Tanggal 31 Oktober, Presiden Jokowi dan semua jajaran organisasi Islam di Indonesia mengungkapkan sikap terhadap pernyataan Presiden Perancis, Macron. Dalam hal ini, ada beberapa catatan yang ingin saya bagi sebagai suatu renungan. Hal-hal yang perlu dipahami dan ada pula yang dipikirkan kembali:
Pertama, sudah menjadi kewajaran institusi pemerintah dalam wadah negara bangsa merepresentasikan self-image dirinya. Indonesia mempunyai self-image negara demokratis dan negara terbanyak warganya yang mengaku Islam terbesar di dunia. Jadi sudah sepantasnya Indonesia dalam wadah state is unitary actor meng-condemn pernyataan Macron yang dipersepsikan oleh Indonesia (unitary actor) menghina Islam dan melukai hati perasaan warga Indonesia yang mengaku Islam itu. Indonesia juga meng-condemn pelaku pembunuhan yang ada di Perancis itu sebagai wujud self-image-nya juga anti-kekerasan.
Pernyataan Presiden adalah pernyataan politik, bukan pernyataan sosial, kultural, ekonomi, atau dimensi lainnya. Boleh dikait-kaitkan, tetapi tetap dominan politiknya dalam wadah/bingkai politik antar bangsa. Hans Morgenthau dalam karyanya, “Politics Among Nations” (1948) menyampaikan bahwa urusan politik antar negara-bangsa berurusan dengan harga diri setiap bangsa (ego).
Oleh sebab itu, menurut saya dalam membaca karya Morgenthau menyatakan bahwa jika harga dirinya suatu bangsa (self-image suatu bangsa) dihina atau direndahkan, maka dalam sistem internasional yang anarkhi, negara yang terhina boleh meresponnya dengan keras pula. Begitulah norma internasional. Jadi respon Indonesia dan negara lainnya terhadap pernyataan Presiden Perancis wajar-wajar saja dalam norma Internasional.
Singkatnya, pernyataan Jokowi dengan dukungan institusi Islam lainnya tidak ada hubungannya dengan keberanian dan ketegasan seorang pemimpin, tetapi lebih pada self-image Indonesia dilukai sehingga perlu ada reaksi. Hal lain misalnya, bagaimana sikap pemerintah yang meng-condemn Presiden Perancis juga mempertimbangkan para electoral voters-nya dan berbagai macam kepentingan politik dalam negeri serta mempertimbangkan stabilitas warganya yang secara emosional sulit diprediksi dan dikontrol.
Pernyataan keras negara Muslim (Islam), termasuk Indonesia kurang berimplikasi terhadap hubungan diplomatic non politik kedua belah pihak sebab selain alasan di atas (norma internasional), pernyataan kepala negara di dunia hanya menunjukkan sikap politik, self- image, dan posisinya atas peristiwa yang ‘menyerang’ self image-nya. Untuk urusan boycott atau tidak, adalah masalah warganya saja, sejauh mana mereka mau melakukannya.
Hal yang paling keras secara politik dilakukan suatu negara dalam bentuk protes adalah penarikan duta besar. Hal ini pun tetap dalam konteks sikap politik antar bangsa saja untuk menunjukkan kepada dunia dan warganya bahwa negara tersebut mempunyai sikap, tetapi implikasi lainnya seperti ekonomi dan lainnya agaknya masih lemah (kurang signifikan.
Misalnya, kasus penyadapan Australia atas Indonesia yang duta besarnya ditarik pulang. Setelah beberapa bulan, duta besar balik bertugas lagi ke Australia dan pulih Kembali hubungan antar bangsa. Jadi urusannya lebih pada harga diri (prestige) suatu bangsa dalam bingkai politik antar bangsa sama persis yang diilustrasikan oleh Morgenthau.
Kedua, satu hal yang saya masih risih seperti kelilip atau mengganjal adalah, mengapa pernyataan resmi negara Indonesia yang mengaku self image-nya beragama Islam terbesar di dunia dan demokratis itu telat pers conference dibandingkan negara lainnya seperti Turki, Pakistan, Bangladesh, Arab Saudi, dan seterusnya. Dalam hal ini saya tidak mau berspekulasi macam-macam.
