Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahap ketiga berlangsung 27 Juni 2018 di 171 daerah, dengan rincian 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Ini merupakan salah satu peristiwa penting, terutama dalam menjaga integritas demokrasi dari daerah.
Dari sisi jumlah daerah, Pilkada kali ini masih kalah jumlah dibandingkan Pilkada tahap pertama tahun 2015 lalu yang berlangsung di 269 daerah. Tapi dari sisi keterlibatan pemilih, jauh lebih banyak, bahkan jika dibandingkan dengan gabungan dua tahap sebelumnya. Ada 152 juta lebih pemilih terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang artinya sama dengan sekitar 80 persen dari seluruh daftar pemilih sementara (DPS) Pemilu 2019 yang berjumlah 186 juta lebih.
Keterlibatan tiga provinsi jumbo, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, menjadikan Pilkada tahap ketiga ini sangat signifikan pengaruhnya bagi keberlangsungan demokrasi lokal. Karena faktor keterlibatan pemilih yang besar, dan jadwal yang berdekatan dengan Pemilu 2019, maka keberhasilan Pilkada kali ini akan menjadi awal dari keberhasilan Pemilu –termasuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bahkan ada yang berpendapat bahwa Pilkada kali ini betul-betul memiliki rasa dan aroma seperti Pilpres.
Setidaknya ada empat masalah krusial yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi keberhasilan Pilkada, pertama, kuatnya oligarki politik yang dibuktikan dengan proses pencalonan Pilkada yang masih bertumpu sepenuhnya pada kebijakan pimpinan partai politik. Proses ini berakibat pada minimnya partisipasi publik dalam proses kandidasi, dan munculnya banyak pasangan tunggal dalam Pilkada. Jika pada Pilkada tahap pertama (2015) terdapat tiga calon tunggal, dan pada tahap kedua (2017) meningkat menjadi sembilan, maka pada tahap ketiga ini meningkat kembali menjadi 16 pasangan calon tunggal atau setara 10 persen dari total jumlah pasangan yang ikut Pilkada.
Kedua, merebaknya politisasi etnis dan agama. Etnis dan agama merupakan dua isu yang sangat rawan dijadikan alat politik. Pernyataan-pernyataan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mengharuskan warga Sumatera Utara untuk memilih putra daerah, atau memilih pemimpin yang didukung para ulama di Jawa Barat adalah contoh nyata dari politisasi etnis dan agama. Contoh lain adalah ajakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk memilih pemimpin seperti memilih imam shalat di Jawa Tengah.
Ketiga, soal netralitas penyelenggara (KPU-Bawaslu) dan aparatur sipil negara (ASN) termasuk aparat keamanan dan prajurit TNI. Banyaknya pengaduan masyarakat ke Bawaslu di daerah-daerah, terutama yang melibatkan petahana dalam Pilkada membuktikan masih rawannya masalah ini. Bukti lain adalah keluhan mantan presiden yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono tentang netralitas TNI-Polri yang ia sampaikan berkali-kali hingga memunculkan kontroversi.
Keempat, soal politik uang. Dibandingkan ketiga masalah sebelumnya, ini merupakan yang paling masif karena melibatkan banyak kalangan, termasuk para pemilih. Modus operandinya juga sangat beragam, dari pemberian uang cash sampai barang-barang kebutuhan primer dan tertier yang secara harfiah bisa dianggap bukan bagian dari pelanggaran politik uang. Dari segi waktunya juga bisa macam-macam, ada yang dari jauh-jauh hari sudah dieksekusi, pada masa kampanye, dan pada saat minggu tenang menjelang pemilihan yang biasanya populer dengan sebutan serangan fajar.
Keempat masalah krusial ini harus menjadi perhatian kita semua. Soal kuatnya oligarki politik mungkin hal yang paling sulit dicarikan jalan keluar karena berkaitan erat dengan sistem kepartaian dan Pemilu kita yang berbasis pada pencalonan melalui partai politik berikut syarat-syaratnya. Di sini terdapat dilema akut antara penguatan partai politik atau meruntuhkannya yang berarti merusak salah satu pilar demokrasi. Pilihan terbaik adalah menyeimbangkan antara penguatan fungsi partai politik dengan peningkatan aspirasi masyarakat terutama dalam proses kandidasi pejabat publik.
Untuk politisasi etnis dan agama, lambat laun akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran politik masyarakat. Masalah ini boleh saja menguat sebagai akibat dari kegagalan para kandidat menghadirkan visi, misi, dan strategi yang relevan dengan perkembangan zaman, tapi penguatan itu apakah sejalan dengan perolehan suaranya, saya kita tidak.
Kampanye penggunaan isu etnis dan agama akan hanya melingkar-lingkar di mulut para jurkam dan tidak akan dibeli oleh masyarakat pemilih yang semakin rasional dan hanya mau memilih berdasarkan pada alasan-alasan yang objektif. Hasil Pilkada di daerah-daerah yang terdapat kandidat pengeksploitasi etnis dan agama menjadi bukti semakin tidak relevannya politisasi etnis dan agama. Apalagi dengan adanya koalisi “campuran” antara partai-partai nasionalis dengan yang agamis, penggunaan etnis dan agama dalam kampanye akan semakin tidak realistis, tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk masalah netralitas dan politik uang, cara yang paling efektif untuk mengatasinya adalah dengan memberikan hukuman yang berat bagi para pelanggarnya melalui pengawasan yang ketat dengan melibatkan berbagai pihak. Khusus untuk politik uang, hukuman harus melibatkan semua pihak yang terlibat, pemberi, penerima, dan pihak-pihak yang menjadi perantara (para operator) yang bergerak di lapangan.
Menjaga integritas demokrasi merupakan upaya terus menerus yang mungkin tidak akan pernah selesai. Masalah-masalah krusial sebagaimana yang disebutkan di atas, bisa saja terjadi di negara-negara yang demokrasi sudah mapan. Bahkan di negara-negara maju pun, misalnya penggunaan etnis dan agama, masih dipraktikkan oleh para politisi.
Menjaga integritas demokrasi menjadi suatu keharusan dalam membangun bangsa dan negara. Sulit membayangkan adanya negara yang maju dan berkembang di era sekarang tanpa menjunjung tinggi integritas demokrasi. Karena itulah, negara-negara non-demokratis seperti Kerajaan Saudi Arabia dan Korea Utara pun sudah mulai membuka diri dan menyerap nilai-nilai demokrasi meskipun pada aspek yang masih terbatas.
Bagi Indonesia yang majemuk, dengan unsur kedaerahan yang kompleks, integritas demokrasi harus dijaga mulai dari daerah-daerah. Semakin tinggi integritas demokrasi di daerah akan semakin baik pelaksanaan otonomi daerah yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penegakkan sistem demokrasi secara umum.