Polri terus maju, melanjutkan penyidikan terhadap kerusuhan 21-22 Mei, serta yang berkaitan dengan kejadian sebelumnya. Ada sejumlah nama penting yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, dan sebagian ditahan, di antaranya Soenarko, Kivlan Zen, dan terakhir mantan Kapolda Metro Jaya, Sofyan Jacob. Langkah ini sempat memicu kritik keras dari kalangan purnawirawan TNI. Kiki Syahnakri, salah seorang purnawirawan perwira tinggi TNI mengatakan bahwa, perlakuan Polri terhadap purnawirawan TNI itu menyakitkan bagi sejawat mereka. Tapi Polri bergeming. Penyidikan dilanjutkan, dan dikembangkan.
Polri berada dalam situasi yang sangat sulit. Ada indikasi pelanggaran hukum yang begitu nyata, baik melalui pernyataan-pernyataan verbal maupun tindakan rusuh. Keduanya saling terkait. Ada orang-orang yang secara verbal menyatakan akan menggerakkan kerusuhan, atau mendorong orang-orang untuk rusuh. Lalu rusuh itu benar-benar terjadi. Polri tentu tidak bisa dan tidak boleh berdiam diri. Kalau dibiarkan, negara kehilangan wibawa, dan ini akan jadi preseden buruk. Kalau tidak ditindak, akan ada orang-orang yang mengulangi tindakan ini, mungkin dengan skala yang lebih besar.
Tapi di sisi lain, ini tindakan dengan risiko sangat tinggi. Ini adalah kasus politik. Yang dibidik adalah kalangan oposisi. Posisi Polri bisa dikaburkan, antara menegakkan hukum atau sekadar jadi alat kekuasaan untuk memberangus lawan-lawan politik petahana. Oposisi sejak awal sudah mendengungkan propaganda ini, bahwa Polri tidak netral dalam Pilpres maupun konstalasi politik secara umum. Polri dianggap berpihak pada kepentingan penguasa.
Tidak cukup sampai di situ, pihak oposisi juga mencoba mengadu Polri dan TNI. Ada semacam harapan semu pada mereka bahwa TNI akan turun membela mereka. Harapan itu tidak menjadi kenyataan. Panglima TNI secara tegas dan berulang mengatakan bahwa TNI dan Polri bersatu padu.
Polri sedang mempertaruhkan kredibilitasnya. Bagi oposisi, apapun yang dilakukan Polri, sudah pasti tuduhan mereka tidak berubah. Polri tidak lagi bisa mengubah citra di hadapan oposisi. Dalam hal ini Polri tidak punya pilihan, hanya bisa mengabaikan tuduhan itu. Persoalannya adalah, bagaimana Polri menjaga kredibilitasnya di hadapan khalayak. Kuncinya ada pada kemampuan Polri mengumpulkan bukti yang berujung pada vonis di pengadilan. Bila di tengah jalan kasus ini dihentikan karena kekurangan bukti, atau pengadilan membebaskan orang-orang tadi, maka serta merta kredibilitas Polri akan runtuh. Polri justru sedang membuktikan bahwa ia hanyalah alat kekuasaan belaka.
Membuktikan adanya makar itu tidak mudah. Dalam berbagai keterangan pers Polri sudah menyodorkan sejumlah bukti tentang adanya tindakan makar. Tapi sejauh ini, bukti-bukti itu hanyalah klaim sepihak dari Polri. Dalam wawancara dengan Metro TV, Pemred Majalah Tempo, Arif Zulkifli, menceritakan bahwa investigasi wartawan Tempo menemukan fakta-fakta yang bisa dirangkai menjadi skenario tentang adanya makar. Tapi ia sendiri tidak bisa menegaskan kenyataannya secara utuh.
Saya khawatir Polri pun tak jauh dari situasi itu. Penyidik punya sejumlah bukti, tapi tak cukup kuat untuk dipakai sebagai bukti hukum. Lalu ketika bukti-bukti itu dibawa ke pengadilan, hakim menolaknya, lalu membebaskan terdakwa.
Perlukah mengkhawatirkan kemampuan Polri dalam menyidik dan mengumpulkan bukti-bukti? Sayangnya perlu. Pada demonstrasi besar 2 Desember 2016 Polri menangkap sejumlah orang dengan tuduhan makar. Sebagian malah ditahan cukup lama. Akhirnya tak satu pun dibawa ke pengadilan.
Di masa berikutnya, Polri menyatakan adanya Saracen, jaringan yang mengoperasikan ratusan ribu akun media sosial untuk menyebar hoaks. Klaim Polri, jaringan itu didanai oleh sejumlah pembesar. Hasilnya, di pengadilan keberadaan Saracen tidak terbukti. Orang-orang yang sudah terlanjur ditangkap dijerat dengan tuduhan remeh.
Hal-hal semacam itulah yang semakin menguatkan tuduhan bahwa Polri sendiri bermain politik, dan menjadi alat kekuasaan belaka. Bila hal itu diulangi lagi sekarang, dengan tersangka orang-orang besar, mantan pejabat tinggi TNI dan Polri, maka kredibiltas Polri akan semakin terpuruk.
Harapan masyarakat tentu saja Polri benar-benar bisa menghadirkan bukti-bukti yang meyakinkan di pengadilan.
Tantangan lain adalah kompromi politik. Ini adalah kasus yang melibatkan petinggi politik. Politikus bisa saja mengambil jalan pintas yang mengabaikan proses hukum. Itu yang disodorkan oleh Kiki Syahnakri. Jangan sidik kasusnya, kompensasinya, perdamaian. Kemungkinan pemerintah menempuh jalan itu tidak tertutup. Kalau itu terjadi, Polri akan menanggung bebannya.
Suka atau tidak, kasus ini memang sangat tinggi muatan politiknya. Polri tidak bisa menghindari risiko tuduhan bermain politik saat menyidik kasus hukum terkait politik. Termasuk risiko bahwa kasusnya akan diselesaikan secara politis. Masyarakat mengharapkan Polri bekerja secara profesional sebagai penegak hukum.