Hubungan Amerika Serikat dan Iran mengalami eskalasi luar biasa dalam beberapa bulan terakhir. Yang terbaru, Presiden Iran Hassan Rouhani meluncurkan sistem pertahanan udara yang dibangun secara mandiri untuk jaringan pertahanan rudal negara itu di Teheran.
Peluncuran sistem pertahanan baru bernama Bavar-373 tersebut dilakukan di tengah meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat.
Tak sedikit ahli baik di Timur Tengah maupun di Barat menyebut pecahnya perang akbar (besar) sudah di depan mata. Kekhawatiran ini sungguh beralasan. Sebab, kedua pihak terus memantapkan persiapan, baik politik maupun militer, untuk benar-benar mengambil opsi perang. Mereka juga makin intensif mengonsolidasikan kekuatan sekutu-sekutunya dan mencari dukungan lebih luas.
AS yang sudah punya puluhan ribu pasukan yang “mengepung” Iran terus mendukung penambahan kemampuan militer sekutu-sekutu kawasannya. Terutama yang berdekatan dengan Iran seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain. Kemampuan keuangan negara-negara Arab Teluk ini membuat belanja militer mereka jauh melampaui ukuran “normal” beberapa tahun terakhir.
Uni Emirat Arab dengan jumlah penduduk kurang dari 5 persen dari penduduk Iran, misalnya, menggelontorkan dana tak kurang dari US$22 miliar dolar tahun lalu, lebih tinggi dari Iran yang hanya US$16 miliar. Ini yang menjadi kritik keras Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif baru-baru ini. Bahwa AS dan sekutunyalah yang sesungguhnya melakukan destabilisasi kawasan dengan pasokan senjata-senjata mahal nan destruktif.
Di pihak Iran, loyalitas jaringan Syiah di kawasan dan dunia Islam terhadap rezim ini tak diragukan lagi. Sepak terjang Hizbullah, sekutu Iran di Libanon, selama ini jelas jadi ancaman serius bagi kepentingan AS dan sekutu kawasannya, khususnya Israel.
Pengaruh Iran terhadap kelompok-kelompok milisi (penguasa de facto) di Irak juga tak perlu diragukan. Saham besar Iran bagi survival rezim Basyar al-Asad di Suriah dan untuk Houtsi Yaman, dalam perang yang belum benar-benar berakhir, jadi tambahan kekuatan poros ini. Tak menutup kemungkinan poros ini juga memperoleh dukungan internasional Rusia dan Cina.
Jelas dunia dihinggapi kekhawatiran mendalam jika perang antara kedua poros ini benar-benar pecah. Tak hanya stabilitas kawasan yang terguncang, tapi pengaruhnya terhadap situasi dunia secara umum juga tak bisa dipandang enteng.
Hubungan kedua pihak sesungguhnya sudah mulai memburuk lagi sejak Trump memegang kepemimpinan AS. Kendati ada sedikit dinamika, ketegangan kedua pihak selama administrasi Trump secara umum terus mengalami eskalasi. Sejak kampanye menuju kursi presiden, Trump mengecam kebijakan Obama yang menandatangani perjanjian nuklir dengan Iran. Trump benar-benar melaksanakan niatnya itu dengan mundur secara unilateral dari perjanjian itu pada Mei 2018. Ia lalu menetapkan sejumlah sanksi tambahan terhadap Iran.
Insiden penyerangan kapal tanker minyak pertengahan tahun ini di Selat Hormuz hingga penjatuhan pesawat nirawak mata-mata drone AS benar-benar membuat hubungan keduanya mencapai titik didih.
Peristiwa demi peristiwa itu direspons dengan saling serang kata-kata antara para pemimpin kedua negara dan pergerakan militer yang mengarah pada persiapan diambilnya opsi perang langsung. Tetapi, faktanya, perang langsung itu belum pernah terjadi antara kedua pihak sejauh ini, kendati ketegangan dan permusuhan itu sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan hampir empat dekade jika dihitung dari masa Revolusi Iran 1979.
