Jika kita bandingkan Sir Arthur Conan Doyle dengan Bram Stoker, penulis novel Dracula, atau dengan para penulis cerita seru (thriller) yang muncul setelahnya, gaya penulisan Conan Doyle terasa berbeda. Ia tampak begitu hati-hati, bahkan terkesan enggan untuk mengeksplorasi sisi gelap cerita secara mendalam. Meskipun karyanya bermaksud untuk mengungkap kejahatan dan bahaya yang mengancam, Conan Doyle cenderung menghindari penggambaran adegan-adegan yang terlalu mengerikan atau menjijikkan.
Sebagai contoh, Charles Dickens, seorang penulis pada masa yang sama dengan Conan Doyle, justru jauh lebih berani dalam menggambarkan detail-detail yang mengerikan dan mengganggu dalam beberapa karyanya. Hal ini menunjukkan bahwa Conan Doyle memiliki batasan tertentu dalam hal eksplorasi sisi gelap manusia.
Novel The Hound of the Baskervilles (1902), yang dianggap sebagai salah satu karya Conan Doyle yang paling menegangkan, sebenarnya tidak seberapa mengerikan jika dibandingkan dengan karya-karya lain dari era yang sama, atau bahkan karya-karya dari abad sebelumnya. Tampaknya, kepekaan publik terhadap cerita-cerita mengerikan telah berubah pada pergantian abad ke-20. Masyarakat pada masa itu, termasuk para pembaca di Inggris, jauh lebih mudah merasa ngeri dibandingkan dengan masyarakat di abad ke-18 dan ke-19. Banyak novel dari abad-abad sebelumnya yang sebenarnya jauh lebih menakutkan dan menampilkan hal-hal supranatural dibandingkan dengan The Hound of the Baskervilles.
Meskipun Conan Doyle cenderung menghindari penggambaran kengerian yang eksplisit, kita tidak boleh melupakan pencapaian terbesarnya, yaitu penciptaan tokoh Sherlock Holmes. Melalui Holmes, Conan Doyle telah menghadirkan sosok yang unik dan berpengaruh dalam budaya modern. Holmes menjadi model bagi manusia beradab, seorang figur yang menarik dan meyakinkan.
Holmes adalah produk dari zamannya, ia hidup dan bernapas di era Victoria. Namun, ia juga berbeda dari orang-orang sezamannya. Sifat-sifat yang pada orang lain dipandang negatif, pada diri Holmes justru menjadi kekuatan. Misalnya, apa yang pada orang lain tampak sebagai ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan norma sosial (anomi) dan kecenderungan untuk menyendiri (isolasi), pada diri Holmes justru terlihat sebagai savoir-faire, yaitu kemampuan untuk berperilaku dengan sopan dan anggun dalam situasi apapun.
Demikian pula, sikap dingin dan ketergantungan pada rasionalitas ilmiah yang pada orang lain menimbulkan kecurigaan, pada diri Holmes justru dimanifestasikan sebagai ketenangan dan kecerdasan praktis. Apa yang pada orang lain terlihat sebagai sensualitas atau kenikmatan inderawi yang berlebihan, pada diri Holmes diwujudkan sebagai selera yang tinggi dalam seni, seperti musik dan lukisan. Bahkan, sikap yang pada orang lain dianggap sebagai kebencian terhadap perempuan (misogini), pada diri Holmes justru tampak sebagai pilihan hidup yang misterius dan mungkin romantis.
Singkatnya, Holmes adalah representasi ideal dari pria Britania pada masa Kerajaan Inggris. Ia percaya diri, mandiri, atletis, aktif, cerdas, bermoral, dan memiliki nilai-nilai konservatif seorang Tory. Namun, ia terbebas dari sifat sombong dan kepentingan politik yang sempit. Ia menyukai tantangan intelektual dan gemar memecahkan teka-teki. Ia adalah sosok yang bijaksana, penting, dan terkenal. Dengan segala karakteristiknya yang unik, Holmes justru menjadi sosok yang menarik dan jauh dari kesan membosankan atau konyol.
