Tanpa bisa dibendung, pengesahan perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi ketuk palu dalam waktu teramat singkat. Walaupun melanggar prosedur pembentukan undang-undang, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tak peduli. Betapapun riuh suara penolakan, pembentuk undang-undang tak acuh.
Peringatan publik bahwa dalam revisi terbonceng agenda pelemahan KPK justru tidak dianggap. Kehendak politisi dan kelompok yang gerah terhadap KPK malah lebih diprioritaskan. Katanya revisi untuk memperkuat KPK, namun tidak ditemukan satu pun pasal yang ditujukan mengokohkan lembaga antirasuah itu. Sebaliknya, norma-norma yang disahkan malah mengandung maksud membonsai KPK.
Secara kelembagaan, KPK dinyatakan sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang bersifat independen. Idependensi dimaksud hanyalah kamuflase, sebab KPK malah ditempatkan di bawah pengawasan Dewan Pengawas yang anggotanya diangkat dan diberhentikan Presiden. Pada saat yang sama KPK harus pula menyampaikan laporan pertanggungjawaban dan evaluasi kinerja oleh Dewan Pengawas setiap tahun, hal mana pertanggungjawaban tersebut selanjutnya disampaikan kepada Presiden.
Singkatnya, jika dipelajari secara komprehensif, alih-alih menjadi lembaga independen, KPK justru tak lebih sebagai penegak hukum yang kerdil di bawah kontrol keputusan politik. Kontrol tersebut bahkan lebih ketat dibanding kepolisian dan kejaksaan yang secara kelembagaan memang berada di bawah kekuasaan Presiden sendiri.
Di Bawah Bayangan Polisi
Selain masalah kemandirian, persoalan lain yang jauh lebih serius adalah penempatkan KPK di bawah bayang-bayang kepolisian dan kejaksaan. Sejumlah norma UU KPK hasil revisi secara eksplisit mempersempit ruang gerak KPK untuk mengendalikan dirinya sendiri. Jantung pertahanan KPK justru ditempatkan di bawah kontrol kepolisian.
Pertama, penyelidik dan penyidik KPK dibatasi dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, dan instansi pemerintah. Sebelumnya, penyelidik dan penyidik KPK diangkat sendiri, di mana mereka berasal dari kepolisian dan juga dari non-kepolisian dan kejaksaan. Dengan keluasan gerak mengangkat penyidik sendiri, KPK dapat memilih sumber daya manusia penyelidik dan penyidik yang dinilai mampu bekerja sesuai dengan mandat pemberantasan korupsi.
Dengan dibatasi bahwa penyidik hanya dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan dan instansi pemerintah, sumber daya utama penggerak tugas KPK akan berada di luar kendali penuh KPK. Sekalipun pengangkatan dan pemberhentian penyidik tetap menjadi wewenang KPK, namun pilihan sumber daya manusianya akan sangat terbatas dan bergantung pada instansi asalnya.
Pada ranah ini, KPK sangat potensial disandera melalui penyediaan sumber daya manusia penyidik sesuai keinginan kepolisian dan kejaksaan. Dalam perjalananya, ketika proses penegakan hukum menyentuh institusi kepolisian dan kejaksaan, penyidik-penyidik tersebut akan dapat ditarik. Akhirnya, KPK pun dengan mudah dilumpuhkan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi KPK kecuali tidak menyentuh kasus-kasus yang berhubungan dengan kepolisian ataupun kejaksaan.
Lalu, ketika muncul pertanyaan ihwan mengapa pilihan kebijakan pembentuk undang-undang adalah membatasi penyelidik dan penyidik KPK? Berdasarkan pengalaman yang ada, dapat dipahami bahwa alasannya tak lain hanyalah untuk menempatkan KPK di bawah pantauan korp kepolisian atau kejaksaan. Padahal, salah satu target besar agenda pemberantasan korupsi yang dimandatkan kepada KPK adalah mendorong kepolisian dan kejaksaan keluar menjadi lembaga penegak hukum yang bersih dan profesional.
