Kamis, April 18, 2024

Mengawal Perjalanan Literasi Anak Sejak Dini

Joana Zettira
Joana Zettira
Pegiat Literasi dan Duta Museum DI Yogyakarta

“Halo temanteman, nama saya Kirana. Hari ini saya ingin membacakan buku berjudul Anduang karya Bunda Dewi ....”

Seorang gadis kecil berbaju biru menyapa dengan sumringah. Kirana Aisha namanya. Usianya 7 tahun saat sebuah video diunggah Billy Antoro, ayahnya, ke YouTube tepat satu tahun yang lalu. Kirana membacakan buku berlatar Minangkabau dengan sedikit terbata-bata. Maklum, bahasa Minang bukan linguafranca-nya. Ayah dan ibu Kirana berasal dari kota metropolitan, Jakarta.

Video berdurasi 8 menit 48 detik itu tak menunjukkan ekspresi malu-malu. Kirana tampak percaya diri. Ia menuntaskan bacaannya dengan “salam literasi” diikuti ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf L.

Kini, ia memasuki usia 8 tahun yang kian keranjingan membaca. Billy, seorang penulis cum pegiat literasi, dalam diskusi Membentuk Generasi Berliterasi Melalui Keluarga mengatakan, “Selama dua tahun ini saya sangat khawatir dengan putri saya. Buku yang kami beli, sangat cepat selesai dibacanya.” Ia dan istri harus menyimpan beberapa buku baru agar tak langsung ludes dibaca Kirana.

Tampil Kompak

Memperingati World Book Day 2020, Kirana tampil menemani Billy yang menjadi pemateri sesi ke-10. Tampil melalui aplikasi Zoom, Kirana turut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan moderator Ariful Amir dan peserta diskusi. Tak hanya berbagi perjalanan berliterasi Kirana sejak berusia nol tahun, Billy juga membagikan buku-buku yang pernah dibaca Kirana.

Di antaranya: Dari Batu ke Batu, Ketika Paman Kala Diam, Hujan Warna Warna Warni, Rambut Panjang Alika, termasuk yang menjadi favoritnya yakni buku berjudul Aku Suka Caramu. “Ini bagus, terutama untuk anak berkebutuhan khusus (ABK),” saran Billy. Tema buku lain yang menurutnya perlu untuk dibacakan pada anak ialah buku-buku bertema kedaerahan. Ia mencontohkan buku Sahabat Kecil Putri Pandan Berduri.

Kerja Sama Ayah dan Ibu

Untuk mencapai tahap keranjingan membaca, Billy dan sang istri Winy Purtini, membabak kebutuhan membaca anak pada setiap jenjang usia. “Anak saya lahir tahun 2012, saya dan istri coba menyamakan persepsi dulu. Alhamdulillah, kami sama-sama suka membaca,” kenangnya.

Tahun pertama, anak dikenalkan dengan dongeng dan fabel sebelum tidur. Pada tahap ini, buku yang dikenalkan adalah buku kain dengan komposisi gambar lebih dominan. Baru setelah akrab dengan buku kain, Billy mengenalkan Kirana pada buku sampul keras dengan komposisi teks sedikit. Berangsur-angsur, buku yang diberikannya akan semakin bertambah komposisi teksnya.

“Tujuan kami membacakan buku, bukan agar anak kami bisa membaca. Tidak sama sekali. Tapi agar dia dekat dengan buku,” tutur Billy. Orientasi itu dibangun saat usia anak 0-5 tahun. Memasuki usia 6-8 tahun, anak diberi keleluasaan untuk menuliskan hasil bacaannya. “Bukan agar dia bisa menulis, tapi agar dia mau mengeluarkan isi kepalanya,” ungkap Satgas GLS Kemendikbud tersebut.

Sejauh ini, salah satu penulis yang menginspirasi Kirana untuk menulis adalah Abinaya Ghina Jameela—penulis cilik asal Yogyakarta. Membaca Mengapa Aku Harus Membaca?-nya Naya, mendorong Kirana menulis puisi, opini, dan resensi.

Anak Meniru Orang Tua

Salah satu momen tak terlupakan bagi Billy dalam perjalanan berliterasi Kirana, tercatat saat usia putri sulungnya tersebut memasuki 3 tahun. Bahkan kisah tersebut telah dituliskan Billy dalam antologi Anakku Sayang, Ayah Ada di Sini dengan judul: Antara Saya, Buku, dan Kirana.

“Suatu hari istri saya merekam video Kirana membaca buku. Judulnya apa Kirana? Air, ya?” tanya Billy, “Lautkah Ini?” jawab Kirana kurang yakin.

Saat itu, Kirana membacakan buku ini persis seperti cara Billy membacakannya tempo hari. “Itu tampak sekali ketika misalnya dia mengucapkan, laut itu luuuuass sekali. Nah, moncong saya yang saya keluarkan saat mengucapkannya, ternyata diikuti dia,” ujarnya sambil tertawa. Ia menyimpulkan, anak mereplikasi apa yang dilakukan orang tuanya, termasuk gestur dan cara pelafalan.

Gadis cilik yang bercita-cita menjadi penulis cum pengusaha komik ini, kini tengah menghabiskan waktu Corona Breaknya untuk membaca buku. Beberapa kali, ia juga menghiasi channel YouTube ayahnya dengan video membaca nyaring dan aktivitas selama pandemi seperti membuat handsanitizer. Barangkali, kegemaran ngevlognya ini juga mereplikasi dari sang ayah yang kerap ngevlog bertema literasi.

Menurut Billy, selain dibolehkan membaca buku bergenre fantasi, anak juga diberi kebebasan membaca buku-buku bertema kontekstual. Dengan begitu, anak bisa menghubungkan konten buku dengan realitas di sekitarnya. Jangan sampai buku-buku yang dibacanya seperti alien, tidak dimengerti anak.

Yona Primadesi, pegiat literasi dari Yogyakarta, menanggapi bahwa dunia anak usia sekolah dasar yang terpenting adalah imajinasi dan kreativitas. Selama ini, mereka disuguhkan bacaan seragam, baik teks atau visual. Semestinya, mereka diberi bahan bacaan variatif agar memantik imajinasi dan kreativitas.

Orang tua pun harus memberikan ruang kekaryaan. Seperti yang dilakukan Billy, Kirana didorong untuk menuliskan isi kepalanya dalam bentuk puisi, cerpen, dan resensi sebagai bentuk kreativitas di masa pandemi Covid-19.

Tulisan dalam rangka Festival Literasi, World Book Day 2020. 

Joana Zettira
Joana Zettira
Pegiat Literasi dan Duta Museum DI Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.