Jumat, April 19, 2024

Mohon Maaf, Jenderal!

Anick HT
Anick HT
Aktivis Pusat Studi Pesantren dan Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)

Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi dilantik menjadi Menteri Agama Republik Indonesia. Ini adalah salah satu dari sekian pilihan menteri Presiden Joko Widodo yang langsung menuai kontroversi, mengingat selama ini kementerian ini adalah areanya agamawan (Islam).

Pada detik pertama pula, Menteri Fachrul berusaha menepis keraguan terhadapnya, bahwa ia bukan Menteri Agama Islam, sambil tetap menggarisbawahi semacam poin kelayakan bahwa ia suka ibadah, memberikan ceramah, dan menjadi khatib.

Namun, berbarengan dengan itu pula, ia meninggalkan jejak sejarah yang perlu dicetak tebal, bahwa: “Saya Menteri Agama Republik Indonesia yang di dalamnya ada lima agama.”

Tepat dari situ saya ingin memulai catatan kecil ini. 

Pertama, pernyataan itu menunjukkan bahwa cara berpikir Menteri Agama kita ini masih berstandar era 80-an, ketika Orde Baru membangun cara berpikir seragam di benak kita semua: bahwa ada istilah agama resmi atau agama diakui di negeri ini. Dan hanya ada lima agama yang diakui.

Perkembangan pengakuan terhadap agama Kong Hu Cu di era Gus Dur tidak masuk ke dalam benak beliau. Padahal, poin ini termasuk kesadaran dan pengetahuan paling elementer tentang “urusan agama” di Indonesia. Bahkan kantor Kementerian Agama di tingkat daerah pun sudah mengubah simbol-simbol lima agama menjadi enam agama.

Mengapa kesadaran tentang enam agama adalah kesadaran paling elementer? Karena sejak tahun 2010, ketika pangkal dari istilah “pengakuan agama”, yakni UU PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa individu dan lembaga, termasuk di dalamnya nama Gus dur tercatat sebagai pengaju, terjadi perubahan cari berpikir para birokrat kita yang cukup signifikan.

Meski upaya uji materi  (judicial review) tersebut tidak berhasil menggugurkan UU PNPS tersebut, dalam prosesnya, dan bahkan tercatat dalam klausul keputusan Mahkamah Konstitusi, kesadaran bahwa tidak ada istilah “agama yang diakui” mulai menjadi cara berpikir kita.

Ditambah lagi, pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi mencatatkan sejarah penting: menerima pengajuan uji materi dari kelompok penghayat kepercayaan untuk dicantumkan identitasnya dalam kartu tanda penduduk (KTP). 

Hasil langsungnya, kita mulai melihat kawan-kawan penghayat kepercayaan yang jumlahnya tercatat 11 juta orang, mulai berbagi cerita sambil menunjukkan KTP mereka, bahwa mereka telah berhasil mengubah isi kolom agamanya, meski sebagian juga belum berhasil.

Dan, yang lebih penting dari itu, lima tahun terakhir terjadi perkembangan cukup menggembirakan: kelompok penghayat kepercayaan selalu mendapat tempat ketika lembaga dan kementerian tertentu, termasuk Kementerian Agama, menyelenggarakan acara bertajuk “lintas agama” atau “lintas iman.”

Itu pun masih menyisakan pekerjaan rumah lain, misalnya terkait posisi kelembagaan penghayat kepercayaan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, jika kita mengakui penghayat kepercayaan adalah sistem keyakinan yang sah, ia setara dengan agama, yang berarti berhak berada di bawah Kementerian Agama. 

Kedua, pernyataan Fachrul Razi berikutnya bahwa beliau suka menyampaikan ceramah bertema Islam yang damai, toleransi, dan bagaimana memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan begitu, diasumsikan ini menjadi modal untuk menangkal radikalisme, dan memang nampak sekali Presiden kita fokus ke sana.

Tentu sekilas ini menjadi kabar bagus bagi penggiat toleransi. Tapi, ini juga bisa menjadi jebakan yang berbahaya. Bahwa radikalisme adalah masalah genting di negeri ini, tidak ada yang bisa membantahnya. Namun, menyempitkan fokus perhatian pada radikalisme dengan menempatkan seorang jenderal militer (purn) mengesankan bahwa masalah radikalisme hanya bisa dihadapi dengan pendekatan hard-power. Atau minimal, ini seperti melihat radikalisme hanya dari sisi hilirnya, symptom-nya. 

Di samping itu, harus juga dicatat tebal bahwa urusan Kementerian Agama tidak hanya soal radikalisme semata. Urusan menyangkut relasi agama dan negara kita adalah perkara yang sangat kompleks dan tak kunjung selesai diurai hingga hari ini. Alih-alih menangkal radikalisme, mungkin masa kepemimpinan lima tahun kabinet ini hanya cukup untuk mempelajari dan memetakan betapa rumitnya masalah dan urusan agama di negeri ini.

Jadi, mohon maaf, Jenderal. Anda berdiri di sana, di tengah keraguan banyak orang di luar sana. Semoga keraguan itu justru menstimulasi Anda untuk bekerja melampauinya.

Bacaan terkait

Siapa Kelompok Radikal Islam Itu? [Catatan untuk Menteri Agama yang Baru]

Pelajaran Deradikalisasi dari Poso

Belajar Agama atau Belajar tentang Agama

Rezim Jokowi dan Rapot Merah Kebebasan Beragama

Negara antara “Syariatisasi Indonesia” dan “Indonesianisasi Syariah”

Anick HT
Anick HT
Aktivis Pusat Studi Pesantren dan Direktur Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.