Terlalu banyak identitas yang gampang dilekatkan pada seseorang ataupun kelompok. Dari label agama, etnis, hingga hal-hal yang sifatnya remeh temeh. Semuanya adalah kesamaan pada komunitas atau kelompok tertentu. Anak yang menyukai musik metal akan bisa diklaim sebagai “anak metal”. Penggemar ziarah kubur, meminta doa, dan cincin dapat diidentikkan sebagai penganut mahzab Syiah, bahkan seorang dubsmasher juga terkadang diidentikkan sebagai anak alay.
Penciptaan label itu buat komunitas menjadi terkotak. Tercipta identitas yang membedakan seseorang atau komunitas dengan lainnya. Sebenarnya enak juga ada varian-varian, namun yang paling mengerikan jika terjadi pergesekan ataupun pertarungan yang berniat membumi-hanguskan antar-identitas.
Pergesekan terbesar dan paling berbahaya yang terjadi pada masa sekarang adalah pertarungan identitas, baik dalam level individu hingga masyarakat. Yang Barat dan Timur, yang sekuler dan fundamentalis, yang modernis dan primitif, hingga mungkin saja kelak yang cakep akan berhadapan dengan yang buruk rupa. Sekiranya gambaran seperti itulah yang dituliskan oleh Samuel P. Huttington dalam The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order.
Pergesekan identitas memantikkan label dalam stigma dan diskriminasi. Stigma disebut dengan sikap atau attitude negatif yang terkait dengan keyakinan atau pengetahuan seseorang, sedangkan diskriminasi adalah perilaku yang dilakukan. Konon, kata Erich Fromm, inilah yang bikin lahir sikap agresif yang mematikan disebut nekrofilia. Sikap itu semacam ingin membumi-hanguskan atau menganggap kesalahan terhadap seseorang yang berbeda dari dirinya. Bisa dibilang stigma dan diskriminasi ini penyebab dari identitas yang soliter–yang menurut Amartya Sen rentan menyebabkan sikap intoleransi, sampai terorisme.
Itu diderita oleh rekan yang terpapar HIV/AIDS, rekanan yang sebelumnya bisa dibilang gadis baik-baik itu mendapatkan “warisan” penyakit dari mantan suaminya yang junkie. Terpaksalah si doi dianggap sebagai wanita pendosa dan nista oleh lingkungannya. Seorang kawan dicap sesat di lingkungannya karena rekan ini bermazhab Islam tertentu yang berbeda praktek ibadahnya dari kebanyakan. Ada juga kisah tetangga waria yang senantiasa mendapat olok–olokan dan pelecehan dari sekitar.
Ada juga pihak sebaliknya, yaitu barisan yang mengklaim diri “ahli agama” ataupun baru belajar dan menghapal satu sampai dua ayat langsung menyerang dan seakan mengovergeneralisasikan para asing ketika pemberitaan dengan embel-embel agama yang dianutnya pada korbannya. Bahkan kadang para pembaca novel Salman Rushdie atau pendengar musik keras dan yang selalu diidentikkan dengan adanya simbol-simbol tertentu harus mengelus dada karena dianggap antek pendukung thagut yang sesat.
Yang paling baru adalah serangan terorisme di Paris. Menurut Al-Jazeera, retorika anti-Muslim menguat drastis di media sosial di Prancis beberapa hari terakhir. Yang paling berkerut adalah seorang rekan yang sedang PDKT–sebut saja pendekatan–dengan gadis Prancis lewat media sosial, dan akhirnya si rekan dihapus dalam pertemanan sebuah medsos. Kemungkinan karena si rekan memakai nama “Muhammad” di depan namanya.
Sekiranya terlalu banyak kisah yang dapat kita dengar seputar sikap intoleransi. Kita masih hidup dalam cengkraman stigma dan diskriminasi. Semuanya senantiasa berakar dari pandangan dunia tertutup. Mengutip Nirwan A. Arsuka pada pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta 2015, bahwa pandangan dunia ini berupa warisan nenek moyang ataupun ajaran agama yang perlu dievaluasi, diistirahatkan, atau di-ijtihad-kan.
Saya percaya pandangan dunia yang terbuka melahirkan sikap egaliter dan persamaan akan sesama manusia. Pandangan dunia terbuka juga mengantarkan pada hak asasi manusia dan kekayaan gagasan, dan pandangan dunia terbuka kelak melahirkan kebesaran sains dan peradaban.
Sebagai seorang biasa, bukan ilmuwan ataupun tokoh, toleransi dapat tercapai bila pandangan dunia kita menjadi inklusif dan terbuka. Terlalu muluk rasanya jika merumuskan suatu konsep ataupun kebijakan tanpa kembali pada diri sendiri dahulu.
Membuka wawasan dan cakrawala utamanya karena setiap fenomena ataupun penyakit di masyarakat tentu memiliki banyak yang butuh penjelasan, analisa, dan pengamatan terlebih dahulu. Para bro yang melakukan stigma dan diskriminasi disebabkan akan ketidaktahuan atau ketidaksiapan mereka menerima perubahan masyrakat. Benturan identitas bisa dikatakan niscaya terjadi, selebihnya untuk membendung efek buruk darinya, salah satunya memperkuat dan merayakan toleransi akan perbedaan.