Jumat, Maret 29, 2024

Mengapa Nara Rakhmatia?

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
nara
Nara Masista Rakhmatia saat mengikuti Sidang PBB. | (ABC. Net)

Keputusan Indonesia memerintahkan diplomat junior membacakan tanggapan resmi atas pernyataan enam kepala negara Pasifik menuai sejumlah tanggapan negatif. Kata mereka, diturunkannya Nara menunjukkan bahwa Indonesia tidak serius tentang Papua. Padahal jika diteliti latar belakangnya, keputusan itu berdasarkan perhitungan yang terukur. Jikapun ada dampak, paling juga kepala pemerintahan itu bilang sama Nara, “Sakitnya Tuh Di sini…”

Mereka Negara Kecil

Indonesia melihat bahwa pernyataan mendukung kemerdekaan Papua adalah langkah negara-negara kecil di Pasifik menciptakan “taman bermain” mereka yang baru. Taman itu namanya Forum Koalisi Pasifik untuk Papua yang dibentuk terburu-buru pada September yang disponsori oleh Kepulauan Solomon dan Vanuatu. Dua negara itu berhasil membujuk Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu, Tonga dan terakhir Palau.

Tujuh negara tadi— jika digabung—penduduknya kurang dari sejuta. Yang paling besar Vanuatu sekitar 561 ribu orang disusul Kepulauan Solomon 243 ribu kemudian Tonga 130 ribu, Kepulauan Marshall 72 ribu, Palau 20 ribu, Tuvalu 11 ribu dan Nuaru 10 ribu orang.

Dari segi apa pun negara-negara kecil tadi tidak punya pengaruh di pelataran internasional. Apalagi desakan kemerdekaan Papua itu disampaikan pada Forum yang salah, yakni Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas soal Sustainable Development Goals atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Jadi, buat apa Kepala Perwakilan Tetap Indonesia di PBB yang setingkat duta besar yang harus turun gelanggang. Cukup Sekretaris Dua saja yang bicara.

Pasifik Enggan Bicara Papua
Di lain pihak, turunnya Nara di gelanggang PBB bisa dianggap sebagai politik “hemat peluru”. Indonesia terbukti berhasil menjegal keinginan kelompok separatis Papua menjadi anggota penuh Kelompok Negara-Negara Rumpun Melanesia (MSG). Ketika KTT MSG di Honiara, Kepulauan Solomon, Juli lalu, menolak keanggotan kelompok itu karena lobi-lobi intensif dari Indonesia.

Vanuatu bereaksi dan berjanji akan mengadakan pertemuan MSG di bulan September namun batal tanpa penjelasan, kecuali pernyataan singkat dari Sekretariat MSG bahwa pertemuan itu ditunda sampai Desember. Kelompok separatis Papua kecewa berat karena janji palsu Vanuatu.

Untuk menutupi rasa malu, Vanuatu mencoba memanfaatkan Forum Negara-Negara Pasifik yang diselenggarakan di Mikronesia, 7-11 September 2016. Negara ini mendesak agar Papua menjadi agenda pertemuan. Namun gagal karena menurut Sekretaris Jenderal Forum Pasifik Dame Meg Taylor dari Papua Nugini, isu Papua adalah masalah “sensitif” bagi Australia, Selandia Baru, dan Papua Nugini.

Dengan kata lain, tiga negara besar di Pasifik tidak ingin membuat Indonesia tersinggung. Lebih khusus lagi, Australia dan Selandia Baru tidak berani berurusan dengan Indonesia yang rakyatnya sangat nasionalis, apalagi popularitas Presiden Joko Widodo terus berada di atas 50 persen.

Walhasil, dalam komunike akhir, Forum Negara-Negara Pasifik akhirnya hanya mengatakan, para pemimpin kawasan Pasifik memahami sepenuhnya bahwa isu Papua adalah isu politik yang sensitif. Para pemimpin sepakat bahwa isu pelanggaran hak asasi manusia di Papua akan tetap ada dalam agenda mereka.

Mereka juga setuju bahwa adalah penting untuk membuka dialog yang konstruktif dengan Indonesia mengenai isu Papua.

Tentu saja dialog konstruktif yang dinantikan Jakarta. Sebab, jika kita menganalisa pernyataan yang dibacakan Nara bahwa Indonesia punya mekanisme tersendiri dalam menangani masalah HAM di Papua, sebenarnya itu menunjukkan masih ada masalah HAM di provinsi sebelah Timur itu.

Sekarang ini harus diakui ada upaya nyata dan tulus dari pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memperbaiki kondisi di Papua. Semua pihak harus mengawal perubahan ini agar Jakarta tetap konsisten menerapkan kebijakannya tentang Papua. Keberhasilan demi keberhasilan akan bisa membendung separatisme di sana.

Keberhasilan itu pasti akan diungkapkan dalam pertemuan MSG tahun depan yang diadakan di Papua Nugini yang pro-Indonesia.

Dan untuk ini, yang turun gelanggang bukan Nara lagi, tapi mantan bosnya di New York, seorang diplomat berusia 55 tahun jebolan Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga, yang berhasil menjegal upaya kelompok separatis Papua menjadi anggota MSG. Jabatannya sekarang Direktur Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika.

Namanya Desra Percaya.

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.