Kedua, pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan bagi penyidik KPK tidak dilakukan sendiri, melainkan mesti bekerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan. Pendidikan penyelidik dan penyidik pada dasarnya tidak hanya sebatas transfer ilmu di bidang penyelidikan dan penyidikan, melainkan juga soal semangat dan orientasi tugas lembaga.
Selama ini proses pendidikan penyidik KPK dilakukan sendiri oleh KPK dengan semangat dan mandat yang diembankan kepadanya. Proses pendidikan tersebut tentunya juga berkonstribusi terhadap munculnya penyidik-penyidik dengan integritas baik dan terpercaya yang dimiliki KPK. Dalam konteks ini, pendidikan kepenyidikan betul-betul didasarkan atas kebutuhan kelembagaan KPK dalam memberantas korupsi, terutama yang terjadi di lembaga penegakan hukum.
Dengan keharusan kerja sama pendidikan penyidik dengan kepolisian dan kejaksaan, KPK juga dibatasi untuk membangun sebuah sistem pendidikan mandiri untuk penyidik-penyidiknya. Sistem pendidikan kepenyidikan KPK juga harus dikompromikan dengan kepolisian dan kejaksaan yang selama ini belum terbukti mampu melahirkan dan menjaga penyidik dengan semangat pemberantasan korupsi.
Dengan demikian, semakin jelas betapa KPK tidak lagi memiliki kemandirian dalam membangun sistem kelembagaannya sendiri, termasuk untuk pendidikan penyidik sekalipun.
Dwifungsi Baru
Fenomena yang terjadi di sekitar KPK, baik proses pemilihan pimpinan KPK maupun revisi UU KPK, secara tegas menyampaikan pesan bahwa kedigdayaan institusi kepolisian sedang menuju puncaknya. Segala urusan strategis kenegaraan di bidang hukum tidak ada yang tidak bersentuhan dengan kepolisian.
Agenda pemberantasan korupsi sebagai strategi penting pembangunan negara hukum yang demokratis pun hari ini diletakkan di bawah kontrol kepolisian. Padahal, institusi kepolisian pascareformasi sesungguhnya belum tuntas mereformasi diri menjadi institusi yang profesional dan bebas dari praktik korupsi.
Kondisi tersebut merupakan taruhan mahal Presiden Joko Widodo. Ketika agenda pemberantasan korupsi, di mana polisi juga bagian dari masalah korupsi, juga diserahkan kepada kepolisian, Presiden sesungguhnya sedang menjerumuskan institusi kepolisian menjadi lembaga dengan kekuasaan hukum tanpa batas.
Dengan kekuasaan itu, institusi kepolisian tidak akan pernah dapat disentuh lagi. Potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh kepolisian akan terbuka lebar. Pada gilirannya, cita reformasi dan cita memisahkan Polri dari TNI dalam rangka menghadirkan institusi polisi sipil yang bersih dan profesional akan menemui kegagalan.
Lebih jauh, dengan kekuasaan yang dimilikinya, tidak tertutup kemungkinan kepolisian juga akan menjadi kekuatan politik baru yang menentukan kebijakan-kebijakan strategis negara ke depan. Bahkan jika dicermati, gejala ke arah sana sudah dapat dibaca secara jelas.
Dalam konteks ini, sekalipun tidak dinyatakan secara tegas, kepolisian sesungguhnya tidak lagi sekadar memainkan peranan sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melainkan juga tengah menjalankan peranan politiknya. Realitas ini dapat dibaca sebagai wajah baru dwifungsi alat keamanan negara.
Dwifungsi yang dulu dituntut untuk dihapus itu telah kembali dengan wajah barunya. Dwifungsi TNI mungkin sudah berhasil dihapus dan tentara sudah kembali ke barak, tapi tidak dengan polisi. Dalam menjalankan fungsi menjaga keamanan dan penegakan hukum, peran politik polisi ternyata terus dijalankan. Agaknya, agenda membangun negara polisi sedangkan dibentangkan.
Revisi UU KPK hanya salah satu langkah saja memuluskan agenda itu. Jika kondisi ini tidak segera dievaluasi, taruhan yang diletakkan Presiden Jokowi tersebut suatu saat mesti dibayar mahal dengan matinya demokrasi.
Bacaan terkait
Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”?