Tak heran jika Lembaga Zakat, Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah (Lazismu) dan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) menjadi dua lembaga Muhammadiyah paling hits saat ini. Karena secara ideologis, Muhammadiyah sudah tuntas. Kiprah Lazismu dan MDMC sekaligus meneguhkan bahwa dakwah Muhammadiyah senantiasa peka zaman.
Tepat pada 18 November 2017, Muhammadiyah berusia 105 tahun. Sudah mafhum, sejak berdiri 1912, gerakan Muhammadiyah selalu bernuansa modern. Adopsi muatan dan metodologi pendidikan modern Belanda pada sekolah-sekolah Muhammadiyah kala itu merupakan salah satu contohnya. Alam pikiran dan tindakan Muhammadiyah seringkali melampaui zamannya. Berkemajuan, demikian warga Muhammadiyah menyebutnya.
Bicara hari ini, Lazismu dan MDMC adalah fenomena menarik. Keduanya ngetren saat gaya hidup milenial tengah menguat. Melanjutkan gerakan Muhammadiyah yang telah sangat sukses dengan berbagai amal usaha di bidang pendidikan melalui sekolah dan perguruan tinggi, kesehatan melalui rumah sakit, dan bidang sosial melalui panti asuhan.
Jika gerakan-gerakan itu cenderung bersifat formal, maka Lazismu dan MDMC tampak lebih cair, kultural dan kekinian dengan tidak meninggalkan sisi well-managed dan well-trained. Tak heran, tokoh Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari menyebut kedua lembaga itu sebagai pewaris otentik spirit filantropisme dan volunterisme Muhammadiyah.
Filantropisme dan volunterisme sangat khas milenial. Di antara ciri generasi ini adalah amat suka berbagi dan menjadi relawan. Gerakan kerelawanan seperti Indonesia Mengajar dan Kelas Inspirasi sangat diminati anak muda Indonesia. Demikian pula, platform donasi seperti kitabisa.com teramat populer dan terbukti efektif menarik minat generasi milenial. Muhammadiyah sudah punya keduanya pada Lazismu dan MDMC.
Gerakan-gerakan kekinian itu menarik, karena dua hal. Pertama, menyedot perhatian publik dalam skala luas. Kedua, memuat narasi kebajikan yang sejalan dengan ajaran agama. Artinya, itulah dakwah kekinian, dakwah milenial. Sejalan dengan filosofi dakwah, yaitu mengajak pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Namun, apakah itu berarti dakwah Muhammadiyah telah melekat di kalangan milenial Indonesia?
Secara maknawi, peneliti Neil Howe dan William Strauss dalam buku Millennials Rising: The Next Great Generation (Vintage Books, 2000) mengartikan generasi milenial sebagai mereka yang terlahir antara 1982 hingga kisaran 20 tahun setelahnya. Artinya pada 2017 ini, mereka berusia antara 15 hingga 35 tahun. Media sosial dan platform digital adalah ciri paling khas menggambarkan generasi ini.
Itu artinya, cara paling sederhana mengukur dakwah milenial Muhammadiyah adalah melihat sejauh mana gerakannya dikenal di media sosial, dan sejauh mana konten-konten dakwahnya diserap anak muda via digital. Inilah persoalannya. Rasa-rasanya, gerakan dakwah Muhammadiyah masih belum cukup fasih memasuki ranah ini.
Akun instagram resmi Muhammadiyah @lensamu hanya memiliki 33k followers, sementara akun Muhammadiyah lainnya @persyarikatan_Muhammadiyah memiliki 34k followers. Bandingkan dengan akun Nahdlatul Ulama (NU) @nahdlatululama yang memiliki 296k followers atau Front Pembela Islam @dpp_fpi dengan 300k followers.
Lebih-lebih jika disandingkan dengan akun personal para muballigh dan muballighoh kekinian yang menembus angka jutaan, seperti akun @okisetiwanadewi dengan 5,8m followers, @yusufmansurnew dan @aagym masing-masing 1,7m followers, @hanan_attaki 1,5m followers dan @felixsiauw 1,3m followers. Tentu tak sulit bagi mereka memviralkan konten-konten dakwah pada generasi milenial.
