Saya melihat tahun 2016 yang baru lewat adalah masa-masa yang tidak menyenangkan bagi para pahlawan nasional kita.
Masih membekas dalam ingatan, bagaimana pada Mei 2016, sebuah rumah berstatus cagar budaya yang terletak di Jalan Mawar 10-12, Surabaya, yang sempat menjadi markas Bung Tomo kala membakar semangat juang arek-arek Surabaya pada Pertempuran Surabaya tahun 1945 silam, dibongkar secara ilegal untuk dijadikan parkiran pusat perbelanjaan. Dan tak ada yang menghentikannya.
Lalu, kini, sebagian dari publik Indonesia, khususnya kelompok sumbu pendek yang belakangan ini menempati peran antagonis dalam komunikasi sosial masyarakat kita, kembali mempertunjukkan kelihaiannya dalam menemukan sebuah cela dari isu-isu yang tengah hangat. Keputusan pemerintah mengeluarkan uang cetakan baru dengan gambar pahlawan-pahlawan nasional yang baru mereka sambut dengan antusiasme negatif dan melecehkan.
Mengambil contoh cuitan bernada meresahkan Dwi Estiningsih yang memprotes komposisi penempatan gambar pahlawan nasional, yang dari 12 gambar, 5 di antaranya adalah non-Muslim alias kafir, menunjukkan bahwa bagaimana memang publik Indonesia masih terpesona dengan gagasan kepahlawanan Indonesia yang kolot: pahlawan hanya berjuang mengangkat senjata, nafas perjuangannya Islam, dan kalangan pribumi tulen dari rumpun Melayu.
Dan akhirnya, Frans Kaisiepo yang gambar wajahnya diabadikan dalam cetakan Rp 10.000 baru pun menjadi sasaran tembak karena tidak memenuhi kriteria tersebut. Ia pejuang ideologis dan administratif, penganut Kristen Protestan, dan seorang anak rumpun Melanesia. Hasilnya, Frans, yang kala menjabat sebagai Gubernur Papua (1964-1973) berkontribusi mengantar kemerdekaan Indonesia menjadi 100% dengan memastikan rakyatnya memilih untuk bergabung dengan Indonesia, justru menjadi bahan olok-olokan.
Dalam momentum ini pula, masalah jilbab perempuan Aceh kembali diangkat. Setelah pada 2015 lalu publik dibuat geger dengan kontroversi jilbab Cut Nyak Dhien, kini hal yang sama kembali terulang karena uang cetakan Rp 1.000 yang baru memuat gambar Tjut Meutia tanpa jilbab. Untungnya hal ini cepat terselesaikan setelah pihak ahli waris Tjut Meutia dengan bijak angkat bicara dan meminta publik untuk tidak mempermasalahkan jilbab sang nenek, tapi semangat perjuangannya yang harus diteladani.
Respons cepat publik Indonesia dalam menanggapi isu pahlawan nasional ini menunjukkan bahwa memang kita sudah cukup pandai memberikan pendapat terhadap isu-isu sejarah. Namun, sayang, pendapat itu tidak diisi dengan dasar sumber-sumber bacaan yang baik. Singkatnya, ketika minat membaca sejarah menurun drastis, minat berkomentar justru melonjak tak terkendali.
Hasilnya, banyak omong kosong dan kata-kata bodoh yang berseliweran dalam jagat diskusi publik kita.
Penyebutan “pahlawan kafir” terdengar sangat mengganggu bagi kita yang dapat berpikir dengan jernih. Memang, istilah “kafir” adalah sebuah kata yang awam di kalangan umat Islam. Namun penyampaiannya di ruang publik Indonesia, yang majemuk dan ragam religinya, adalah hal yang menyakitkan. Terlebih kala ditujukan kepada sosok-sosok manusia yang kehidupannya memberikan andil besar dalam perjuangan keindonesiaan, sampai-sampai ia harus diberikan gelar agar orang banyak bisa mengenal dan mempelajarinya.
Pemberian gelar pahlawan nasional terhadap individu-individu masyarakat yang berjasa besar terhadap negara sebenarnya adalah sebuah kebijakan yang dimulai, dan lekat dengan tradisi politik, di Uni Soviet.
Di Indonesia, kerangka legal pemberian gelar ini lahir melalui Dekrit Presiden Nomor 241 Tahun 1958 dengan nama Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sebelum di masa Orde Baru berganti nama menjadi Pahlawan Nasional. Abdul Muis, Ki Hajar Dewantara, dan Suryopranoto, menjadi tiga nama yang pertama kali disematkan gelar pahlawan pada tahun 1959. Sampai saat ini, 169 tokoh telah diangkat menjadi pahlawan nasional.
Aroma politik memang begitu kental dalam setiap helatan pemberian gelar kepahlawanan ini. Misalnya saja, keengganan Orde Baru mengangkat Mohammad Natsir, politisi dan pemikir Islam terkemuka, karena rekam jejaknya yang kontra dengan haluan negara. Mengapa? Karena Natsir pernah menandatangani Petisi 50 yang mempertanyakan keabsahan monopoli Suharto terhadap tafsir Pancasila.
Belum lagi beberapa contoh lain, di mana momentum memunculkan sosok pahlawan menjadi senjata dari pemerintah untuk meredam isu-isu tertentu. Saya melihat bahwa keputusan menampilkan Frans Kaisiepo dalam uang cetakan baru adalah bentuk kepedulian yang ironis. Mengingat sampai saat ini perlakuan pemerintah terhadap rakyat Papua, terutama urusan hak asasi manusianya, masih jauh dari kata adil.
Sama seperti pada 1993 ketika tiga nama Papua sekaligus, Frans Kaisiepo, Marthin Indey, dan Silas Papare, diangkat sebagai pahlawan nasional. Saya curiga, ini adalah kebijakan terselubung untuk menarik hati rakyat Papua di ujung Timur agar tidak ikut berontak seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, ujung Barat Indonesia.
Namun, di balik hal-ihwal politik yang menyertainya, tentu saja ada teladan dan nilai-nilai historis yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengangkat sosok-sosok pahlawan. Jika kita ingin memperbincangkan soal pahlawan, kedua hal tersebut yang sebaiknya menjadi dasar diskusi dan perdebatan, secara positif tentunya.
Karena para pahlawan ditonjolkan agar orang-orang mempelajari jasa-jasa dan peran mereka dalam membangun Indonesia. Bukan karena masalah suku, agama, ras, antar-golongan, dan label-label lainnya.
Sejatinya, kata “kafir” tidak perlu disebut-sebut jika kita, rakyat Indonesia, memang betul-betul mengimani keindonesiaan sebagai koridor hidup berbangsa dan bernegara yang sah di negeri ini. Justru mengkafirkan dan mengolok-olok para pahlawan nasional adalah bentuk penistaan seseorang terhadap “iman” keindonesiaannya sendiri. Jika sudah begitu, pelakunya harus dihukum dengan tegas agar hal yang sama tidak terulang lagi di masa depan.