Jumat, April 19, 2024

Muhammadiyah dan NU: Mitos Islam Berkemajuan dan Pluralisme

Nurbani Yusuf
Nurbani Yusuf
Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu

Sebuah hasil riset menyebutkan bahwa pluralisme di NU hanya mitos. Hanya elitenya. Tapi NU akar rumput adalah intoleran yang eksklusif. Tidak menerima keragaman bahkan cenderung memaksakan. Muhammadiyah pun juga sama: berkemajuan hanya di bagian elitenya, kebanyakan puritan, cenderung romantisme merindukan masa lampau atau ‘nyalaf’ dalam makna generik.

Yudi Latif memilah generasi kelima dan keenam kaum inteligensia Muslim, yang kemudian disebut oleh Budhy Munawar Rahman sebagai Islam progresif? Yakni, Islam yang memberi penekanan utama kepada pengembangan ilmu pengetahuan, diskursus keadilan, keterbukaan, sikap toleransi, dan perlunya membangun integritas moral kaum Muslim dalam membangun kebangsaan Indonesia.

Hal mana bertolak belakang dengan arus utama akar rumput yang dominan memuja pada hal-hal furu’ sebut saja : revisi waktu shalat shubuh, isbal, janggut, minyak wangi, anti China, anti Yahudi, anti Kristen, berebut kekuasaan dan membangun identitas.

Buku berjudul Reorientasi Pembaruan Islam, yang ditulis oleh Budhy Munawar Rachman dan diterbitkan pada tahun 2010 menarik disimak. Pada tanggal 28 Juli 2005, Majelis Ulama Indonesia mengetok palu membunuh tiga makhluk penting: pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama. Matikah tiga makhluk ini?

Sampai tahap ini bisa dilihat ada gap yang keras— meluas signifikan terhadap keberagamaan warga Persyarikatan Muhammadiyah. Sayang kajian macam ini memang belum banyak dilakukan, terbukti dengan susahnya menemukan buku, tulisan apalagi hasil riset —padahal sangat penting untuk melihat dengan jujur orientasi keberagamaan warga Persyarikatan dari berbagai kelas sosial, status dan kluster.

Betapapun saya tak sepenuhnya percaya jika Muhammadiyah menabalkan diri sebagai Islam medium, Islam kosmopolit, Islam berkemajuan, Islam modern dan berbagai sebutan lainnya yang ditandai dengan berbagai indikator, sebut saja tingkat pendidikan yang tinggi, status sosial mapan dan ekonomi yang kokoh.

Cukup banyak indikator yang justru berbalik— warga Persyarikatan tak sepenuhnya demikian. Bahkan masih banyak warga Persyarikatan yang tak bisa atau tak mampu sekolah di amal usahanya sendiri karena keterbatasan ekonomi. Juga masih banyak warga Persyarikatan yang tak punya akses yang cukup meski sekedar ke amal-amal usaha Muhammadiyah yang representatif sebagai bagian dari warga Persyarikatan. Agar mereka tidak hanya menjadi penonton dan warga yang tidak tersentuh oleh dakwah.

Realitas ini harus disikapi secara jujur, dan lapang hati bahwa masih banyak pekerjaan yang belum selesai atau terlewatkan dan itu wajar, guna mendapatkan pemahaman keberagamaan warga persyarikatan yang utuh, taktis dan komprehensif untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis jangka panjang ke depan.

Dunia demikian cepat berubah dan bisa saja semua berbalik menurut hukum dialektik — yang dulunya disebut tradisional menjadi sangat modern atau sebaliknya, yang dulu menyebut dirinya modern menjadi jumud, kolot dan eksklusif. Siapa bisa cegah? Ibarat pendulum apa pun bisa terjadi.

Boleh jadi kemajuan elite Muhammadiyah tidak berbanding lurus dengan warga persyarikatan kelas bawah bahkan mungkin saja malah bertolak arah — mari kita buktikan. Realitas warga di tingkat yang paling bawah apakah juga paham dan mengerti. Sebuah pertanyaan klise untuk menjawab sesuatu yang sudah jelas.

Pun dengan sikap keberagamaan warga Nahdhiyin yang disebut plural, menjaga keragaman, kebhinekaan dan apapun sebutannya juga hanya klise dan hanya ada di tingkat elitenya, realitasnya warga nahdhiyin juga kurang lebih sama. Pluralisme dan kebhinekaan hanya mitos di tataran akar rumputnya.

Lalu apa hubungannya dengan polemik di atas? Bisa jadi dalam tubuh Muhammadiyah dan NU memang terdapat gap (atau gradasi) ideologi dan pemikiran atas bawah antar elite dan akar rumput.

Meminjam pernyataan Greg Barton bahwa kontribusi dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini terhadap moderatisme Islam dan dalam merawat kebangsaan adalah modal sosial penting—jika bukan terpenting–yang menjadikan Indonesia tetap bertahan dengan segala kerentanannya. Gap dan dinamika di dalamnya bisa sangat kompleks, sekompleks Islam itu sendiri, William Lidle melanjutkan. Karena itu, polemik ini menjadi menarik untuk diteruskan dalam berbagai kajian dan riset kata saya menambahkan. Wallahu taala a’lam

Nurbani Yusuf
Nurbani Yusuf
Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.