Catatan kali ini ingin menyoroti persoalan rumah ibadah yang sudah menaun, kurang mendapat penanganan dari pihak pemerintah. Catatan ini dipicu oleh pengrusakan sebuah masjid di Minahasa yang dilakukan oleh seorang pemeluk Katolik. Sontak masalah ini mendapat perhatian nasional terutama karena masjid adalah tempat ibadah kelompok mayoritas agama di Indonesia.
Sebenarnya persoalan rumah ibadah merupakan persoalan bersama. Semua agama menghadapi masalah ini. Puluhan gereja tidak bisa dibangun. Masjid Ahmadiyyah juga dirusak dan banyak lagi.
Karenanya, persoalan rumah ibadah bukan persoalan bagi kaum minoritas tapi juga kaum mayoritas juga. Menurut laporan Tirto.Id, ada sebanyak 32 gereja ditutup sepanjang 5 tahun pemerintahan Jokowi. Pada tahun 2015, pelarangan pembangunan masjid terjadi di Tolikara.
Catatan kali ini ingin menjawab bagaimana sesungguhnya merusak rumah ibadah, masjid, gereja, sinagog, pura, dan rumah ibadah-rumah ibadah yang lain dalam pandangan Islam? Jawabnya tegas, tidak diperbolehkan.
Dalam surat al-Hajj ayat 39-40 al-Qur’an menyatakan:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu; (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
Ayat di atas jelas akan perlindungan terhadap seluruh rumah ibadah untuk semua agama.
Ibn Abbas, penafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat dalam tafsirnya mengatakan: “Monastri adalah tempat tinggal para pendeta, sinagog adalah adalah tempat ibadah orang Yahudi, gereja adalah tempat ibadah orang Kristen dan Masjid adalah tempat ibadah orang Islam. Maksud Ibn Abbas di sini adalah semua rumah ibadah harus mendapatkan perlindungan.
Muqatil Ibn Sulaiman dalam Tafsirnya juga mengatakan seluruh pemeluk keyakinan di atas memuji Allah di dalam rumah ibadah-rumah ibadah mereka. Karenanya, mereka ini semyua harus dilindungi dari pelbagai serangan (lihat Tafsir Ibn Muqatil, Vol. 2, h. 385, cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyya.
Imam al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya (vol.12, p.70), bahwa para Nabi dan kaum berTuhan memerangi musuh-musuh mereka, sementara orang-orang politeis berkeinginan merusak rumah ibadah-rumah ibadah yang dibangun oleh orang-orang dari pelbagai latar belakang keimanan. Ayat di atas menurut Imam al-Qurtubi, Rasulullah diperintahkan untuk melindungi rumah ibadah-rumah iadah tersebut.
Dalam sejarah, selama Rasulullah hidup di Madinah, komunitas Yahudi memiliki sinagog dan pusat pendidikan bagi mereka yang bernama Bayt al-Midras. Rasulullah tidak hanya memberikan lembaga ini hidup, namun juga melindunginya.
Rasulullah juga pernah berkirim surat kepada kaum Kristiani di Monastri Saint Catherine di Gunung Sinai, Mesir. Surat ini semacam surat perjanjian antara Rasulullah dengan kelompok Kristen saat itu.
Isi surat tersebut adalah Rasulullah akan membela mereka dengan dirinya sendiri karena kaum Kristen adalah juga warga negara Rasulullah. Rasulullah akan menentang segala hal yang tidak menyenangkan mereka. Tidak ada paksaan bagi mereka, kata Rasulullah dalam surat perjanjian ini. Rasulullah mengatakan hakim-hakim pemeluk Kristen tidak akan dipecat dari pekerjaan mereka dan para penghuni monastri tidak akan dikeluarkan dari monastri mereka.
Hal yang sangat penting dinyatakan oleh Rasulullah dalam surat ini adalah “tidak seorangpun dibolehkan untuk merusak rumah ibadah mereka, menghancurkan atau mengambil sesuatu dari rumah ibadah mereka untuk di bawah ke rumah ibadah umat Islam. Siapapun yang melanggar maka mereka merusak perjanjian dengan Allah dan RasulNya.
Selanjutnya, dalam surat ini Rasulullah menyatakan orang-orang Kristen adalah sekutu Rasulullah dan mereka memiliki perjanjian dengannya. Tidak seorangpun, menurut Rasulullah, yang berhak memaksa mereka untuk pergi berperang. Orang-orang Muslim yang berperang untuk mereka.
Jika ada perempuan Kristen menikah dengan laki-laki Muslim, maka hal ini tidak bisa terlaksana jika pihak perempuan tidak menginginkannya. Jadi, laki-laki Muslim tidak boleh memaksa untuk perempuan Kristen untuk dinikahi. Dia juga tidak boleh dihalangi untuk pergi beribadah ke geraja mereka. Rasulullah menyatakan bahwa gereja-gereja mereka dihormati oleh Islam. Kaum Kristiani tidak dihalangi untuk memperbaiki gereja mereka.
Meskipun perjanjian ini dibuat oleh Rasulullah dengan kaum Kristiani, namun pesan yang ada dalam perjanjian ini komprehensif. Pesannya adalah Rasulullah sangat menghargai dan bahkan melindungi rumah ibadah-rumah ibadah para pemeluk agama. Rasulullah memberikan contoh bahwa pemimpin mayoritas harus melindungi pada minoritas.
Agama sudah memberikan dasar yang kuat bagi kita untuk menjaga semua rumah ibadah dari kaum yang berbeda keyakinan. Kita tinggal melaksanakan untuk menciptakan kehidupan yang rukun, damai, toleran dan penuh keadilan.
Kini kita menunggu janji-janji pemerintah kita yang akan memberikan perlindungan dan keadilan bagi semua pemeluk agama. Rencana pemerintahan Jokowi untuk menyusun Omnibus Law dimana salah satunya adalah untuk menjaga kesesuaian antara Konstitusi kita dan peraturan-peraturan di bawahnya adalah saat yang tepat. Peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip kebebasan beragama (religious freedom) harus dijadikan sebagai salah agenda di dalam Omnibus Law ini.