Sebuah sumbang pemikiran untuk Choose to Challenge-International Women’s Day
Gerakan atau perjuangan melawan penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan di dunia telah berumur satu abad. Meskipun kita telah melihat banyak perubahan dan perbaikan, namun masih ada juga beberapa isu yang perlu diatasi. Dua isu penting berikut ini harus menjadi agenda utama: kekerasan gender dan kesempatan kerja atau karir.
Kekerasan gender dalam konteks ini adalah tindakan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan yang masih terjadi di banyak negara termasuk Indonesia. Bahkan menurut sebuah laporan, tingkat kekerasan meningkat 63% selama pandemi Covid-19.
Menurut WHO, untuk memahami penyebab timbulnya kekerasan seksual terhadap perempuan, kita mesti menguraikan beberapa faktor yang berhubungan dengan kekerasan tersebut dan ini adalah persoalan yang cukup rumit, mengingat kekerasan seksual dapat terjadi dalam beberapa bentuk dan berbagai macam koteks penyebabnya.
Berdasarkan model ekologis, kekerasan seksual disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat dibagi dalam 4 jenjang: individu, hubungan dalam keluarga, komunitas dan masyarakat luas. Penjelasan lebih rinci dapat dibaca di who.int.
Untuk isu kesempatan kerja dan karir, salah satu faktor yang masih menghambat kaum perempuan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki adalah budaya dan tradisi. Misalnya perempuan dianggap sebagai lambang kehormatan keluarga yang banyak terikat dengan aturan-aturan adat (berupa tabu) atau perempuan tidak memiliki status sosial yang sama dengan laki-laki berdasarkan sistem patriarki yang berlaku. Thus, untuk merubah keadaan ini membutuhkan upaya dan kerja khusus dalam memberikan pencerahan terhadap para pemimpin adat.
Akan tetapi mari kita kesampingkan dahulu isu tentang aturan tradisional tersebut. Di era modern sekarang ini pun ternyata masih banyak juga pimpinan perusahaan yang memperlakukan kaum perempuan sebagai sumberdaya manusia kelas dua. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa pekerja perempuan harus membagi waktu dan energinya antara urusan pekerjaan dan keluarga sehingga perempuan dianggap tidak bisa memberikan hasil kerja yang maksimal dibandingkan dengan laki-laki. Ini adalah pemikiran primitif di era modern.
Padahal, produktivitas di era sekarang ini bukan lagi berbanding lurus dengan waktu. Jumlah waktu yang dihabiskan di kantor tidak mesti setara dengan hasil kerja. Kita harus belajar dari masa pandemi ini di mana banyak bisnis atau usaha yang harus mengubah kebiasaan rutin mereka untuk tetap bisa bertahan.
Perusahaan yang telah terbiasa dengan sistem “work-life balance” atau membolehkan pekerjanya bekerja jarak jauh termasuk “working from home” ternyata lebih “handal” dalam menghadapi badai gangguan yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19. Mereka dengan mudah menyesuaikan diri dengan “new norm” sementara perusahaan lain banyak yang terpaksa terkapar atau gulung tikar.
Akan tetapi, sebuah fakta yang mencengangkan adalah semakin banyaknya kaum perempuan yang kini bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, bahkan banyak dari mereka yang mengambil jurusan keteknikan (engineering) yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Dalam tahun-tahun mendatang, perempuan yang bakal lulus dari jurusan teknik ini akan menjadi sumberdaya manusia yang melimpah dan mubazir apabila tidak terserap oleh industri. Banyak pihak yang bahkan percaya bahwa populasi perempuan di dunia akan melebihi populasi laki-laki di beberapa abad mendatang. Perlu diingat bahwa tingkat harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
Namun ada juga berita bagus. Ada beberapa perusahaan yang telah merekrut perempuan untuk jenis pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki sejak beberapa tahun silam. Salah satunya adalah Schlumberger tempat saya pernah berkarir 18 tahun lebih. Schlumberger adalah perusahaan penyedia teknologi dan jasa di bidang Oil & Gas.
Tahun 1978, Schlumberger merekrut Field Engineer Trainee perempuan pertama di Amerika. Setelah mengikuti beberapa bulan training, Schlumberger menempatkan dia sebagai Field Engineer di Indonesia. Akhir tahun 1979, Schlumberger sudah memiliki 29 Engineer perempuan. Dari sini, Schlumberger menerapkan kebijakan berupa target minimal 25% perempuan dalam setiap batch Field Engineer Trainee. Selama lebih dari 25 tahun, kini banyak di antara mereka yang menempati posisi manager, senior manager, VP dan President. Banyak juga kemudian kebijakan perusahaan yang dibuat menjadi “female friendly” seperti cuti melahirkan hingga 6 bulan.
Keberagaman latarbelakang pekerja (baik secara gender, kebangsaan dan agama) menjadi usur DNA atau bagian dari filosofi budaya perusahaan sehingga Schlumberger selalu mendapatkan talent yang terbaik dari seluruh dunia. Saya pernah menjadi bagian dari organisasi dengan latar belakang yang beragam tersebut (semacam mini UN). Kami semua bekerja untuk mencapai tujuan yang sama. Sungguh keberagaman tersebut merupakan salah satu keuntungan kompetitif Schlumberger dalam menghadapi persaingan bisnis yang ketat dan mampu bertahan dalam bisnis sejak didirikan hampir satu abad lalu.
Tulisan versi bahasa Inggris dapat baca di LinkedIn