Hari ini ada banyak peningkatan angka orang-orang yang mengalami gangguan mental. Seperti dilansir dari laporan gangguan mental Badan Kesehatan Dunia (WHO), satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan mental atau neurologis dalam beberapa waktu di dalam hidup mereka. Sekitar 450 juta orang saat ini menderita gangguan mental.
Ada perawatan profesional yang tersedia, tapi hampir dua-pertiga dari orang-orang dengan gangguan mental tidak pernah mencari bantuan profesional. Sementara data dari Riset Kesehatan Dasar, di Indonesia, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400 ribu orang. Hal itu membuat kita mempertanyakan pernyataan orang-orang yang mengatakan “kamu seharusnya menjadi normal”, lalu kamu pun bertanya-tanya “apakah normal itu?”
Lalu, kamu dan kawanmu tak tahu harus menjawab apa. Mungkin kamu akan mengatakan bahwa Hitler, Saddam Husein, atau Soeharto adalah orang-orang yang “sakit”, seorang psikopat berdarah dingin yang terganggu jiwanya. Mungkin juga itu yang dikatakan kepada Aa’ Gatot hingga pelaku begal.
Dari mafia The Godfather hingga kriminal “kelas menengah bawah”. Tapi tentu saja, kejahatan kerah putih dengan kejahatan kerah biru akan memiliki analisis berbeda dari pemikiran orang-orang kebanyakan. Dan begitu pula yang terjadi dengan kejadian baru-baru ini, seorang ibu yang memutilasi anak balitanya. Setiap hari kita mempertanyakan “kewarasan” di sekitar kita.
Kita mulai menghitung dan bertanya mengenai siapa orang-orang “gila” di luar sana. Ini bukan lagi kegilaan seorang musisi yang kemudian menjadi pemujaan oleh anak-anak pemuja kepala kambing atau bahkan anak-anak emo. Semakin banyak kawan-kawanmu atau bahkan mungkin dirimu sendiri yang rutin mengambil preskripsi anti-depresan di psikiater, kamu akan semakin mempertanyakan.
Jika kamu adalah seseorang yang tidak mengambil preskripsi atau percaya diri memiliki kewarasan orang normal, cobalah untuk melanjutkan bacaan ini terlebih dahulu.
Lingkunganmu meyakinkan dirimu bahwa yang bertanggung jawab atas kegilaanmu adalah dirimu sendiri. Kamu bukanlah korban. Hanya dirimu sendiri bersama ketidakseimbangan hormon atau gen yang “cacat”. Mereka meyakinkan untuk selalu fokus pada hal-hal positif. Itulah yang kerap dikatakan oleh Tere Liye, para psikolog, psikiater, dan penulis New Age self-help books.
Kita memiliki kecenderungan untuk berpikir dengan Zeitgeist kita, intelektual umum yang ada dalam budaya kita, tidak peduli apakah yang kita percayai itu sudah teruji secara saintifik atau relevan dalam hidup kita atau orang banyak. Kita juga yang cenderung mengabaikan kekompleksan dan ketidakkonsistenan keberadaan kita dengan dikotomi sederhana: benar-salah dan baik-buruk.
Di satu sisi, kita mempercayai bahwa dunia itu adalah hitam dan putih, di sisi lain kita juga mempercayai bahwa cara bekerja dunia tidak sesederhana itu. Seperti dikotomi yang sering kita jumpai dalam hidup kita; Apakah “perilaku kita” saat ini fisiologis atau psikologis dan Apakah perilaku kita diwarisi atau karena pengalaman hidup kita?
Masyarakat Zaman Gelap VS Masyarakat Modern Hari Ini
Saat kamu berada di sekolah menengah atas atau bahkan sekolah dasar, kamu mengetahui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan mengalami tantangan yang amat sulit. Ketika Galileo mengatakan bahwa pusat tata surya bukanlah bumi, ia harus menghadapi kekuasaan Gereja Roma saat itu dengan teori geosentrisnya. Perdebatan Abad Pertengahan yang sudah dituntaskan itu kembali menjadi perdebatan hingga zaman ini, yaitu bumi datar melawan bumi bulat.
Setelah masyarakat Eropa mengalami bencana katastropik seperti wabah-wabah penyakit hingga kelaparan pada Zaman Gelap, lahirlah Zaman Renaissance. Ilmuwan-ilmuwan tidak ingin didikte dan dihakimi lagi oleh Gereja. Konflik antar ilmuwan dan Gereja saat itu dicoba diselesaikan oleh filsuf Prancis Rene Descartes dengan Dualisme Cartesian-nya—yang disetujui oleh pihak Gereja—bahwa alam semesta terdiri dari dua elemen; elemen fisik dan human-mind.
