Minggu, April 28, 2024

Menyikapi Aspirasi Provinsi Berciri Kepulauan

Rifki Furqan
Rifki Furqan
Peneliti bidang pengelolaan perikanan skala kecil dan konservasi laut.

Dalam sebuah potongan video kegiatan dialog yang dilakukan salah satu capres di Ambon, seorang aktivis meminta agar Maluku ditetapkan sebagai Provinsi Kepulauan. Aktivis tersebut berpendapat bahwa Provinsi Maluku selama ini diperlakukan kurang adil dalam kebijakan fiskal dari pemerintah pusat.

Secara prinsip, menurutnya hal tersebut terjadi karena Maluku tidak diperlakukan sebagai daerah berciri kepulauan. Ketika Maluku tidak dianggap sebagai daerah berciri kepulauan, maka pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya terbukti jauh tertinggal padahal memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan parlemen baru kita nanti untuk menyikapi aspirasi ini?

Daerah berciri kepulauan

Aspirasi tentang kekhususan daerah kepulauan sebenarnya sudah sejak lama disuarakan. Menjelang peringatan hari proklamasi Indonesia tahun 2005, tujuh pimpinan daerah yang berciri kepulauan bersepakat melalui Deklarasi Ambon. Sudah hampir empat periode Presiden, aspirasi dari Gubernur Provinsi Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Sulawesi Utara agar Presiden dapat bertindak lebih adil dan setara dalam merumuskan kebijakan fiskal dari pusat ke daerah belum juga terpenuhi.

Seharusnya aspirasi pimpinan daerah berciri kepulauan kepada pemerintah pusat dapat dengan mudah dipahami, meski tidak berarti mudah pula untuk dipenuhi. Kondisi ini mirip dengan aspirasi pemerintah Indonesia ketika menuntut pengakuan dunia atas kewenangan wilayah laut dari gugusan pulau-pulaunya lewat Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada 13 Desember 1957.

Ada dampak besar dari pengakuan Deklarasi Djuanda ini melalui ratifikasi UNCLOS 1982, yaitu kedaulatan penuh kita untuk mengelola sumberdaya baik di dasar laut, dalam kolom air maupun di atas permukaan laut hingga 200 mil dari batas surut terendah pantai di pulau-pulau terluar kita. Kurang lebih, begitulah yang diinginkan para Gubernur daerah kepulauan. Mereka ingin mendapatkan kewenangan lebih untuk mengelola sektor maritim, perikanan dan kelautan yang selama ini lebih banyak dikuasai oleh pemerintah pusat tanpa pembagian hasil yang adil dan proporsional.

Aspirasi dari Deklarasi Ambon kemudian diperjuangkan secara formal perundangan lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Daerah Kepulauan yang telah disuarakansejak hampir dua dekade lalu. Sudah panjang tahapan yang dilewati hingga RUU ini masuk Proyek Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2022. Namun, hingga tahun politik 2024 ini, sepertinya RUU tersebut belum akan ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU).

Lalu apakah selama ini pemerintah memang “meninggalkan” daerah kepulauan? Tidak juga. Fakta hukum bahwa pemerintah dan DPR menyetujui revisi UU tentang Pemerintah Daerah yaitu UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, khususnya pasal 27 hingga 30 jelas menyebutkan secara khusus tentang daerah berciri kepulauan. Apresiasi patut kita berikan pada keberpihakan politik yang menyebutkan secara khusus tentang provinsi berciri kepulauan dalam UU ini.

Namun, pada kenyataannya praktek kebijakan dari UU tersebut masih belum sepenuhnya adil. Hal ini khususnya karena belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) tentang kewenangan provinsi di laut, padahal Pasal 30 dari UU No. 23 tahun 2014 jelas memerintahkan pembuatan PP tersebut.

Tanpa acuan PP khusus terkait provinsi berciri kepulauan, alokasi perhitungan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat ke daerah akan terus dirasakan tidak adil. Perhitungan besaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) saat ini masih mengacu pada UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dimana rasio transfer dana pusat ke daerah dihitung besarannya berdasarkan total luas daratan dan jumlah penduduk.

Hal itu tentu tidak adil karena provinsi berciri kepulauan sudah pasti memiliki luas darat yang lebih kecil daripada total luas perairan laut diantara gugus pulaunya. Tidak hanya pembagian DAU dan DAK saja, pembagian hasil Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan juga pada faktanya tidak menunjukkan keadilan.

Mengacu pada UU No. 23 tahun 2014, maka pemerintah provinsi hanya berhak mengeluarkan izin usaha perikanan jika kapal perikanan tersebut beroperasi dalam 12 mil laut dari pangkal wilayah provinsi ke arah laut lepas. Hal ini membuat Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi berciri kepulauan ini menjadi terbatas karena sebagian besar yang beroperasi di wilayah penangkapan kurang dari 12 mil laut adalah nelayan kecil dan tradisional yang tidak dibebaskan dari segala macam pungutan negara. Sehingga perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH) sektor perikanan yaitu sebesar 80% yang dibagikan ke seluruh daerah menjadi tidak proporsional.

Seharusnya ada perhitungan khusus sehingga provinsi berciri kepulauan mendapatkan manfaat lebih atas sumberdaya perikanan yang ada di wilayah gugus pulaunya. Hal ini adalah salah satu inti aspirasi yang diperjuangkan lewat RUU Daerah Kepulauan, yaitu stimulus fiskal yang disebut dengan Dana Khusus Kepulauan (DKK).

Solusi kedepan

Menyikapi kondisi serta aspirasi ini, pemerintah dan anggota dewan terpilih memiliki dua pilihan. Pertama, agar Presiden terpilih segera memerintahkan pihak terkait untuk mengkaji, menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai kewenangan provinsi di laut sebagai turunan dari Pasal 30 UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Kedua, yaitu mempercepat pembahasan secara tuntas RUU Daerah Kepulauan hingga disahkan menjadi sebuah Undang-Undang yang dapat menguatkan kewenangan para pemimpin daerah berciri kepulauan mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota serta Kepala Desa. Harapan kita semua, apapun langkah yang dipilih kedepannya, percepatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di seluruh kepulauan di Indonesia dapat terjadi secepatnya.

Rifki Furqan
Rifki Furqan
Peneliti bidang pengelolaan perikanan skala kecil dan konservasi laut.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.