Tak jauh beda, akun resmi filantropi Muhammadiyah @lazismu hanya memiliki 3k followers, berbanding 14k followers milik @nucare_lazisnu. Keduanya masih lebih sedikit daripada akun Dompet Peduli Umat milik Daarut Tauhid @dpu.dt dengan 27k followers. Apalagi akun fundraising @kitabisacom yang mempunyai followers sebanyak 72k.
Sekilas tampak dangkal membandingkan jumlah followers akun-akun itu. Tidak substantif dan hanya melihat kulit muka. Apalagi, jika mengacu jumlah pengikut real warga Muhammadiyah beserta kiprahnya. Organisasi ini memiliki 9.515 lembaga pendidikan, 2.119 lembaga kesehatan, dan 525 lembaga sosial. Itu lebih kongkrit dan tepat sasaran. Namun kini eranya generasi milenial.
Saya teringat kata-kata Ali bin Abi Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Merujuk klasifikasi Howe dan Strauss, millennial saeculum terbagi empat generasi, yaitu generasi baby boom (terlahir antara 1943-1960), generasi X (1961-1981), generasi Y atau milenial (1982–2004) dan generasi Z atau homelanders (sejak 2005). Dari sini, tampak jelas, generasi milenial memasuki usia paling produktif.
Pakar pendidikan Diana G. Oblinger and James L. Oblinger dalam Educating the Net Generation (Educause, 2005) mengamini itu. Bagi keduanya, penting untuk menerapkan strategi pembelajaran sesuai generasinya. Dalam konteks dakwah, tentu penting pula menyesuaikan metode dan konten dakwah agar kekinian. Agar mudah dinikmati anak muda via media sosial (medsos).
Pengaruh medsos tak bisa dipandang remeh. Pada 2010, pemuda Tunisia mengoordinir massa dengan facebook dan twitter melawan rezim Presiden Zine El Abidine Ben Ali. Di Mesir pada 2011, dengan tagar #Jan25 via twitter dan video-video youtube para aktivis menentang rezim Hosni Mubarak. Pada 2014, revolusi payung di Hongkong juga diorganisir lewat medsos. Tahun lalu di negara ini, medsos pula yang menjadi alat penggerak aksi fenomenal 1410, 411, dan 212.
Jika medsos bisa menggalang kekuatan massa, tentunya medsos juga bisa menjadi instrumen gerakan dakwah, sosial dan kemanusiaan. Terlebih, konten dakwah pencerahan amat diperlukan, lantaran dewasa ini, sumber narasi kebencian seringkali bermula dari konten-konten medsos yang viral berupa meme-meme, tagar, maupun pesan-pesan instan di grup-grup aplikasi messenger.
Pertanyaannya, bisakah metode dan konten dakwah Muhammadiyah, yang konon mencerahkan dan berkemajuan itu, menjadi narasi tandingan atas ujaran kebencian yang hilir mudik?
Sebenarnya, upaya menghadirkan unsur kekinian dalam dakwah Muhammadiyah telah banyak dilakukan. Semisal @lensamu yang kian hadir dengan desain-desain kece dan eye catching tanpa mengabaikan substansi dakwah. Atau televisi Muhammadiyah, TvMu, yang cukup sadar milenial dengan tampil multi-platform, mulai dari satelit parabola, streaming website, televisi berlangganan, dan yang terpenting, via akun youtube, TvMu channel.
Namun, bagi Muhammadiyah, dakwah medsos masih layaknya narasi kecil. Padahal, bagi generasi milenial, medsos adalah narasi besar, sang penentu perubahan. Muhammadiyah agaknya perlu memperhatikan kategori yang dalam dunia scouting disebut sebagai current ability dan potential ability. Current ability menandai kemampuan saat ini, sedangkan potential ability menunjukkan potensi di masa depan. Harus disadari, dakwah medsos dapat melahirkan potential ability yang luar biasa dalam tubuh Muhammadiyah.
Ala kulli hal, memperbanyak follower akun medsos tak semata untuk ke-aku-an. Ini juga soal memviralkan kebajikan. Untuk amar ma’ruf nahi munkar. Atau seperti jargon kaum muda Muhammadiyah; fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebajikan. Selamat Milad Muhammadiyah Milenial!