Ada kehebohan di media sosial kemarin (Minggu, 21 Juli). Beredar sebuah foto yang menampilkan siswa-siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Sukabumi, Jawa Barat, yang tengah mengibarkan bendera bertuliskan tauhid di lapangan sekolah. Mereka mengibarkan bendera ar-Rayah dan al-Liwa. Ada juga siswa yang membawa bendera Merah Putih.
Foto itu sempat menjadi perhatian Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily (Golkar), yang memang membidangi bidang keagamaan. Dalam cuitannya, Ace rupanya langsung menyenggol Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Yang disenggol cepat tanggap. “Sejak semalam sudah ada tim khusus dari pusat yang ke lokasi untuk investigasi,” kata Lukman juga lewat Twitter, Minggu (21/7/2019). “Kami serius menangani kasus ini.”
Sebelumnya, dalam konferensi internasional Seeking the Middle Path: Articulation of Moderate Islam, yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Belanda bekerjasama dengan Radbound University di Nijmegen, Belanda (19/6/19), Menteri Lukman menyampaikan tiga poin penting mengapa moderasi beragama sangat mendesak diarusutamakan.
Pertama, mengembalikan pemahaman dan praktik beragama ke esensi agama, yaitu memanusiakan manusia dan membawa misi damai dan keselamatan. Kedua, merespons kompleksitas kehidupan manusia dan agama agar peradaban manusia tidak musnah akibat konflik berlatar agama. Ketiga, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan.
Ketiga poin tersebut menjadi modalitas sosial dan kultural bagi bangsa Indonesia agar bersedia menjadikan “moderasi (wasathiyah)” sebagai cara pandang (word view) dalam menjalani hidup bermasyarakat dan bernegara. Bahkan, bila merujuk pada nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai agama yang menegaskan perdamaian, spirit moderasi adalah landasan utama bagaimana kita membangun sikap berelasi, berkohesi, dan terlibat dalam setiap perbedaan yang menjadi sunnatullah di berbagai belahan bumi.
Dalam Islam, spirit moderasi sudah ditegaskan melalui berbagai ayat dan riwayat ketika kita menempatkan diri di setiap lintasan keragaman budaya, aliran, kelompok, dan latar belakang sosial lainnya. Lalu, ketika spirit moderasi sudah ditegaskan lebih gamblang di berbagai risalah kenabian maupun para ulama, bagaimana kita melanjutkan tapak sejarah mereka yang selalu konsisten menegakkan spirit moderasi sebagai rahmat dalam berkehidupan.
Pada titik ini, gagasan Menteri Lukman Hakim dan ikhtiar akademik PCI NU Belanda yang melibatkan sejumlah akademisi dari dalam dan luar negeri untuk mendiskusikan secara intens dan berkelanjutan perihal moderasi beragama (di level nasional maupun kancah global) menjadi panutan untuk ditindaklanjuti. Setidaknya, kesungguhan dan keseriusan berbagai pihak yang tanpa lelah memprofilerasi dan menyiarkan moderasi beragama ke berbagai penjuru akan membentuk sebuah amplifikasi kosmopologis yang cepat atau lambat bisa mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam beragama.
Dalam kaitan ini, ada dua langkah yang perlu dilakukan dalam mengarusutamakan moderasi beragama. Pertama, di level praksis berupa affirmative actions yang dilakukan oleh semua pemangku kekuasaan dan kebijakan. Langkah Kementerian Agama yang sudah membentuk kelompok kerja (pokja) yang bertanggung jawab memproses perumusan regulasi berupa Peraturan Menteri Agama Pengarusutamaan Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam perlu dicontoh oleh berbagai kementerian, pendidikan, dan pemerintahan hingga level bawah.
Sudah saatnya semua level merumuskan kebijakan khusus yang mengatur program pengarusutamaan moderasi beragama yang diberlakukan untuk semua penganut agama. Pemerintah tidak boleh tinggal diam atau pasif dalam merespons berbagai kelompok dan gerakan sosial berhaluan radikal yang kini semakin nyata.
