Jumat, April 26, 2024

Mengapa Kita Berlaku Rasis Pada Tionghoa?

Jelang sore, pada Selasa 5 Februari 2019, di kawasan perumahaan Kompleks Taman Losari 2000, riuh pesta syukur sedang berlangsung. Seorang lelaki tua duduk di kursi, badannya lumpuh kena stroke. Istinya, masih terlihat kuat, rambut penuh uban, berjalan pelan menghampiri setiap tamu. 

Mereka saling tertawa. Si istri membawa amplop merah, membagikannya ke beberapa anak kecil dan tamu yang belum nikah. Lalu sang omah (begitu dalam sapaan keluarga) akan mendapat pelukan. Mereka adalah salah seorang pasangan Tionghoa di Makassar. Dia punya delapan orang anak. 

Hari itu, adalah perayaan imlek.  Anak-anak dan cucunya berkumpul merayakan suka cita itu – tahun baru cina. Pergantian tahun untuk menentukan sio. Di indonesia sejak masa pemerintahan Soeharto selama 32 tahun berbagai hal yang berbau Cina dinyatakan terlarang di Indonesia. Perayaan hingga agama Konghucu dinyatakan tidak boleh. Maka, hanya ada empat pilihan dalam kolom kartu Tanda Penduduk (KTP) yakni, Islam, Kristen, Budha dan Hindu. 

Tapi tahun 2000 ketika Gus Dur menjadi presiden, ia mengeluarkan dekrit untuk menghapuskan aturan yang dianggap diskriminatif. Imlek dan budaya Tionghoa bisa dipertontonkan ke ruang publik. Di Makassar, suasana itu disambut antusias. “Itu seperti kau manghirup udara bersih. Bernafasnya sangat legah dan sejuk,” kata Harry Kumala, salah seorang etnis Tionghoa. 

Diam dan Berdamai

Februari warung kopi sedang ramai di kawasan Pannakukang Makassar. Beberapa orang datang duduk dan memilih tempat. Tanpa mendekati meja layanan, seorang pelayan akan menghantarkan kopi susu. Mereka adalah pelanggan-pelanggan tetap kedai. Pemiliknya seorang keturunan Tionghoa. 

Tak ada warna imlek di kedai itu. Keluarga masih sedang berduka, karena seorang kerabat meninggal dunia – 100 hari yang lalu. Di Makassar, tempat saya bermukim sejak masa kuliah tahun 2002, melihat orang bercengkrama antar etnis rasanya menyejukkan. Tapi semakin lama bergaul, ada begitu banyak hal yang terpendam. 

Tahun 2005, ketika saya dan kawan kuliah, melintas menggunakan angkutan umum – pete-pete – tiba-tiba raungan sirene ambulance dengan iringan kendaraan mengantar seorang Tionghoa, tiba-tiba kawan itu membuka dompetnya. “Biar rejeki masuk ke dompet kita,” katanya. “Kalau ada orang Cina yang meninggal,  buka dompetmu, biar rejekinya lari ke kau,” lanjutnya. 

Maka setiap bertemu iringan pengantar jenasah warga Tiongha, saya selalu ingat adegan bersama kawan kuliah itu. Tahun 2018, seorang kawan lainnya menyarankan untuk tak minum kopi di kedai yang pemiliknya orang Tionghoa. “Buat apa kasi kaya orang Cina,” katanya. 

Tak hanya itu, saya mendengar ungakapan-ungkapan rasis di Makassar. Semua orang yang saya kenal hampir menggunakaannya.  Baik secara serius atau bercanda. Seperti jika saling cerita untuk meyakinkan kebenaran cerita, maka biasanya ada kata; “Ka orang Cna ji bela kau percaya.” (Kau sepertinya hanya percaya orang Cina). 

Jika ada kawan yang pelit, maka ungkapannya;  “Kau kayak orang Cina saja.”

Akhirnya saya terbawa candaan rasis itu. Beberapa kali menggunakannya. Hingga dua tahun lalu berjumpa dengan pengelola kedai kopi. Namanya Prayuda. Dia seorang keturunan Tionghoa. Matanya sipit dan kulitnya putih. “Masa kecil saya jarang mendapat ungkapan sentimen itu. Tapi selalu mendengarnya. Kalau itu ditujukan pada saya langsung, saya berkelahi,” katanya. 

Yuda sapaan akrabnya adalah anak seorang tentara dari Gowa. Ibunya lah yang keturunan Tionghoa. Yuda tak bisa bahasa mandarin. “Jadi saya mungkin Cina yang sudah tidak patuh. Tapi darah saya tetap Tionghoa.” 

Yuda sedang marah, ketika mengetahui sentimen itu terus saja ada hingga kini. Salah satunya adalah kasus Ahok ketika kampanye Kepulauan Seribu Jakarta, dan mengutip surah Al-Maidah tentang pemimpin, dia menemui sentimen yang luar biasa. Majelis Ulama Indonesia, hingga oraganisasi macam Front Pembela Islam menuding Ahok sebagai seorang penista agama. 