Dalam pamflet Pietro Corsi (1991) ditulis mengenai Dualisme Cartesian yang mendapatkan serangan oleh seorang fisikawan dan filsuf Prancis, Julien Offroy de La Mettrie; La Mettrie lari ke Berlin, tempat ia dipaksa hidup sebagai orang buangan di sepanjang sisa hidupnya. Apa kejahatan yang dilakukannya? Ia mengatakan bahwa pikiran dihasilkan oleh otak—sebuah serangan berbahaya di mata masyarakat saat itu.
Perbedaan gangguan masalah kesehatan dari Zaman Gelap hingga saat ini sayangnya masih terus berlanjut, dari penyakit-penyakit katastropik hingga masalah kesehatan mental. Seperti dulu ketika masyarakatnya bertakhayul dari cerita-cerita horor, saat ini kita masih pula mempercayai klenik dan hal-hal yang sebenarnya disebabkan ilusi optik.
Kita mempercayai bahwa seorang yang gila atau terkena penyakit katastropik karena kerasukan setan; tak jarang ada banyak orang yang mengalami kesehatan mental harus dipasung. Meskipun pemerintah Indonesia telah melarang pemasungan pada tahun 1977, kenyataannya, berdasarkan laporan Human Rights Watch Indonesia, masih ada 18.800 orang yang masih dipasung.
Dari penolakan ilmu sains oleh Gereja Roma hingga Amerika yang menyerukan penolakan terhadap ODHA (orang dengan HIV AIDS) dan homoseksual (Lihatlah perang pendidikan seks saat pemerintahan Reagan). Jika kamu menanyakan apakah stigma dan diskriminasi itu ada? Ya, masih ada, kawan.
Analisis sederhana mengenai seseorang yang mengalami gangguan mental adalah dikotomi sesederhana yang kita percayai dari kecil hingga tertanam ketika kita dewasa. Menjadi perdebatan zaman baheula, dari Freud hingga behaviorisme John Watson. Dari perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, khususnya biopsikologi hari ini, perilaku tidak dilihat hanya kotomi seperti itu, tetapi nature atau nurture menjadi “faktor-faktor genetik dan pengalaman yang membentuk seseorang”.
Perilaku seseorang selalu berkembang di bawah kontrol gabungan antara nature dan nurture dan bukan dikontrol oleh salah satu di antaranya (Johnston, 1987, Rutter, 1997). Seseorang tidak dapat dikatakan lahir sebagai seorang gila, seorang skizofrenia, atau seorang yang memiliki gangguan mental hanya berdasarkan genetik, bahwa pengalaman dari yang dialaminya (mulai dari hal traumatis hingga sikap masyarakat kepada masalah atau pengalaman seseorang itu) juga berpengaruh dalam diri mereka.
Dua hal yang terlibat penting dalam perilaku seseorang adalah: sumbangan genetik organisme yang merupakan produk dari evolusinya dan pengalamannya.
Dikotomik tradisional banyak memiliki kekurangan, ya, jika kita mampu lebih kritis dan legowo dalam menerima klaim-klaim yang ada berdasarkan pengalaman. Ada rentetan bukti mengenai banyaknya demonstrasi bahwa perubahan psikologis yang paling kompleks sekalipun (seperti perubahan alam bawah sadar, ingatan, atau emosi) dapat dihasilkan oleh kerusakan, atau stimulasi terhadap bagian-bagian otak tertentu (lihat Kosslyn & Andersen, 1992).
Faktor-faktor selain genetika yang mempengaruhi perkembangan perilaku seseorang adalah faktor-faktor seperti lingkungan, nutrisi, stres, dan stimulasi indrawi terhadap fitur-fitur juga berpengaruh.
Akhirnya, saya tidak akan memberikan bagaimana-seharusnya-yang-pemerintah-lakukan atau regulasi-regulasi politis karena para politisi dan publik pemilih mengalami kesulitan dalam memahami mengapa masalah ini. Bukankah birokrasi akan selalu begitu? Apakah harus menunggu?
Seperti yang saya katakan di awal, kita manusia adalah produk adaptasi dari 600 juta tahun lalu, dan untuk menambahkan; saya akan memberitahumu bahwa kamu tak bisa selalu menjadi makhluk 600 juta tahun lalu, bukan?
Maka, mari bersama-sama menghadapi masalah ini, tidak dengan menunjukkan telunjukmu, bukankah ini juga menjadi masalah kita bersama?