Kuingat benar saat pertama kali menitikkan airmata karena terlarut dalam suasana yang disajikan oleh sebuah komik. Ya, hanya karena komik aku menangis. Adegan mengharukan itu justru muncul di sebuah komik bergenre komedi. Judulnya Sawung Kampret.
Sawung Kampret adalah sebuah mahakarya. Kisah komedi roman yang berseting abad ke-17. Mengisahkan petualangan dua pendekar muda yang tumbuh bersama. Gaya dialognya benar-benar mewakili karakter kedaerahan mereka. Sawung Kampret beraksen Suroboyoan, sedangkan Naip gaya bicaranya Betawi banget. Kisah yang dirangkai sangat jenaka. Digambarkan bahwa pejabat tertinggi VOC yang bernama JP Coen (khusus yang ini tokoh nyata) sampai depresi karena ulah mereka berdua.
Sawung dan Naip adalah pendekar hebat sekaligus terlampau intelek untuk zamannya. Itu karena mereka punya kakek angkat sekaligus guru, yaitu Doktor Van Klompen, seorang ilmuwan Belanda. Seperti hampir semua tokoh yang muncul di lakon Sawung Kampret, tokoh ini muncul sebagai kritikan halus atas apa yang tengah terjadi.
Doktor Van Klompen sangat getol dalam meneliti dan melindungi situs sejarah Bangsa Nusantara. Bahkan ilmuwan Belanda itu terluka parah saat berusaha melindungi situs yang akan dihancurkan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab. Dalam kondisi luka parah itu Van Klompen dikunjungi oleh dua cucu angkatnya, Sawung Kampret dan Naip. Dan di adegan mengharukan itulah aku meneteskan air mata.
Dia adalah Dwi Koendoro, komikus yang menciptakan kisah Sawung Kampret. Sebelumnya dia sudah dikenal dari komik stripnya yang berjudul Panji Koming yang dimuat rutin di Kompas. Panji Koming yang berseting masa Majapahit juga penuh dengan sindirian atas apa yang tengah terjadi dalam perpolitikan terkini. Namun, mungkin saat itu aku masih remaja, minatku lebih condong mengikuti komedi roman yang dihadirkan dalam Sawung Kampret.
Sejak SMA aku suka blusukan di pasar loak untuk berburu majalah Humor yang menayangkan Sawung Kampret secara berseri. Kebiasaan yang terus berlanjut setelah aku kuliah di seni rupa. Meskipun saat itu aku masih bercita-cita menjadi pelukis, pernah aku berkata pada seorang kawan, “seandainya kelak aku ditakdirkan menjadi komikus, kerjaku harus seperti dia,” sambil menunjuk komik karya Dwi Koendoro. Dan tentu saja itu berat.
Di mataku Dwi Koendoro adalah seorang maestro. Untuk ukuran komikus di masanya adalah wajar jika seorang komikus harus mampu menggambar sekaligus menulis sendiri cerita komiknya. Namun, Dwi Koen punya skill yang komplit. Cerita yang dia rangkai begitu indah. Humornya sangat berbobot. Referensi sejarahnya cukup serius, terlihat dari bagaimana dia memvisualkan suasana masa lalu yang dia jadikan seting cerita.
Dan satu hal lagi yang tidak pernah selesai kukagumi, jika memakai istilahku adalah kecerdasan visual. Dwi Koen mampu menampilkan sosok Marietje Van der Bloemkol dengan kecantikan standar Eropa, namun tidak menenggelamkan kecantikan khas Jawa yang dimiliki sosok Ni Woro Sendang, bahkan saat dua gadis berbeda ras itu tampil bersamaan. Inilah yang menurut istilahku tadi adalah kecerdasan dalam visualisasi, dan tidak semua komikus menguasainya. Bahkan dari angkatan muda sekalipun.
Tahun 2008 adalah pertama kalinya aku berjumpa langsung dengan sosok yang kuidolakan sejak remaja itu. Saat itu aku mengikuti sebuah workshop komik di Jakarta dan kebetulan ada acara launching buku karya Dwi Koendoro tentang bagaimana cara menggambar komik. Dalam kesempatan yang sangat langka itu kuberanikan diri untuk ikut sesi tanya-jawab. Mungkin pertanyaanku terkesan menyerang. Tapi, itu akibat dari luapan kekagumanku padanya yang sulit kutahan.
“Kami tidak terlalu butuh “Kitab Belajar”. Untuk mencari tips menggambar yang baik, dengan segala hormat, Pak Dwi Koen, mungkin kami yang muda ini bisa mencarinya sendiri. Yang lebih kami butuhkan dari Anda adalah tips bagaimana membuat karya yang total, seperti yang biasa kami dapati dari setiap karya Anda!”
Dwi Koendoro menatapku sejenak sebelum menjawab. Dan pertanyaanku tadi membawaku ke sebuah diskusi santai yang lebih panjang seusai acara. Belakangan kutahu ada kemiripan jalan hidup antara kami. Sama-sama awalnya ingin jadi pelukis tapi lantas banting setir menjadi komikus. Bedanya, Dwi Koendoro punya darah seniman yang kental dari keluarganya. Sedangkan aku memutuskan jadi komikus karena terinspirasi dia.
“Saya berkawan dengan banyak orang. Sesama seniman, jurnalis, pengamat sosial politik, juga sejarawan. Obrolan bersama mereka makin memperkaya wawasan dan sudut pandang saya,” ujarnya saat dalam sebuah kesempatan kami bertamu ke rumahnya.
“Sering narasi yang saya tulis di komik diedit lagi oleh media yang memuatnya. Mungkin menurut mereka bahasa saya nonjok terlalu keras. Makanya perlu dihaluskan. Tapi, meskipun begitu, mereka masih memakai saya sampai sekarang. Berarti karya yang membawa pesan kritik masih dibutuhkan oleh publik. Bukan cuma yang lucu-lucuan saja.”
Panjang lebar kami mengobrol di ruang kerjanya. Membuatku makin paham bagaimana Sang Maestro ini bekerja. Baginya membuat komik bukanlah proses kreatif yang eksklusif. Dibutuhkan baku hantam gagasan sebelum dieksekusi dalam gambar. Hanya komikus dan kartunis yang selalu haus informasi yang mampu melahirkan karya dengan pesan tajam, tanpa pernah kehabisan ide.
Dwi Koendoro telah menginspirasi banyak kartunis dan komikus, termasuk aku. Dia mengajarkan tentang dedikasi dan totalitas dalam berkarya. Itulah kenapa kabar kematiannya pagi tadi begitu sangat mengguncang kami. Selamat jalan, Maestro. Terima kasih atas banyak mahakarya yang telah Anda ciptakan selama ini. Dan izinkan semua itu kami pakai sebagai ”kitab belajar” kami.
22 Agustus 2019