Gelombang sentimen meningkat, hingga terjadi gerakan 212. “Karena Ahok adalah Cina. Lalu Kristen. Lalu sentimen itu sampai ke personal Ahok. Saya kira Ahok memang keras, tapi bukan kah ungkapan keras juga di sampaikan Risma (Walikota Surabaya) tapi tetap biasa saja. Karena Risma bukan Cina dan dia juga muslim,” kata Yuda. 

Saya merasakan luapan emosi pada aksi 212 itu. Di beberapa warung kopi di Makassar, saya mendengar ungkapan yang mengerikan. Ancaman, dimana Ahok harus di penjara, karena bila tidak sentimen Cina akan semakin meningkat. Ada banyak dari mereka yang mengingatkan peristiwa kelam di Makassar. 

Sebelumnya di Makassar, pasca kemerdekaan orang-orang Tionghoa menjadi bagian dalam perjuangan. Mereka gigih menentang Belanda dan melakukan perlawanan. Salah seorang bernama Siauw Kok Tjoan menjadikan rumahnya tempat perkumpulan anggota KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) secara sembunyi-sembunyi dan kemudian ditangkap Belanda lalu dieksekusi tahun 1947 di wilayah Mawang. 

Lalu perubahaan besar di Indonesia terjadi pada peristiwa 1965 melalui gerakan September PKI. Hampir semua orang Tionghoa di Indonesia menghadapi kemelut. Komunis dianggap bagian dari Cina. 

Harian Pedoman Rakyat di Makassar pada edisi Oktober dihiasi beberapa iklan perusahaan yang menyatakan diri bersih lingkungan dari organ komunis. Salah satunya pada 19 Oktober 1965, PT. Malino Apotik memasang iklan pernyataan yang menjelaskan pemecatan Ie Kheng Heng (pendiri Ikatan Apoteker Indonesia tahun 155) sebagai pengawas ahli farmasi sekaligus sebagai direktur karena ditengarai terlibat PKI.  

Dampak peristiwa 1965 itu menyebabkan sekitar menyebabkan 2000 toko dan rumah dirusak. Serta ribuan jiwa mengungsi dan atau mencari perlindungan. Banyak orang beranggapan sentimen rasis itu akhirnya bermula di tahun ini, tapi tak ada kejelasan. Tahun 1980 ketika pemilik Toko La yang terkenal di Makassar menghamili pembantunya yang beretnis Toraja terkuak dan si tuan pemilik toko membunuh si perempuan. 

Pembunuhan itu lalu tersebar. Dan membuat semua orang menjadi gusar. Makassar menjadi mencekam. Rumah-rumah terbakar. Dan sentimen kedua terjadi tahun 1998, saat seorang yang mengidap gangguan jiwa membunuh seorang anak kecil usia 9 tahun. Dengan cepat, orang-orang membenci keturunan Tionghoa. Mereka menyisir semua pertokoan yang dikelola warga keturunan. 

Orang-orang menutup tokonya dengan rapat. Mereka merapatkan kasur ke dinding dan jendela. Ada banyak lemparan batu yang meghamburkan kaca. “Seperti serangan yang kau tidak bisa melawan. Hanya menunggu lemparan itu meredah,” kata salah seorang keturunan Tionghoa di Makassar pada saya. 

Tapi itu Makassar, ungkapan rasis itu tidak berhenti di sini. Di seluruh pelosok negeri ini hampir tak ada tempat yang luput. Di negeri paling ujung timur Indonesia, Papua, saya mewawancara Meirella. Usianya 32 tahun. Dia generasi ke empat dari keturnan etnis Tionghoa dari Fam Liem. 

Tapi kini, keluarga ini menggunakan fam Rumfabe. Garis keluarga dari warga Papua yang dinikahi leluhurnya. Meirella bilang, menggunakan fam garis nenek Papua nya adalah agar masyarakat umum menganggapnya bukan sebagai pendatang. 

Tapi ironis, pemilihan fam itu membuat warga lokal melabelinya sebagai warga numpang fam saja. “Kami warga keturunan dibilang penjajah dan tipu fam,” kata Meirella. “Tapi dari kawan papua sentimen dan ejekan itu sedikit baik. Setelah diolok masih diajak bercanda.” 

Tapi disisi berbeda, dari warga keturunan Tionghoa sendiri, yang masih memiliki kulit putih dan rambut lurus, memberi stigma, “kami dihina trus diremehkan. Mereka sebut kami itu darah kotor atau wanna,”katanya. 

Bagi generasi, seusia Meirella bersama warga keturunan Tionghoa yang menikah dengan masyarakat Papua, mereka telah memiliki warna kulit coklat, rambut keriting dan mata sipit.  “Jadi ini dua sisi mata pisau. Warga Papua –tidak semua- menganggap kami berbeda. Tapi keturunan Tionghoa lainnya menganggap kami darah kotor. Jadi mau bagaimana lagi.”

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.