Isu yang berkembang setelah pelantikan kepala daerah beberapa waktu lalu adalah mutasi pejabat birokrasi di daerah. Walau dalam Pasal 162 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) memberi batasan waktu enam bulan bagi kepala daerah untuk tidak melakukan mutasi, aturan itu tetap saja membuat birokrasi tidak tenang bekerja.
Begitu juga dengan aturan yang mewajibkan adanya lelang terbuka terkait dengan jabatan yang akan ditempati birokrasi sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tidak menjamin karir birokrat di daerah tetap cemerlang. Faktanya kepala daerah terpilih tetap saja bisa mempengaruhi hasil keputusan akhir siapa yang akan menjadi pejabat di lingkungan pemerintahan yang dipimpinnya.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap pilkada yang berlangsung sulit dihindari adanya keterlibatan birokrasi. Meskipun birokrasi berusaha untuk bersikap netral, dalam persepsi calon kepala daerah, birokrasi tetap berpihak. Bahkan bersikap netral pun bisa diterjemahkan oleh kepala daerah berpihak karena tingginya tensi politik pasca pilkada. Namun, yang jelas, setiap sikap yang dipilih oleh birokrasi tersebut memiliki konsekuensi politik sendiri.
Ini wajar, karena sikap politik yang ditunjukkan oleh birokrasi menjadi dasar pula bagai kepala daerah membuat keputusan politik. Bahkan untuk memastikan sikap politik pejabat birokrasi selama pilkada berlangsung, kepala daerah tidak segan menggali informasi dari informannya untuk mengetahui siapa saja yang tidak mendukungnya dalam pilkada tersebut. Informasi ini penting bagi kepala daerah untuk memetakan “kabinet” yang akan dibentuknya dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan.
Yang menarik, ketika pilkada berlangsung, birokrasi di daerah memang terbelah kepada pilihan-pilihan politik yang harus dibuat. Tidak jarang untuk menentukan pilihan politik itu, mereka saling berdiskusi menentukan ke mana kecenderungan pilihan harus dibuat. Jika peluang kemenangan seorang calon kepala daerah besar, mereka akan beramai-ramai menunjukkan dukungannya.
Begitu juga sebaliknya. Jika peluang calon kepala daerah kecil, kelompok birokrat ini akan bersikap dingin dan acuh terhadap calon kepala daerah tersebut. Inilah salah satu cara birokrasi memperlihatkan bentuk netralitasnya. Bagi kepala daerah, cara birokrasi bersikap ini tentu sangat menyakitkan dan bahkan dapat menjadi dendam politik. Jika kepala daerah tersebut ternyata menang dalam pilkada, kelompok birokrat inilah yang akan “dihabisi” dulu.
Loyal dan Royal
Sebagai pejabat pembina kepegawaian, maka kepala daerah terpilih akan segera mempertimbangkan pendukungnya yang berasal dari birokrasi untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Namun, tidak jarang kepala daerah juga meminta masukan dari tim suksesnya, terutama penilaian mereka terhadap sikap birokrasi sewaktu pilkada berlangsung. Tim sukses ini memiliki data siapa saja pejabat birokrasi yang memang terlibat dalam mendukung seorang calon kepala daerah.
Biasanya masyarakat di kabupaten/kota mengenali bagaimana sikap politik pejabat birokrasi terhadap calon kepala daerah yang bertanding. Hampir semua informasi tentang pejabat birokrasi ini dengan mudah diperoleh oleh kepala daerah terpilih. Jika kepala daerah terpilih mendapatkan informasi tentang sikap pejabat birokrasi yang tidak mendukungnya, karir pejabat tersebut akan terancam. Karenanya, tidak sedikit pejabat birokrasi mengajukan surat pindah tugas ke kabupaten atau kota lain karena calon yang didukungnya kalah dalam pilkada.
Bagi kepala daerah, penting menempatkan pejabat birokrasi yang berjasa kepadanya dalam pilkada. Penempatan pejabat birokrasi ini perlu dilakukan, terutama untuk melanjutkan kekuasaan politiknya di masa yang akan datang. Umumnya kepala daerah akan memperhatikan dua kriteria berikut dalam diri birokrat yang dipilihnya.
Pertama, melihat seberapa besar loyalitas pejabat birokrasi itu kepadanya. Hampir semua kepala daerah terpilih menjadikan indikator ini sebagai pertimbangan utamanya. Dalam kontes yang sederhana, bagi kepala daerah terpilih, loyalitas ini dikaitkan dengan seberapa nyata dukungan yang diberikan oleh pejabat birokrasi ketika pilkada berlangsung.
Selain itu, loyalitas bagi kepala daerah terpilih juga bisa diketahui dari informannya yang tinggal di tempat birokrat itu berdomisili. Apakah ketika pilkada dulu birokrat ini memilih dirinya atau tidak. Jika ternyata birokrat ini berseberangan dengan kepala daerah terpilih, biasanya karir mereka akan meredup selama kepala daerah itu berkuasa. Sebaliknya, jika birokrat tersebut menunjukkan dukungannya, maka selama lima tahun itu karirnya akan cemerlang.
Kedua, melihat seberapa “royal” peluang pejabat birokrasi ini kepada kepala daerah setelah diberi jabatan. Royal berarti dapat menyediakan apa yang menjadi keinginan kepala daerah untuk mendukung kekuasaannya. Jamak diketahui ketika pilkada berlangsung kepala daerah menghabiskan uangnya dalam jumlah yang banyak. Dibandingkan dengan gaji yang mereka terima ketika terpilih sebagai kepala daerah, tentu tidak akan dapat menutupi segala biaya politik yang dikeluarkan selama pilkada berlangsung.
Maka, di sinilah birokrat yang royal kepada kepala daerah ini dibutuhkan, terutama untuk mewujudkan tujuan lain yang menjadi niat kepala daerah itu. Karenanya, tidak heran banyaknya kasus korupsi dan gratifikasi di pemerintah daerah selama ini adalah akibat sikap birokrat yang terlalu loyal dan royal kepada kepala daerah yang melantik mereka sebagai pejabat di pemerintah daerah.