Jumat, Maret 29, 2024

Mewaspadai Radikalisme Islam di Media Sosial

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)

radikalisme-islamLogo 3D Twitter dan bendera Negara Islam terlihat dalam gambar ilustrasi yang diambil Kamis (18/2). ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Pemanfaatan media sosial menjadi cara baru bagi kelompok radikal untuk menyebarkan benih-benih ideologi ekstrimis. Facebook, YouTube, Twitter, blog hingga aplikasi layanan pesan gratis seperti WhatsApp kini menjadi alat yang ampuh bagi kelompok teroris untuk melakukan propaganda, mendapatkan pengaruh, dan menjaring keanggotan warga di jejaring sosial (netizen). Dalam konteks ini anak-anak muda menjadi target propagandanya.

Di era digital seperti sekarang, dunia maya telah menjadi kekuatan nyata yang menghubungkan soliditas dan militansi kelompok radikal hingga ke lintas negara. Keberadaannya menawarkan kemudahan dalam berinteraksi dan pengorganisasian. Karena itu, kemunculan mereka di jejaring virtual turut mengubah strategi dan pola teror.

Bahkan pada dekade kedua abad ke-21 ini muncul kecenderungan kelompok radikal meningkatkan interaksi dan propagandanya. Mereka membuat laman-laman tertentu untuk menyebarkan ide dan gagasan kebencian, pemahaman radikal, ancaman, serta cara membuat bom secara otodidak. Sejumlah website tersebut disembunyikan identitasnya dengan alat teknologi enkripsi yang belum diketahui.

Pada akhir 2014, misalnya, Twitter menemukan fakta yang mengejutkan bahwa Negara Islam (ISIS) telah membuat 700 ribu akun Twitter yang punya koneksi dengan berbagai kelompok teroris di belahan dunia. Hal ini membuat manajemen perusahaan berlogo burung biru itu mengawasi secara ketat konten-konten yang dicurigai berisikan agenda terorisme.

Seiring dengan kontrol yang begitu ketat, kelompok radikal tetap tidak kehilangan akal dan terus bercuit menggunakan akun-akun anonim. Penggunaan meme-meme bergambar yang berisikan pesan radikal juga diciptakan dalam rangka menarik simpati anak-anak muda. Lalu, secara konsisten dan kreatif, gambar-gambar meme itu disebar ke Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp yang menjangkau ribuan netizen dalam waktu singkat.

Terkait hal ini, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada 2011 telah mengidentifikasi tujuh bentuk penggunaan dunia maya untuk kepentingan teroris, di antaranya propaganda, perekrutan, pendanaan, pelatihan, perencanaan, penyebaran teror, dan cyberattack. Dalam banyak kasus, strategi cyberspace ini telah dipraktikkan oleh semua jaringan kelompok teroris, baik di tingkat global (Al-Qaedah dan ISIS) maupun lokal (Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharut Tauhid).

Dua bulan sebelum serangan teror bom yang terjadi di Jalan Thamrin, Jakarta, misalnya,  muncul sebuah akun Facebook yang mengunggah rekaman audio yang diduga milik Santoso, pemimpin Mujahidin Indonesia Timur (MIT), jaringan teroris yang beroperasi di Poso, Sulawesi Tengah. Meski rekaman berjudul “Seruan Sang Komandan” tersebut hanya berdurasi 9 menit, propaganda itu bernada mengerikan karena bermaksud menghancurkan Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Istana Merdeka, Jakarta.

Selain itu, yang tak kalah menjadi pemberitaan media nasional ialah kemunculan video anak-anak Indonesia yang tengah dilatih perang oleh ISIS di YouTube pada Maret tahun lalu. Contoh lain adalah ketika kelompok Rizky Gunawan berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 5 miliar dari hasil meretas sejumlah situs komersil untuk membiayai pelatihan militer teroris di Poso (Petrus Reinhard Golose: 2015).

Pergerakan cyberspace yang dilakukan kelompok teroris terbukti ampuh menjaring simpati dari kalangan anak muda. Kenyataan ini diperparah dengan sejumlah penyebab lain yang mendorong mereka terjebak ke dalam berbagai gerakan radikal yang mengatasnamakan agama, seperti halnya minimnya pemahaman keagamaan, ruang aktualisasi yang kurang, serta tingkat pendidikan dan ekonomi yang masih rendah.

Berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia, seperti bom Thamrin (2016), bom Solo (2011), dan bom Mega Kuningan (2009), para pelakunya adalah anak-anak muda yang berusia tidak lebih dari 30 tahun. Kemudian tidak sedikit di antara anak muda dari Indonesia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Di Indonesia, setiap tahun jumlah pengguna internet berkembang sangat pesat. Laporan penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama Pusat Kajian Komunikasi (Pusakom) Universitas Indonesia pada 2014 melaporkan, pertumbuhan jumlah pengguna internet di dalam negeri terus meningkat sejak 2005. Jika pada sepuluh tahun lalu jumlahnya 16 juta orang, pada 2014 telah mencapai 88,1 juta netizen (34,9% dari jumlah penduduk Indonesia 252,4 juta jiwa).

Dilihat dari usia netizen, riset tersebut menjelaskan, sebanyak 49% atau hampir setengahnya berusia 18 tahun hingga 25 tahun. Sementara itu, jenjang pendidikan mereka 64,7% lulusan SMA sederajat. Sebanyak 87% para netizen ini mengaku menggunakan media sosial saat terkoneksi dengan internet, sedangkan 68,7% untuk searching dan browsing.

Melihat kenyataan tersebut, dalam Konferensi Tingkat Tinggi AS-Asean di California, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo berpidato mengenai pentingnya memanfaatkan media sosial untuk membendung gerakan ekstrimis terorisme. Di hadapan para pemimpin negara se-Asia dan AS, Jokowi mengajak warga dunia untuk melawan paham-paham radikal yang menyusup di keramaian dunia maya.

Pola gerakan dan strategi baru yang dipraktikkan kelompok teroris ini perlu ditanggapi serius oleh pemerintah. Kini, tidak cukup penanggulangan terorisme hanya dilakukan lewat program sosialisasi deradikasilasi agama “di bawah ruang ber-AC”. Jika cara dan segmentasi sosialisasi ini terus dilanjutkan, proyek ini hanya akan menghabiskan anggaran negara. Sedangkan secara substansi, agenda deradikalisasi tidak mampu menyelesaikan dan menghapus cara pandang sebagian orang yang mulai berpikiran radikal.

Selain itu, pemerintah bersama komunitas-komunitas digital perlu menyikapi serius keberadaan grup-grup percakapan di media sosial yang mengarah kepada radikalisme. Meski pola ini mengurangi intensitas pelaku teroris atau benih dari kelompok radikal untuk melakukan pertemuan dan pidato-pidato di berbagai majelis keagamaan, geliat mereka di jaringan virtual justru lebih membahayakan.

Karena itu, publik sangat berharap draf RUU perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akhirnya nanti akan membahas penanganan terorisme di dunia maya, agar masa depan generasi muda dapat diselamatkan

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.