Kedua pihak sepertinya berpikir sangat jauh mengenai risiko-resiko jika opsi perang diambil. Perang itu dikhawatirkan akan sangat luas, destruktif, dan lama. Perang secara umum mudah dimulai, tapi akan sangat sulit diakhiri. AS tentu berpikir keras tentang hal ini sebab pengaruh Iran sangat luas di dunia Islam, khususnya di Irak, Libanon, Bahrain, Palestina, Yaman, dan negeri-negeri dengan penduduk Syiah cukup signifikan.
Menurut hemat penulis, ada beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam beberapa waktu dekat ke depan di tengah ketegangan menjurus pecahnya perang antara kedua pihak. Pertama, AS dan sekutunya akan terus menggencarkan “tekanan maksimum” terhadap Iran. Tujuannya tentu menjatuhkan rezim dengan cara mengacaukan domestik negeri para mullah itu.
Kesulitan ekonomi yang parah akibat berbagai sanksi internasional secara teori tentu akan berdampak sangat buruk terhadap kehidupan rakyat Iran secara umum. Perlawanan rakyat Iran “ala Arab Springs” terhadap rezim sangat diharapkan AS dan sekutunya. Sebab, ini adalah ongkos paling murah untuk menjatuhkan lawan mereka tanpa perang. Tetapi, ketahanan Iran terhadap tekanan asing sangat berbeda dengan negara-negara pada umumnya. Mereka seolah sudah terbiasa dengan situasi itu.
Usaha ke arah solusi damai melalui negosiasi sejauh ini tak tampak di permukaan. Sebagai pemimpin negara terkuat di dunia, Trump benar-benar tampak aneh ketika melakukan petualangan menjurus aksi militer tanpa membangun saluran “jalan keluar” dari krisis ini.
Kedua, AS dan Iran akan terlibat perang proxy secara lebih luas. Kedua pihak sesungguhnya sudah terlibat perang ini di Suriah dan Yaman dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sebelumnya di Irak. Kedua pihak bisa jadi akan mendorong poros perang proxy baru.
Mencermati langkah-langkah kedua pihak dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan pendukungnya, opsi ini sangat mungkin diambil. Sebab, perang ini bagaimanapun memiliki risiko lebih kecil bagi Iran dan AS sendiri. Poros milisi Irak dan Hizbullah saat ini sepertinya menjadi pilihan penting Iran untuk mengganggu kepentingan AS dan sekutunya di kawasan.
Ketiga, opsi perang total. Langkah politik dan militer AS dan sekutunya di kawasan akhir-akhir ini jelas mengarah pada diambilnya opsi perang langsung terhadap Iran. Mereka sepertinya hanya menunggu “igauan Trump” untuk menggeber perang. Tapi, pada titik ini Trump sepertinya masih menyisakan sedikit kewarasan. Selain risiko-risiko perang yang bisa jadi tidak acceptable yang mungkin masih ada dalam benaknya, sekutu-sekutu AS di kawasan juga menunjukkan kecemasan mendalam dengan kemungkinan diambilnya opsi itu.
Negara-negara Teluk, terutama Bahrain dan Uni Emirat Arab, tampaknya mengalami kecemasan paling hebat. Sebab, mereka bisa jadi sasaran terdekat. Mereka berada di halaman depan Iran. Ancaman Iran dan Hizbullah ke Israel juga berpotensi memperunyam situasi ini. Israel, sekutu AS, adalah negara yang tangguh secara militer. Tetapi, negara ini memiliki peran yang aneh dalam konstelasi kawasan. Keterlibatannya secara langsung dalam perang, jika terjadi, justru bisa mengundang situasi yang kontraproduktif bagi AS di lapangan.
Tentu kita berharap ada opsi yang lebih “baik” dari ketiganya, tapi sepertinya sulit. Kita tentu sangat berharap opsi perang tidak jadi diambil, meski juga harus diakui bahwa dunia internasional adalah rimba raya yang segala sesuatunya sering diputuskan melalui kekuatan mentah dan peluru tajam, bukan dengan pertimbangan akal sehat yang matang.
Baca juga
Isyarat Bencana Kuartet Arab versus Qatar
Goyangan Trump di Timur Tengah