Baru-baru ini, Sabtu 19 Maret 2016, aparat Indonesia menangkap kapal KW Kway Fey 10078 milik Tiongkok. Hal ini memicu protes pihak Tiongkok yang menyatakan bahwa penangkapan tersebut terjadi di wilayah laut mereka. Klaim sepihak itu sangat disesalkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Menurut Susi, Tiongkok melanggar Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena menangkap ikan di wilayah Natuna tidak diakui. Protes keras juga sudah dilayangkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi kepada Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia. TNI-AL pun langsung menyiagakan armadanya di Natuna.
Susi Pudjiastuti dan Retno Marsudi merupakan dua srikandi yang dapat diandalkan di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Kebijakan tegas Menteri Susi yang menenggelamkan kapal nelayan pelanggar kedaulatan RI merupakan hal yang sangat dipuji oleh banyak pihak.
Tidak hanya itu, penenggelaman kapal tersebut juga disiarkan oleh media, untuk menjadi peringatan bagi pihak yang ingin melanggar kedaulatan kita. Unjuk kekuatan ini cukup membuat pihak asing gentar. Sementara itu, tindakan cepat Menteri Retno Marsudi melontarkan protes setelah insiden diplomatik tersebut menunjukkan bahwa diplomasi kita masih bergigi.
Adapun unjuk kekuatan dengan negara yang lebih kecil, misalnya negara ASEAN dan Taiwan, mungkin bisa efektif. Hal itu karena Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN, dan memiliki angkatan bersenjata yang juga terkuat di ASEAN. Namun jika berhadapan dengan Tiongkok, yang merupakan kekuatan ekonomi dan militer kedua terbesar di dunia, strategi yang kita terapkan tidak harus sama.
Berhadapan dengan Tiongkok, yang di atas kertas angkatan bersenjatanya jauh lebih kuat, sebaiknya mengutamakan pendekatan intelijen dan diplomasi. Kita bisa belajar dari pengalaman Swedia, yang hampir saja “dilumatkan” oleh Nazi Jerman, namun hal itu tidak pernah terjadi. Dari awal sampai akhir Perang Dunia II, Swedia yang merupakan negara netral tidak pernah diinvasi negara mana pun.
Swedia memainkan peran diplomasi dan intelijen yang cerdas terhadap Nazi Jerman. Karena itu, bahkan pas di akhir perang, justru Nazi Jerman meminta bantuan Swedia untuk berdamai dengan Sekutu. Kepala Schutzstaffe/SS (pasukan khusus Nazi) Heinrich Himmler sendiri yang mendekati dan “merengek” pada diplomat Swedia untuk berdamai dengan Sekutu.
Hal ini tidak terjadi dengan tetangga Swedia, yaitu Denmark dan Norwegia. Karena diplomasi dan intelijen mereka kurang baik, Denmark dan Norwegia harus rela tunduk pada Nazi.
Kita percaya bahwa aparat intelijen dan diplomat kita merupakan yang terbaik dan akan berjuang mati-matian untuk membela kepentingan kita. Keberhasilan diplomat kita mendamaikan konflik di Kamboja di era Menteri Luar Negeri Ali Alatas sudah membuktikan hal tersebut. Upaya intelijen kita untuk membongkar jaringan Negara Islam (ISIS) di Tanah Air, hingga hampir semua aksi teror mereka dapat diredakan, juga menjadi indikasi bahwa intelijen kita tidak dapat diremehkan.
Kedua hal tersebut tentu akan dipertimbangkan oleh Tiongkok ketika berhadapan dengan kita. Walau angkatan bersenjata Tiongkok sangat kuat, mungkin termasuk yang terkuat di dunia, sangatlah gegabah jika mereka meremehkan diplomasi dan intelijen kita. Soft power kita tersebut merupakan senjata yang sangat ampuh untuk bernegosiasi dengan Tiongkok.
Anggaran Tentara Rakyat Tiongkok sudah menjadi yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Maka, peristiwa tersebut patut diduga bahwa infiltrasi Tiongkok ke wilayah Natuna sebenarnya tidak lebih dari gertak sambal dan unjuk kekuatan. Tiongkok tidak mungkin membuka konfrontasi langsung dengan Indonesia. Sebab, dalam sengketa di laut Cina Selatan, Tiongkok sendiri sudah bersengketa dengan banyak negara, di antaranya Vietnam, Filipina, dan Malaysia.
Membuka front baru hanya akan menguras tenaga. Tiongkok perlu berkaca dengan pengalaman Nazi Jerman, yang walaupun memiliki angkatan bersenjata yang sangat kuat, akhirnya takluk setelah dikeroyok oleh sekutu-sekutu Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Provokasi Tiongkok di Natuna sangat tidak taktis dan berpotensi merugikan kepentingan geopolitik Tiongkok sendiri. Hal terakhir yang ingin dilihat Tiongkok adalah jika Indonesia melakukan aliansi militer dengan Amerika Serikat dan Jepang, apabila provokasi ini berlanjut. Seperti kita ketahui, antara Tiongkok di satu sisi dan Amerika Serikat dan Jepang di sisi lain terlibat perlombaan senjata dan persaingan geopolitik yang sangat sengit. Jika ini terjadi, Tiongkok akan semakin terisolir secara geopolitik dari dunia internasional.
Permusuhan antara Indonesia dan Tiongkok hanya akan menguntungkan Amerika Serikat dan Jepang, dan merugikan kedua belah pihak yang bertikai. Pada akhirnya memang lebih menguntungkan bagi Tiongkok untuk bekerjasama dengan Indonesia, agar negara kita tidak menjadi sekutu Amerika Serikat dan Jepang. Indonesia sudah menjalin hubungan baik dengan Tiongkok, bahkan sangat jauh sebelum kemerdekaan kita.
Tidak terhitung berapa banyak aspek budaya Tiongkok yang kita manfaatkan demi kepentingan kita. Selama ribuan tahun soft diplomacy dari Tiongkok telah mempengaruhi jalannya sejarah Indonesia, dan kita memanfaatkannya demi kepentingan nasional sendiri. Justru jika tidak menggunakan pendekatan militer, Tiongkok telah terbukti jauh lebih efektif mempengaruhi kita dan kita juga mendapatkan banyak benefit dari hal tersebut.
Karena itu, hal yang terbaik bagi kedua bangsa adalah hubungan baik ini terus dilanjutkan tanpa kegaduhan konfrontasi militer. Kita semua percaya bahwa masih banyak pemangku kebijakan di Tiongkok yang lebih suka jika hubungan baik dengan Indonesia terjalin mulus dengan tetap menjamin kedaulatan teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan hal ini juga harus menjadi catatan bagi pemerintah Indonesia.