The Hound of the Baskervilles mengisahkan tentang sebuah keluarga kaya yang tinggal di daerah Devonshire yang terpencil dan liar. Keluarga ini dihantui oleh kutukan turun-temurun yang mengerikan, yaitu seekor anjing neraka raksasa yang mengancam keselamatan mereka. Sebelum kisah dimulai, salah satu anggota keluarga, seorang pewaris kekayaan, telah meninggal secara misterius. Kini, seorang pewaris lainnya baru saja tiba di Inggris untuk mengklaim warisannya.
Dalam situasi yang menegangkan ini, Sherlock Holmes dipanggil untuk menyelidiki misteri kematian sang pewaris dan melindungi pewaris yang baru tiba dari ancaman anjing neraka. Tentu saja, dengan kejeniusannya, Holmes mampu memecahkan misteri tersebut dan menyelamatkan kliennya.
Namun, kehebatan novel ini bukanlah pada solusinya, melainkan pada bagaimana Conan Doyle merangkai alur cerita dengan cerdik. Ia menyajikan informasi dengan cara yang menipu pembaca, bahkan Dr. Watson sendiri, sehingga mereka dibuat penasaran dan terus menebak-nebak hingga akhir cerita. Conan Doyle tidak menyembunyikan informasi apapun dari pembaca, tetapi ia dengan cerdik mengarahkan interpretasi pembaca ke arah yang salah melalui sudut pandang Dr. Watson.
Sebagai pembaca, kita seringkali menyadari bahwa kesimpulan Watson keliru, namun kita tetap mengikutinya dalam penyelidikan yang penuh liku dan teka-teki. Kita terbawa dalam alur cerita yang menegangkan dan penuh kejutan, hingga akhirnya Holmes mengungkap kebenaran dengan penjelasan yang logis dan memuaskan.
Menariknya, meskipun Conan Doyle pernah mencoba untuk “membunuh” Sherlock Holmes dan mengakui bahwa ia bosan menulis tentang sang detektif, Holmes tetap menjadi tokoh yang sangat populer, baik di awal abad ke-20 maupun di awal abad ke-21 ini. Mungkin ia bahkan lebih populer sekarang.
Menurut pendapat saya, kepopuleran Holmes yang abadi ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Holmes adalah sosok yang “mendahului zamannya”. Ia hidup di dunia yang relatif tenang dan tertib, sebelum kengerian Perang Dunia I mengubah wajah dunia selamanya. Cerita-cerita Holmes menawarkan kenyamanan dan ketenangan bagi para pembaca yang hidup di tengah ketidakpastian dan kekacauan abad ke-20 dan ke-21. Pada masa Conan Doyle menulis cerita-cerita Holmes, kengerian perang dan masalah-masalah abad ke-20 belum terbayangkan, dan ketika membaca kisah-kisah tersebut, para pembaca juga dapat sejenak melupakan kenyataan yang keras dan menikmati dunia fiksi yang lebih teratur dan dapat diprediksi.
Banyak orang membaca cerita-cerita Holmes berulang kali, mungkin sebagai bentuk pelarian dari kenyataan, atau mungkin sebagai cara untuk membayangkan dunia yang lebih baik, di mana masalah-masalah dapat diselesaikan dengan logika dan kecerdasan. Di dunia Holmes, yang kita butuhkan untuk memecahkan masalah hanyalah sedikit “kekuatan otak” dan pemikiran sistematis.
Holmes dan Watson, dengan sedikit bantuan dari adaptasi-adaptasi Hollywood, tetap relevan hingga saat ini, sementara penulis-penulis thriller lain yang lebih “gelap” telah dilupakan. Yang menarik, versi-versi Hollywood dari Holmes seringkali terasa ketinggalan zaman, sementara cerita-cerita aslinya tetap menarik dan abadi. Holmes adalah sebuah model yang seharusnya diikuti oleh semua detektif fiksi, karena ia adalah “pemecah teka-teki” yang paling keren.
Mungkin pelajaran yang dapat kita ambil adalah bahwa bukan kebrutalan atau kengerian kejahatan yang membuat sebuah cerita detektif menarik, melainkan intrik dan kompleksitas dari teka-teki itu sendiri. Holmes mengajarkan kita bahwa dengan logika, observasi, dan deduksi, kita dapat mengungkap kebenaran dan mengatasi misteri apapun.