Keberanian dan optimisme dalam memandang masa depan menjadi kunci pembuka jalan untuk meraih kesuksesan. Inilah salah satu prinsip yang dipegang teguh Sandiaga Salahuddin Uno yang populer disapa Sandi Uno atau Sandiaga Uno.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIMPI) periode 2005-2008 ini belakangan popularitasnya menanjak lantaran masuk bursa bakal calon Gubernur DKI Jakarta yang kemungkinan besar akan diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Dalam acara-acara yang digelar Partai Gerindra, kehadiran Sandi Uno kerap disambut dengan sebutan “gubernur kita”
Sebagai bakal calon gubernur, Sandi Uno memiliki sejumlah modal sadar yang menjadikannya “berbeda” dibandingkan beberapa bakal calon lain. Pertama, muda, ganteng, pintar, dan kaya raya. Untuk usia muda mungkin tidak begitu istimewa karena sekarang ini sudah banyak politikus yang sukses dalam usia muda.
Begitu juga muda dan ganteng, bahkan sudah banyak yang berhasil memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seperti Zumi Zola (Gubernur Jambi), Emil Elestianto Dardak (Bupati Trenggalek, Jawa Timur), dan Sigit Purnomo Syamsuddin Said atau Pasha Ungu (Wakil Walikota Palu, Sulawesi Tengah).
Untuk kriteria muda, ganteng, dan pintar juga sudah ada beberapa yang mewakili. Tapi yang memadukan empat kriteria sekaligus (muda, ganteng, pintar, dan kaya raya), saya kira Sandi Uno belum ada duanya.
Soal kepintaran, ia meraih Bachelor of Business Administration dengan yudisium summa cum laude dari Wichita State University, AS (1990), dan meraih gelar Master of Business Administration dari George Washington University, AS (1992) dengan indeks prestasi komulatif (IPK) yang sempurna (4,00).
Sementara dalam hal kekayaan, putra pasangan Razif Halik Uno alias Henk Uno dan Rachmini Rachman alias Mien Uno ini sejak tahun 2007 hingga saat ini beberapa kali masuk jajaran orang terkaya di Indonesia versi majalah Asia Globe dan Forbes. Tahun 2014, misalnya, Sandi Uno masuk urutan ke-47 terkaya di Indonesia versi majalah Forbes dengan jumlah kekayaan lebih dari Rp 6,3 triliun.
Kedua, selain memadukan empat kriteria di atas, Sandi Uno merupakan sosok pemimpin muda yang berpegang tuguh pada prinsip. Ia pernah memimpin HIPMI dan saat ini masih memimpin Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI). Di antara prinsip yang ia pegang, bahwa kegagalan dan kesalahan merupakan suatu keharusan, namun kegigihan dalam upaya untuk lebih berani mencoba adalah kunci keberhasilan. Jika terus berusaha untuk belajar dari kesalahan dan kegagalan, maka seseorang akan berada di puncak kesusksesan.
Dalam bekerja, Sandi Uno menetapkan etos kerja “4 as”: kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas. Pada umumnya, kesuksesan orang ditunjang dengan salah satu dari etos kerja ini, atau ditunjang dengan dua etos kerja sekaligus, yakni kerja keras dan kerja tuntas; atau kerja keras dan kerja cerdas; atau kerja keras dan kerja ikhlas. Sangat jarang ada yang mampu memadukan keempat-empatnya.
Untuk modal dasar, saya kira sudah lebih dari cukup bagi Sandi Uno. Masalahnya, untuk meraih jabatan publik seperti gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat, modal dasar baru bisa disebut sebagai modal potensial yang masih membutuhkan upaya lebih lanjut untuk bisa dijadikan modal aktual. Modal aktual seorang bakal calon gubernur adalah keterkenalan (popularitas) dan keterpilihan (elektabilitas) yang dipadukan dengan keterpenuhan syarat-syarat formal sesuai ketentuan undang-undang.
Sejauh ini, modal aktual Sandi Uno masih relatif rendah jika dibandingkan dengan bakal calon lain seperti Yusril Ihza Mahendra, Adyaksa Dault, dan (apalagi) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Maka, untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas merupakan langkah strategis yang niscaya bagi Sandi Uno. Dibutuhkan langkah terobosan untuk bisa mengejar ketertinggalan, misalnya melalui penawaran program-program alternatif untuk membangun kota Jakarta sekaligus untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi ibu kota negara ini.
Dalam menjalankan program, keterlibatan media—baik yang resmi (media cetak, elektronik, dan online) maupun yang tidak resmi (media sosial)—menjadi sangat penting untuk memberitakan dan memviralkan agar publik bisa mengetahuinya secara lebih baik.
Langkah terobosan lain yang perlu dilakukan adalah dengan menggandeng tokoh yang memiliki pengalaman mengesankan dalam memimpin birokrasi, yang jika diekspose akan lebih mudah diterima kalangan media, misalnya kepala daerah yang berhasil memimpin daerahnya. Sejauh ini baru Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma) dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil (Kang Emil) yang disebut-sebut media sebagai bakal calon Gubernur DKI Jakarta. Setelah keduanya menyatakan tidak bersedia, media seperti kehilangan tokoh alternatif.
Sebenarnya masih ada tokoh lain seperti Suyoto, Bupati Bojonegoro, yang berhasil merebut puluhan penghargaan, di antaranya dari luar negeri. Namun karena belum banyak diliput media nasional, popularitas bupati yang akrab disapa Kang Yoto ini tidak setinggi Bu Risma atau Kang Emil. Baru belakangan ini, nama Kang Yoto mulai disebut-sebut sebagai salah satu bakal calon Gubernur DKI Jakarta.
Sebagai profesional di bidang bisnis, tidak ada yang meragukan kemampuan Sandi Uno. Namun dalam memimpin birokrasi pemerintahan, Sandi Uno belum memiliki pengalaman. Karenanya, tentu akan sangat baik jika dalam proses pencalonan Pilkada DKI Jakarta, Sandi Uno, misalnya, bekerjasama dengan Kang Yoto untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas.
Jika popularitas dan elektabitas sudah bisa diraih secara memadai untuk bersaing dengan para bakal calon lain, maka, soal persyaratan formal–seperti partai politik pengusung dan pendukung—akan lebih mudah didapatkan. Saat ini partai-partai masih mencari-cari tokoh siapa yang layak diusung untuk bisa mengalahkan gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama.