Jumat, April 19, 2024

Menimbang KPK Daerah

Reza Syawawi
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

kpk-polriKetua KPK Agus Rahardjo dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti berbincang saat jumpa pers kegiatan Latihan Bersama Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Bandung, Jawa Barat, Senin (18/4). ANTARA FOTO/Novrian Arbi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membentuk satuan tugas di 6 (enam) provinsi, yaitu Aceh, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, Riau, dan Banten. Keenam provinsi ini dipilih sangat terkait erat dengan tingginya tingkat korupsi di daerah tersebut, baik karena menjadi daerah otonomi khusus maupun intensitas kepala daerah yang bermasalah secara hukum (korupsi).

Secara hukum, wilayah kerja KPK sebetulnya tidak dibatasi oleh sekat-sekat administrasi kewilayahan tetapi meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Maka, apakah pembentukan satuan tugas ini adalah cikal bakal perwakilan KPK di daerah?

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pembentukan perwakilan KPK di daerah provinsi memang dimungkinkan (pasal 19 ayat 2). Namun perlu diingat bahwa pembentukan perwakilan KPK di daerah adalah dalam konteks penguatan kerja-kerja KPK, bukan justru menjadi pintu masuk untuk mengamputasi kinerja KPK.

Desain Kelembagaan
Jika dibandingkan dengan lembaga quasi negara yang lain seperti Ombudsman Republik Indonesia (ORI), pembentukan perwakilan memang menjadi keniscayaan. Sebab, dalam konteks kebutuhan dan sesuai kewenangan yang melekat pada Ombudsman, pelayanan publik justru lebih banyak berada di daerah.

Pembentukan perwakilan ini juga mewajibkan adanya analisa kebutuhan sehingga tidak serta merta di setiap provinsi dibentuk perwakilan. Secara struktural dan fungsi, kedudukan dan batasan kewenangan perwakilan Ombudsman juga sangat jelas diatur, baik dalam undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya.

Dalam konteks KPK, keberadaan perwakilan tidak diatur lebih rinci bagaimana kedudukan, struktur, maupun batasan kewenangan/fungsi. Oleh karena itu, hal ini perlu diperjelas dengan membentuk peraturan pelaksanaan, baik dalam bentuk peraturan pemerintah atau peraturan presiden.

Pembentukan perwakilan KPK di daerah tentu saja harus didasarkan pada konteks kebutuhan untuk meningkatkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Baik dari segi/konteks pencegahan maupun penindakan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan).

Terkait dengan pembentukan perwakilan, hal yang paling penting adalah bagaimana memilah tugas dan kewenangan KPK yang akan diberikan kepada perwakilan di daerah. Secara umum, tugas KPK dibagi dalam dua hal. Pertama, hal-hal yang terkait penindakan (koordinasi, supervisi, penyelidikan/penyidikan/penuntutan). Kedua, hal-hal yang terkait pencegahan dan monitoring penyelenggaraan pemerintahan.

Menurut saya, perwakilan KPK di daerah hanya diberikan tugas dan kewenangan yang terbatas pada pencegahan, bukan di penindakan. Ada beberapa alasan. Pertama, penindakan telah menjadi kewenangan paling strategis bagi KPK. Sesuai UU KPK telah disebutkan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi tidak efektif dan tidak efisien, sehingga dibutuhkan KPK (konsideran menimbang huruf b).

Kinerja KPK di bidang penindakan dianggap cukup baik, di mana hampir seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK terbukti bersalah di persidangan. Kalau pelimpahan ini diberikan kepada perwakilan, potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan di daerah menjadi sangat terbuka.

Perwakilan KPK di daerah akan saling berhadapan dengan instansi di daerah, gubernur, bupati, wali kota, maupun instansi vertikal seperti kepolisian daerah, kejaksaan negeri/tinggi, kantor wilayah kementerian, dan seterusnya. Secara kelembagaan (struktural), perwakilan KPK akan mengalami “disfungsi” atau bahkan bisa mengarah kepada manipulasi penindakan. Sehingga problem soal “tidak efektif dan tidak efisien” dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi akan kembali terulang.

Kedua, kewenangan di bidang pencegahan perlu dioptimalkan. Keberadaan perwakilan KPK di daerah sebaiknya diarahkan untuk memperkuat pencegahan, misalnya terkait (i) penguatan kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), (ii) pelaporan gratifikasi, (iii) serta program pendidikan/kampanye antikorupsi di daerah.

Selain itu, yang terkait dengan monitoring penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah akan jauh lebih efektif dan efisien, apalagi ada kerjasama, dengan perwakilan Ombudsman maupun lembaga quasi lainnya yang ada di daerah. Dalam konteks ini, perwakilan KPK akan diarahkan untuk memastikan hasil kajian dan rekomendasi atas pengelolaan administrasi di semua level pemerintahan di daerah telah dilaksanakan. Jadi, konsep perwakilan di daerah juga dalam konteks memudahkan kerja-kerja KPK di daerah.

Terakhir, seperti yang telah disampaikan di awal tulisan, bahwa tetap perlu ada kajian lebih komprehensif bagaimana desain yang paling tepat untuk membentuk perwakilan KPK di daerah. Apakah cukup melalui pembentukan satuan tugas di setiap daerah, atau membentuk kantor perwakilan dengan tugas dan kewenangan yang terbatas. Semua ini tentu akan berpulang pada kebutuhan KPK untuk menyokong kinerjanya, serta dukungan politik, baik dari presiden dan DPR, khususnya dalam hal ketersediaan sumber daya (anggaran).

Reza Syawawi
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.