Rasa-rasanya, reformasi yang terjadi 17 tahun lalu kini telah mengalami titik balik. “Orba Jilid II” (tanpa Soeharto di dalamnya) seakan bersemi kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Beberapa pertanda mulai muncul, persisnya ketika pelarangan bersuara sudah mulai menjadi kemahfuman lagi. Bahkan beberapa di antaranya telah diinstitusionalisasikan ulang. Sungguh menyedihkan!
Agustus lalu, kita tersentak mendengar revisi RUU KUHP yang berencana akan mencantumkan pasal penghinaan presiden. Bukan berarti saya sepakat bahwa presiden boleh dihina, toh itu juga presiden kita. Namun, dampak politik riil yang terjadi bakal begitu merisaukan. Ingat, ada berapa orang yang dulu ditangkap, melarikan diri dan menjadi buron, juga berbagai pers yang dibredel, saat Soeharto tidak berkenan hati dengan suara-suara yang mengkritiknya. Ini riil, bukan asumsi normatif bahwa hukum pasti netral (benar).
Beranjak Oktober, kita menjadi semakin galau akibat Surat Edaran Polri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Sebuah surat edaran yang mampu menersangkakan orang dengan ancaman pidana penjara selama 5 tahun dan denda paling banyak 500 juta rupiah. Mengerikan sekali! Apa sebenarnya batasan ujaran kebencian. Jangan-jangan, dalam praktiknya nanti, setiap usaha kritik dan berbeda pendapat, kalau seseorang semisal pejabat tak suka dengan isi kritik itu, bisa dikenakan pasal ujaran kebencian.
Ingat, negara ini sedang porak-poranda dari segala lini. Rakyat teriak-teriak bukan karena mereka membenci pemimpinnya, namun keabaian sang pemimpin yang sudah tuli akan suara rakyatnya sendiri. Kalau mereka yang mengkritik dengan pedas para pejabat lalu bisa mudah dimasukkan bui, bisa penuh semua lapas di Indonesia. Wong rakyat bawah sekarang sedang marah-marahnya akibat asap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hendak dikerdilkan, hingga yang paling kasat mata ketika tanah-tanahnya direbut oleh korporasi.
Belum genap seminggu memasuki November, Provinsi DKI Jakarta ternyata ikut ketularan virus serupa, dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Titik baliknya sama, meski intensitasnya agak lebih kecil (hanya Pergub), yakni bersuara itu harus dibatasi–kalau perlu ditakut-takuti agar tak bersuara.
Gejala-gejala semacam ini adalah salah satu indikator yang saya pahami ada dalam rezim Orba dulu. Saat masih kuliah ilmu politik, nyaris seluruh buku pegangan kuliah yang mengupas rezim Orde Baru meletakkan rezim ini sebagai rezim: Anti-kritik dan Alergi-protes.
Apakah keberadaan regulasi-regulasi di atas adalah pertanda akan lahirnya Orba Jilid II? Saya kira iya. Mari kita lihat kejadian di lapangan. Di wilayah pers, berulang kali terjadi pembungkaman dan pembredelan atas kegiatan mahasiswa yang bersendi pada praktik jurnalisme ini. Pers Mahasiswa (selanjutnya persma) Dianns, tercatat pernah dilarang diskusi dan nonton film oleh pihak Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang.
Persma Aksara pernah diancam akan dibubarkan jika menulis tentang keburukan Fakultas Ilmu Keagamaan (FIK) Universitas Trunojoyo, Madura. Yang terbaru, majalah Lentera dibredel oleh kepolisian dan Rektorat Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Belum berakhir dengan kejadian-kejadian tersebut, beberapa minggu lalu muncul lagi aksi sweeping pihak Rektorat Universitas Mataram terhadap persma Media beserta pengusiran seluruh awak redaksi dari sekertariat mereka.
Di wilayah konflik agraria, saya kira catatannya sudah tak terhitung lagi. Mulai dari sekadar menyobek iklan korporasi hingga masalah mencabut patok pembatas yang dilakukan korporasi, semua masalah remeh-temeh yang tak menyenangkan korporasi semacam itu bisa berakhir dengan urusan polisi dan pengadilan. Ironis!
Adapun rekor terbesar kasus kriminalisasi atas “perbuatan yang tidak menyenangkan kepada pihak lain” adalah wilayah media sosial (medsos). Tak terhitung lagi jumlahnya orang yang dikasuskan lantaran perkara note, status, atau sekedar twit di jejaring internet. Mulai dari kasus yang menkritik pelayanan hingga kasus yang sangat tidak masuk akal sekalipun, semacam status cemooh atas kehidupan sebuah kota, Florence Sihombing sungguh bernasib sial dalam hal ini. Juga polemik sastra yang seharusnya otonom sebagai proses berkebudayaan, ternyata mengisahkan cerita Iwan Soekri dan Saut Situmorang yang dikriminalisasi oleh pasal karet penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dari semua ini, apalagi yang bisa dikatakan kecuali Indonesia ke depan akan mengarah pada kemunculan tatanan Orbais babak kedua. Regulasi yang menakut-nakuti orang bersuara sudah dibuat, praktik di lapangan sudah ratusan bahkan ribuan kasus, maka ini adalah pertanda nyata bahwa spirit “anti kritik dan elergi protes” yang disemai oleh Soeharto selama 32 tahun lamanya kembali menjamah kehidupan kita sehari-hari sekarang. Tinggal menunggu saja, kapan giliran Anda sekalian akan tersangkut persoalan semacam ini. Waspadalah!
Kadang saya pernah berpikir nakal, andaikan “perbuatan tidak menyenangkan” dan “pencemaran nama baik” ini di balik logikanya, bukan para pejabat yang mengkriminalisasikan rakyatnya, apa yang akan terjadi? Sebab, saya sering melihat rakyat merasa tidak senang dan merasa dipojokkan oleh statemen pejabat/pemimpin daerahnya. Bisakah rakyat mengadukan ke polisi kalau sang pejabat melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada rakyatnya? Menurut logika, itulah yang ideal jika kita taat nalar supremasi hukum, bahwa siapa pun di hadapan hukum adalah setara.
Di luar ini semua, saya harus memberikan peringatan pada khalayak publik akan kelahiran Orba Jilid II yang mengancam kehidupan kita mendatang. Mari kita serempak menghadang laju perkembangan Orba Jilid II ini. Untuk itu, saya hendak mengatakan: “Awas Bahaya Laten Orbais!” Atau dengan sebuah plesetan: “Waspada Orbais Gaya Baru!”