Selasa, April 16, 2024

Menggerakkan Islam Rasional

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)

Dalam tulisan-tulisan sarjana Barat dan Timur, ada yang menghubungkan Gerakan Islam Reformis Jamal al-Din al-Afghani (1838/1839-1897), Muhammad abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935) sebagai pemikiran dan gerakan Salafi (Kedourie, 1966; Turner 2014; Ali, 2016; Owen, 2016; Bayly, 2016).

Namun, saya berpendapat bahwa Jamal al-Din al-Afghani (1838/1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935) lebih tepat dinamakan Gerakan Islam Rasional dan para Pemikir Reformis Islam di khasanah keislaman daripada gerakan terinstitusi Salafi. Gerakan Islam Rasional mengedepankan metodologi nalar Barat dalam memahami teks wahyu dan realitas.

Tradisi Islam Reformis Mesir

Di Mesir saat itu (kolonialisme Inggris dan Perancis), umat Islam terperangkap oleh taklid buta ulama tradisional. Ulama tradisional sudah lama menempati posisi nyaman ‘kekuasaan otoritas’ Islam sehingga ketika dikritik oleh pemikir reformis, mereka merasa zona nyamannya terusik dan menyudutkan para Islam reformis.

Padahal cara berpikir (metodologi) keislaman selalu harus berubah sesuai dengan konteks zamannya sementara prinsip dan universalisme Islam tetap; Apa yang disebut copy-paste Islam sejak Nabi Adam adalah prinsip universalisme Islam sementara budaya dan produknya selalu berubah dinamis.

Pemikir Islam reformis adalah Islam modernis yang secara selektif mengambil unsur pengembangan metodologi (pikir) Barat tanpa meninggalkan tradisi klasik Islam. Saya beri lima contoh penting (Nasution, 2006).

Pertama, Muhammad Abduh mereformasi Universitas al Azhar yang sebelumnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama lalu diadakanlah ilmu-ilmu Barat (matematika, ilmu ukur, falsafah, ilmu logika, dan lain-lain). Hal ini dilakukan agar umat Islam menggunakan akalnya demi kemajuan peradaban Islam.

Kedua, cara pengajaran di Universitas al Azhar, dari metodologi hanya hapalan lalu ditambah dengan metodologi rasional-analitik kritis yang diadopsi dari Barat. Ketika menjadi dosen di Al Azhar, di kampus Abduh mengajarkan para mahasiswa untuk berpikir. Sedangkan di rumahnya, Abduh mengadakan forum ilmiah bersama orang-orang Sunni, Syiah, Druze, dan Nasrani demi kemajuan peradaban Islam dan Mesir.

Ketiga, al Afghani, Abduh, dan Rida menghadapi kolonialisme Inggris dan Perancis demi nilai-nilai kebebasan dan perlawanan atas penjajahan Barat. Karena pengaruhnya dalam aktivitas politiklah Muhammad Abduh tidak dapat menunaikan ibadah Haji sampai akhir hayatnya.

Keempat, mengedepankan metode ijtihad, yakni penggunaan akal daripada taklid buta terhadap pemikiran ulama tradisional dalam memahami teks wahyu dan realitas. Saat menjadi Mufti Mesir, di al-Manar, Muhammad Abduh berfatwa bahwa daging yang dipotong oleh ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) boleh dikonsumsi orang Islam.

Walaupun fatwa Mufti itu mengikat dan resmi dari pemerintah Mesir dan untuk publik masyarakat Mesir, tapi tetap saja fatwa ini mengundang kontroversial. Statusnya sebagai Mufti tidak mempengaruhi ulama tradisional untuk tetap memaki dan mencap Abduh sebagai orang yang sudah tidak bertuhan.

Kelima, Muhammad Abduh ingin umat Islam kembali ke kondisi tradisi Salaf (saat al Qur’an belum mengundang konflik). Namun kondisi ini perlu disertai dengan metodologi Barat, yakni memanfaatkan nalar/rasio. Harapannya, umat Islam terbebas dari doktrin pemikiran jumud ulama-ulama yang sudah ketinggalan jaman. Jadi dalam konteks ini, kembali ke al Qur’an dan hadis tidak secara semena-mena atau serampangan menafsirkan atau memaknainya, tapi perlu keseriusan belajar metodologi Barat.

Tradisi Islam Reformis Indonesia 

Dari tradisi pemikir Reformis Mesir di atas, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah (1912). Prinsip dan inspirasi yang KH Ahmad Dahlan ambil dari reformasi pemikiran di Mesir diantaranya. Pertama, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang sepenuh hati memperjuangkan kerja sosial yang bermula dari pendidikan. KH Ahmad Dahlan menggabungkan pendidikan agama dengan pendidikan Barat seperti yang dilakukan Muhammad Abduh di Universitas al Azhar demi kemajuan umat.

