20 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla genap satu tahun memerintah. Sebagai Presiden yang berasal dari kalangan sipil, pemerintahan Jokowi akan selalu dipersandingkan dengan kemampuan presiden yang berasal dari kalangan militer. Terutama dalam hal sejauhmana seorang sipil mampu memimpin republik ini ke arah yang lebih baik? Lalu, “modal” seperti apakah yang dimiliki Jokowi agar mampu menjadi presiden yang mumpuni memimpin hingga empat tahun mendatang?
Menurut Richard Neustadt, jabatan presiden merupakan “the power to persuade”. Presiden adalah jabatan untuk mengajak, membujuk, dan merayu publik, lembaga negara, dan pihak-pihak lainnya agar yakin kepada visi dan misinya serta berkeinginan bersama-sama mewujudkan visi dan misi tersebut.
Jika hendak membandingkan kapasitas Jokowi dan presiden dari unsur militer atau sipil lainnya dalam “merayu” publik dan lembaga negara lainnya, mantan Gubernur Jakarta itu belum terlalu mengecewakan. Faktanya, presiden paska-reformasi memang kerap gagal meyakinkan publik dalam menjalankan visi dan misi kampanye melalui kebijakan bidang politik-hukum, ekonomi, sosial, dan budaya yang prokemaslahatan rakyat. Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono juga memperlihatkan kemampuan yang lemah dalam meyakinkan publik melalui kebijakannya.
Jokowi sesungguhnya memiliki potensi lebih besar dalam meyakinkan publik melalui kebijakan yang dikeluarkannya. Sebab, sebagai penggagas kerja blusukan, Jokowi memiliki kedekatan yang luar biasa dengan rakyat dibandingkan presiden lainnya (kecuali Bung Karno). Sayang, kedekatan itu kerap gagal menghasilkan kebijakan yang prorakyat. Misalnya, soal kebijakan Jokowi yang tidak tegas melindungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari upaya pelemahan berupa serangan balik para koruptor kepada lembaga antirusuah itu dan kehendak DPR untuk merevisi UU KPK.
Jokowi juga dianggap terlalu lemah dalam menyikapi bencana kabut asap. Padahal, sebagai figur yang membumi, semestinya Presiden dapat menjatuhkan hukuman tegas kepada perusahaan-perusahaan pembakar hutan. Sikap lembek Jokowi itu memperlihatkan bahwa Presiden belum mampu memahami perasaan publik. Kegagalan memahami perasaan publik itu akan mengakibatkan kegagalan Presiden meyakinkan publik pada sektor kebijakan lainnya.
Pada titik ini, Jokowi berada pada posisi yang berbahaya. Jika partai yang menentang pemerintahan Jokowi melakukan tindakan provokatif dengan memberikan bantuan nyata kepada korban bencana asap atau sikap nyata melindungi KPK, dapat dipastikan keyakinan publik kepada pemerintahan akan beralih kepada kubu oposisi.
Padahal, sebagai presiden dari kalangan sipil, modal Jokowi tidak kalah besarnya dengan para presiden dari kalangan lain. Menurut C.F. Strong, setiap presiden memiliki kewenangan yang tersebar pada lima fungsi. UUD 1945 setidaknya memberikan Presiden Jokowi kewenangan-kewenangan yang sangat penting tersebut dalam mendukung kinerjanya.
Jokowi memiliki fungsi pemerintahan dengan menjadi komando seluruh kementerian yang ada (Pasal 4 dan Pasal 17 UUD 1945). Presiden juga memiliki fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang jauh lebih besar daripada DPR dan DPD (Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945). Presiden berperan dalam cabang kekuasaan kehakiman (Pasal 24A, 24B, dan 24C UUD 1945) dan bahkan menentukan duta, konsul, peran dan perjanjian antarnegara (Pasal 11 dan Pasal 13 UUD 1945).
Presiden juga merupakan pemimpin tertinggi angkatan perang dan keamanan (Pasal 10 dan Pasal 30 UUD 1945). Sehingga presiden pada dasarnya memiliki modal konstitusional yang amat besar dalam menjalankan pemerintahannya. Dengan demikian, mustahil kiranya bagi seorang presiden tidak mampu mengeluarkan kebijakan yang prokemaslahatan publik karena memiliki kewenangan yang amat kuat tersebut.
Apalagi dengan kewenangan yang amat kuat itu, Jokowi tidak perlu sekadar blusukan tetapi juga harus membuat perintah tegas yang terimplementasikan di lapangan. Dalam mengatasi bencana asap, misalnya, Jokowi bisa dengan mudah memerintahkan seluruh elemen pertahanan dan keamanan untuk berpartisipasi dalam menghentikan bencana. Tidak hanya mengerahkan aparat untuk memadamkan api tetapi juga menindak para perusahaan pelaku pembakaran. Sayang, sejauh ini Jokowi lebih banyak bertindak dengan turun ke lapangan untuk meyakinkan publik bahwa dia telah bekerja. Padahal, publik menunggu Presiden menindak para pelaku pembakaran dengan tegas.
Sikap Jokowi yang sama dapat dibaca dalam tindakannya melindungi KPK. Jokowi tidak menunjukkan ketegasan bersikap melawan upaya-upaya memperlemah lembaga antirusuah tersebut. Padahal, Jokowi tidak perlu khawatir terhadap langkah berbeda sikap dari partai oposisi, bahkan partai pendukungnya sendiri, karena partai tidak dapat dengan mudah memberhentikan Presiden. Apalagi jika publik mendukung sikap Presiden.
Itu sebabnya satu tahun pemerintahan Jokowi lebih muram dengan ketidaktegasan bersikap dan bertindak sebagai Presiden. Mungkin karena Jokowi tidak sepenuhnya paham betapa “berkuasanya” jabatan seorang presiden.