyarakatnya masih hidup dalam kemisikinan dan ancaman penyakit, serta informasi yang tidak memadai. Dengan kondisi tersebut, tentu pemimpin ganteng dan sehat adalah hal yang menjanjikan, terutama sesuatu yang mereka tidak miliki.
Karenanya, tidak perlu blusukan ke tempat kumuh dan berlaku seolah tidak punya uang. Tidak perlu duduk bersama warga bantaran kali. Yang Bung Sandiaga perlukan hanyalah duduk dan menampilkan ketampanan dan kemapanan. Semua orang akan datang dan meminta bantuan.
Dengan adanya stimulan visual terus-menerus di layar kaca, Pilkada Jakarta tidak lebih dari kontes ketampanan. Para kandidat seharusnya lebih banyak bergaya dan berkaca:
Mirror-mirror in the wall, who is the most handsome candidate after all?
(1) Erektabilitas Sandiaga Uno
(2) Kunjungi Pasar Malam di Penjaringan, Sandiaga Mampir Beli Celana Dalam
(3) Foto ‘Celana Menonjol’ Sandiaga Uno Jadi Viral di Media Sosial