Kedua, dari pendidikanlah, KH Ahmad Dahlan mengedepankan ilmu pengetahuan Barat seperti penentuan arah kiblat yang sangat kontroversial itu. Selain itu rumahnya dijadikan tempat diskusi bersama kawan-kawan Budi Utomo yang sebagian besar berpendidikan Barat. Ketiga, walaupun KH Ahmad Dahlan kooperatif dengan Belanda dalam hal pendidikan, tapi Beliau tergabung dengan Gerakan Budi Utomo dan Sarekat Islam melawan kolonialisme Belanda.

Keempat, sama halnya di Mesir, beliau juga mengedepankan metode ijtihad, yakni mengutamakan nalar Barat demi kebebasan berpikir dalam memaknai kembali wahyu. Sebagai gerakan tadjid (reformis), Muhamamdiyah mengajarkan “Ar ruju’ ila al Qur’an wa Al Sunnah” (kembali kepada Qur’an dan Sunah).

Kelima, nama-nama yang dipakai di Muhammadiyah pun sangat mirip gerakan di Mesir yang dibuat atau terispirasi dari al Afghani dan Abduh. Misalnya, gerakan al Hizb al Watani (Gerakan politik yang didirikan al Afghani) dan al Wasat (partai di Mesir yang terinspirasi dari gerakan reformis Afghani).

Keenam, Muhammadiyah mempunyai tarjih agar tidak fanatik terhadap empat Mazhab (Hambali, Maliki, Syafii, dan Hanafi). Jika kita terpaku pada salah satu dari empat mazhab tersebut, maka kita akan mengabsolutkan mazhab tersebut. Hal itu bertentangan dengan prinsip Islam, khususnya tradisi ijtihad yang Allah selalu mengingatkan manusia agar menggunakan akalnya–ilmu-ilmu sosial, humaniora, sejarah, dan ilmu alam.

Hal yang paling berbahaya adalah membaca al Qur’an tanpa akal yang memadai. Al Qur’an seringkali ‘didemokratisasikan’ (siapapun boleh menafsirkan dan berfatwa denga asal comot ayat atau jalan pintas justifikasi diri–metode clear-cut) seolah-olah siapapun punya hak memahami al Qur’an.

Di era internet yang serba instan, serba cepat serta berbudaya pop, kita harus waspada mendengarkan ceramah-ceramah para ustad yang tidak jelas latar belakang keilmuwannya. Ilmu agama berbasis tradisional seperti hafalan saja tidak cukup memberi solusi kompleksitas realitas kekinian.

Apakah semuanya boleh menggunakan kebebasan akal dalam memahami al Quran? Jika dihitung persentasenya, ayat-ayat al Quran yang sudah jelas absolut (qath’i) hanya 14 persen (Nasution, 1996, h. 33) dan yang mengurusi tentang ibadah ritual pribadi seperti sholat, zakat, dan puasa hanya 140 ayat saja 6.236 ayat al Quran Nasution, 1996, h. 26-28). Ayat-ayat yang absolut inilah yang amat sanga terbatas pemakaian akalnya.

Selebihnya adalah ayat-ayat yang sangat dinamis (zhanni) untuk wilayah ijtihad (akal) untuk berkreasi. Nabi pernah berkata dalam konteks pertanian: “kamu lebih mengetahui soal soal hidup keduniawianmu”. Namun hal ini pun tetap prinsip pada keseimbangan alam (QS Ar Ruum: 41 dan QS Asy Syuura: 30-31). Hal ini dipahami bahwa prinsip-prinsip Islam universal tetap dipegang sebagai fondasi, tapi praktik keduniawian (saecum/secular) kita secara budaya plural, dinamis, dan berproses terus.

Harapan

Saya kira spirit Muhammad Abduh kini dilanjutkan juga oleh generasi Reformis lainnya seperti Hassan Hanafi dan Tariq Ramadan. Hassan Hanafi dan Tariq Ramadan menulis karya yang mempunyai spirit wasatiyyah. Hanafi membuat “Oksidentalisme” (2000) dan Ramadan membuat “Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation” (2001).

Di Indonesia, saya kira spirit Abduh, khususnya Islam wasatiyyah telah secara konsisten dilanjutkan Muhammadiyah, khususnya di bawah pimpinan Prof. Dr. Haedar Nashir.
Hal yang penting menurut saya adalah kontemplasi (auto-kritik) tentang sejauh mana orang-orang Muhammadiyah mendalami tradisi pemikiran al-Afghani, Abduh, dan Ridha yang menjadi sumber pemikiran KH Ahmad Dahlan? Usul saya penting untuk membuat buku ajar sederhana tentang pemikiran Islam Reformis.

Musa Maliki
Musa Maliki
Musa Maliki Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; Doktor Charles Darwin University Australia; Tokoh Jaringan Intelektual Berkemajuan; Karyanya (bersama Asrudin Aswar) "Oksidentalisme: Pandangan Hassan Hanafi terhadap Tradisi Ilmu Hubungan Internasional Barat" (2019)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.