Ketiga, dalam pernyataan Presiden Jokowi, Beliau mengatakan bahwa tindakan Presiden Perancis, Macron “bisa memecah belah persatuan antar-umat beragama di dunia, di saat dunia memerlukan persatuan untuk menghadapi pandemi Covid-19”. Pernyataan ini masih membingungkan sebab urusan simplifikasinya adalah antara Islam dan sekulerisme di Perancis bukan antara Islam dan agama lainnya sedangkan jika tidak mau simplifikasi urusannya sangat rumit dan kompleks juga alias bukan hanya urusan agama saja. Dalam hal ini, Saya tidak mau berspekulasi jauh, saya hanya mengungkapkan kebingungan pernyataan beliau saja.
Keempat, pernyataan “mengaitkan agama dengan tindakan terorisme adalah sebuah kesalahan besar. Terorisme adalah terorisme, tidak ada hubungannya dengan agama apapun”. Saya pikir, jika para terorisme itu salah tafsir atau menggunakan agama sebagai dalih tindak kekerasan atau sebagai justified war atau justified violence, apakah tetap mau tidak dikaitkan dengan agama? Apakah pihak agamawan akan membiarkan hal itu terjadi, karena tidak ada kaitannya dengan urusan ke-agama-an mereka?
Ali Fauzi, Ustaz Abdurrahman Ayyub, Nasir Abbas, Ali Imron, dll adalah mantan terorisme yang sekarang membantu BNPT. Apakah mereka tidak ada kaitannya dengan agama sebelumnya? Dalam membantu BNPT, apakah mereka tidak masuk ke dalam ruang/dimensi agama dalam anjurannya agar seseorang tidak melakukan tindak terorisme? Tidak perlukah agama dikaitkan dengan terorisme sementara pencegahan terorisme, salah satunya melalui jalur soft power agama?
Keempat, mungkin pernyataan Jokowi dan yang lainnya memang mewakili warganya yang sakit hati dilukai oleh negara Perancis tanpa harus memahami secara mendalam kompleksitas masalah internal Perancis dan budayanya yang sudah berabad-abad berjalan. Tambah runyam lagi, Pemerintah Turki juga mempunyai agenda politik yang serius sejak sebelum muncul pernyataan Presiden Perancis itu, termasuk kontraversi perubahan status bangunan Hagia Sophia. Singkatnya, setiap kepala negara mempunyai agenda politiknya masing-masing dalam merespon pernyataan Presiden Perancis tersebut.
Lagi pula lebih rumit lagi ketika kita berusaha memahami respon kepala negara, khususnya Indonesia terhadap pernyataan Presiden Perancis, Macron. Tentunya respon suatu negara Muslim terkait pidato terakhir pasca kematian guru yang dibunuh, Samuel Paty, adalah reaksi yang reaksionis yang tidak memperdulikan istilah-istilah ‘simplistik’ dalam worldview orang Perancis (keterbatasan membuat definisi orang Islam yang rumit agar tidak overgeneralization tetapi spesifik ke objek tertentu yang dimaksud) sehingga dalam worldview-nya dunia Islam, worldview orang Perancis dianggap menghina dan menyakiti hati dunia Islam.
Problem jauhnya lagi urusan perasaan dan sakit hati (pain) adalah urusan manusia yang cukup rumit dan sulit diukur jika tidak masuk dan merasakannya.
Kelima, apakah dengan meng-condemn Presiden Macron, suatu negara menjadi justified violence atau pro pembunuh itu? Apakah Pidato Presiden Macron setelah meninggalnya Samuel Paty juga justified blasphemy terhadap Islam? Maukah suatu negara mau masuk ke dalam sistem permainan tanda atau logika oposisi biner yang sejak lama diungkapkan Samuel Huntington (1998) tentang selisih/benturan (clash) Peradaban: Islam vs the West; Islam vs Sekulerisme; dan seterusnya? Saya kira penting untuk merenungkan pertanyaan reflektif ini.
Kelima hal di atas adalah hal-hal yang perlu dipahami dan beberapa yang lainnya perlu dipikirkan kembali. Hal-hal itu penting sebab menghindari pikirin sempit dan emosional yang justru memperkeruh masalah dan menjauhkan kita dari berpikir lebih jernih.