Temuan berbagai penelitian baru-baru ini yang menyebutkan bahwa 3% anggota TNI dan 19,4% Aparatur Sipil Negara (ASN) terpapar radikalisme dan intoleran menjadi peringatan keras bagi kita semua. Bahkan tidak sedikit anak didik kita di berbagai jenjang yang sudah menunjukkan pembangkangannya terhadap pemerintah dengan menjadikan ideologi transnasional seperti Hizbut Tahri Indonesia (HTI), Wahabi, ISIS, maupun ajaran radikalisme beragama di semua agama sebagai kiblat pengetahuannya.
Hasil penelitian Setara institut dan LPPM Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Jakarta (2019) yang mengemukakan tingginya paparan radikalisme di 10 Perguruan Tinggi di Indonesia menambah rentetan panjang betapa radikalisme semakin pandemik (tersebar luas) mempengaruhi berbagai sendi pembelajaran anak didik kita.
Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas moderat lain yang mempunyai basis massa hingga level bawah harus didukung sepenuh hati. Sebab, banyak peristiwa gesekan sosial di masyarakat bawah yang ditimbulkan oleh ketidaksigapan pemerintah dalam menangani gerakan kelompok radikal yang begitu licik melakukan politik pecah belah (devide et impera). Dengan pola gerakan yang sistematis, kelompok radikal dan segala bentuk variannya selalu memanfaatkan kerumunan massa dengan cara-cara licik.
Kasus pengibaran bendera HTI oleh sekelompok orang yang dibakar oleh anggota Banser beberapa waktu lalu dan pengibaran “bendera tauhid” di MAN Sukabumi menjadi contoh bagaimana pola mereka menyusup begitu intens dilakukan. Belum lagi pola terang-terangan yang memanfaatkan tempat ibadah dan forum-forum pengajian oleh kelompok radikal untuk menggelorakan semangat absolutisme beragama yang begitu konservatif-agresif.
Karena itu, mencermati cara-cara licik kelompok radikal, baik secara samar maupun terang-terangan tapi masif dan sistematis menyusup dan menembus ruang-ruang sosial masyarakat, sekolah, dan pemerintahan, sudah seharusnya semua pemangku kekuasaan dan jabatan di semua level merancang peraturan khusus yang bisa mengawal program pengarusutamaan moderasi beragama. Bahkan, bila perlu antar kementerian, antar pendidikan, antar pemerintah, dan antar lembaga lainnya saling bersinergi dalam membuat kerja bersama atau peraturan bersama dalam membendung arus kelompok radikal.
Kedua, di level pewacanaan berupa perang tanding (counter discourse) yang dilakukan oleh para penggiat moderasi beragama. Para kaum terdidik tidak boleh diam dan hanya mencukupkan moderasi beragama sebagai menara gading gagasan. Sudah saatnya mereka berjibaku bahkan melakukan jihad ilmiah dalam mempropagandakan moderasi beragama baik di luar jaringan maupun dalam jaringan.
Terlebih di era digital ketika gerakan radikalisme sangat subur berkembang biak dan sangat leluasa melakukan amplikasi gagasan dan pemikiran hingga mampu mempengaruhi banyak kaum milenial. Hasil penelitian lembaga Survei UIN Sunan Kalijaga (2018) menunjukkan bahwa sebanyak 10% anak muda setuju menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dan boleh menggunakan kekerasan untuk membela agama. Kecenderungan ini mewabah di kalangan kaum milenial beririsan kuat dengan situs dan akun di media sosial beraliran intoleransi maupun radikalisme.
Setidaknya, dengan wacana tanding yang selalu digemakan, kelompok mayoritas tidak tinggal diam dan gagasan moderasi beragama yang selalu diperbincangkan lamat-lamat akan menjadi sebuah diskursus dan ‘urf (kebiasaan). Ini penting untuk membekali kaum milenial dengan pikiran kritis ketika berhadapan dengan absolutisme beragama yang selama ini dikendalikan kelompok radikal dan konservatif-agresif.
Konten terkait
Ini Kampus-Kampus Markas Besar Kelompok Radikal
Merajut Keindonesiaan, Melawan Ekstremisme
Islam, Pancasila, dan Fitrah Keindonesiaan Kita
Pengkhianatan HTI dalam Aksi Bela Islam
Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!