Jumat, Maret 29, 2024

Merdeka di Tengah Pandemi

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Bukan kebetulan bahwa meski sudah berumur lebih dari 75 tahun, NKRI masih perlu diperjuangkan untuk menjadi bangsa yang 100% bebas dari imajinasi kolonial. Hal itu berarti proyek kebangsaan yang telah dimulai sebelum kemerdekaan diproklamasikan, tetap menjadi “bahan bakar” untuk membangun Republik dengan berlandaskan pada cita-cita nasionalis dan semangat revolusioner. Itulah mengapa Bung Karno selalu menggaungkan pesan bahwa “Revolusi belum selesai” meski RI sudah merdeka.

Dalam konteks ini, George McTurnan Kahin pernah memberi catatan menarik dalam bukunya yang berjudul Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Depok: Komunitas Bambu, 2013) tentang perjuangan kemerdekaan di Indonesia.

Buku yang merupakan disertasi doktoralnya di Cornell University, Amerika Serikat, dan diterbitkan pertama kali tahun 1952 dengan jeli memperlihatkan bahwa Revolusi Kemerdekaan di Indonesia dipimpin oleh orang-orang sosialis seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, termasuk para pemimpin Islam nasionalis. Dan yang tak kalah penting juga bahwa bukan soal “angkat senjata” atau “diplomasi” yang dipilih sebagai model perjuangan, melainkan lantaran “kebangkitan nasional” (“national awakening”) yang keluar dari hati sanubari rakyat yang tidak ingin dijajah kembali. Hal inilah yang membuat perjuangan untuk merdeka dilandasi oleh perlawanan bersama terhadap kolonialisme.

Jadi, kemerdekaan yang diperjuangkan dengan slogan “merdeka ataoe mati” itu memang bukan sekadar “bahasa kosong yang nyaring bunyinya”. Tetapi hal itu adalah kerelaan untuk berkorban demi sesama, bukan malah mengorbankan orang lain. Pengorbanan yang dalam bukunya Benedict Anderson berjudul Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988 dan Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018) ditunjukkan sebagai kebangkitan untuk melawan musuh dengan semangat yang sedemikian tinggi.

Bukan hanya dengan tekad, tetapi juga nekad yang mampu bikin bengong tentara Sekutu. Bayangkan saja, hanya dengan restu dari para kyai, santri-santri yang merasa diri kebal rela untuk mati syahid demi kemerdekaan yang baru tiga bulan atau 90 hari diproklamasikan. Maka tak heran jika pertempuran pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya selalu dikenang dan diperingati sebagai Hari Pahlawan sampai saat ini.

Perjuangan untuk menjadi merdeka memang adalah sebentuk pengorbanan. Bukan hanya berkorban demi pamrih atau kepentingan sesaat belaka, namun untuk masa depan yang nyaris tidak selalu pasti, apalagi dapat dibayangkan saat ini maupun di masa sebelumnya. Terlebih di tengah pandemi ini, ketidakpastian adalah saat dan tempat yang membuat banyak orang mudah gelisah.

Sebagaimana dialami oleh Sutan Sjahrir di akhir tahun 1945, dua bulan sesudah pendudukan Jepang di Indonesia berakhir, dan ketika kolonialisme Belanda belum kembali menancapkan kekuasaannya, kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengawali revolusi diistilahkan sebagai gelisah. Sebuah kata yang sekali lagi oleh Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Tiga Bendera. Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2015) disebut tidak mudah dicari padanannya dalam bahasa Inggris lantaran makna semantiknya bisa meliputi “anxious” (cemas), “trembling” (gemetar), “unmoored” (tanpa pegangan), dan “expectant” (menanti-nanti).

Karena itu, bukan kebetulan bahwa di bulan Agustus tahun lalu sebuah iklan berjudul “Mom’s Birthday” ditayangkan di sejumlah televisi swasta di Indonesia, termasuk Kompas TV. Iklan yang berdurasi panjang (1 menit 30 detik) dan pendek (30 detik) menarasikan bagaimana di tengah situasi yang serba tidak pasti seperti pandemi saat ini masih ada pengorbanan yang dapat dilakukan.

Hanya dengan berbekal uang logam recehan dan beberapa asesoris seperti penjepit rambut, kuda poni kecil, dan gelang, seorang gadis berusia Taman Kanak-Kanak memberanikan diri membeli sebatang coklat Cadbury di sebuah toko serba ada. Meski ditemani oleh ibunya yang adalah perawat di sebuah rumah sakit dan menjemputnya sepulang dari sekolah, gadis itu tampak mampu meluluhkan hati lelaki pemilik toko yang semula dengan wajah heran dan bingung memandangi apa yang disodorkan gadis itu sebagai alat pembayaran coklatnya.

Sembari menatap ibunya yang tampak sedang serius bercakap-cakap lewat telepon genggamnya lantaran sempat mengeluhkan situasi yang sedang sulit saat ini, pemilik toko memberikan coklat itu sesudah mengambil segala asesoris yang dijadikan uang pembayarannya. Bahkan sebagai “uang kembalian”, gadis itu mendapatkan kembali gelangnya. Dengan amat gembira, gadis itu memberikan coklat itu kepada ibunya disertai ucapan selamat ulang tahun dan dibalas dengan kata-kata terimakasih serta pelukan hangat darinya.

Tentu, pesan bahwa “ada kebaikan dalam setiap orang” yang disampaikan sebagai penutup iklan dapat dibaca dan diterima dengan baik tanpa syarat apapun. Namun, apa yang ada di balik pesan itulah yang sesungguhnya penting dan mendesak untuk dicatat dan disebarluaskan. Pertama, keberanian seorang anak untuk membeli sebatang coklat sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya agaknya mirip dengan para santri yang telah direstui kyai-kyainya untuk maju ke medan pertempuran.

Kedua, keheranan dan kebingungan pemilik toko melayani tawaran “barter” (tukar menukar barang) dari seorang anak setara dengan kegelisahan anak-anak bangsa ini saat mengawali revolusi. Ketiga, keputusan pemilik toko untuk mengorbankan miliknya, bahkan mengembalikan apa yang telah diserahkan padanya, adalah wujud dari kemerdekaan yang membebaskan tidak hanya dirinya, tetapi juga sesamanya. Inilah kemerdekaan yang telah diabaikan, bahkan digadaikan, hanya demi mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.

Dengan iklan itu, kita sepantasnya malu, atau lebih tepatnya dibuat malu, bahwa kemerdekaan itu bukan semata-mata siapa dapat apa, melainkan untuk (si)apa hal itu diperjuangkan melalui beragam bentuk pengorbanan. Apalagi di tengah pandemi saat ini, melalui iklan itu, kita sesungguhnya diajarkan untuk tidak terlalu sibuk dan larut dalam segala ketidakpastian.

Kita harus bebas dan tidak takut untuk berbuat demi kemerdekaan. Seperti yang dilakukan oleh Kahin, saat dikepung oleh pasukan RI di Gombong, dalam perjalanan dari Purwokerto menuju Kebumen, dan dipaksa untuk menjelaskan bahwa dia bukan orang Belanda, maka dengan kosa kata bahasa Indonesia yang serba terbatas, ia pun berorasi di hadapan sekitar 1000 orang bahwa dia adalah orang Amerika dan rakyat Amerika juga mengalami revolusi anti-kolonial (Colin Wild dan Peter Carey, Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 193).

Masih beranikah kita menjadi seperti Kahin dan gadis kecil dalam iklan di atas untuk menjadi merdeka di tengah pandemi ini?

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.