Rabu, Oktober 9, 2024

Mengapa Harus Impor Beras

Kasra Jaru Munara
Kasra Jaru Munara
Ketua DPW PSI Provinsi Sulawesi Tenggara

 

Hampir setiap tahun kita selalu ribut dengan impor beras. Sekarang ini kita kembali mempersoalkan rencana Kementrian Perdagangan RI untuk memberikan izin impor beras sebanyak 1 juta Ton. Alasannya adalah untuk menutupi gap kebutuhan konsumsi beras nasional. Walaupun di sisi lain, pihak Bulog sudah mengungkapkan bahwa persediaan beras per 14 Maret 2021 di gudang Bulog mencapai 883.585 Ton. Bahkan ada banyak stok ex beras impor dari tahun lalu yang terancam “rusak” karena sudah tersimpan lama di gudang.

Kemudian Gubernur Jawa Barat membeberkan bahwa hingga April 2021 mereka memiliki surplus beras 320.000 Ton. Belum lagi beberapa daerah dalam waktu dekat akan melakukan panen raya. Kondisi ini jelas akan menyebabkan harga gabah jatuh sehingga akan sangat merugikan para petani. Bagi banyak kalangan, kebijakan Mentri Perdagangan membuka keran impor adalah kebijakan yang ugal-ugalan. Apalagi kondisi ekonomi masyarakat khususnya petani sudah terpuruk terkena imbas pandemi Covid-19.

Saya pribadi ikut mempertanyakan kebijakan impor beras sekarang ini. Kalau kita melihat data BPS tahun 2020 saja, stock beras nasional mencapai 31,63 juta Ton sementara konsumsi rata-rata nasional kita berada di level 30 juta Ton per tahun (sekitar 2,5 juta Ton per bulan).

Seharusnya ada surplus beras secara nasional. Lantas untuk apa impor beras lagi?

Memang, pesoalan beras nasional ini adalah persoalan serius yang tak kunjung selesai, tidak pernah ada solusi yang berdampak jangka panjang. Kalau kita putar waktu sejarah ke belakang, persoalan beras ini sudah dimulai tahun 1969. Waktu itu, RI ikut dalam gerakan Revolusi Hijau dunia. Berbagai macam kebijakan digelontorkan oleh pemerintah dan negara kitapun selamat dari ancaman krisis pangan. Kita bahkan dianggap sukses melakukan swasembada pangan dan Presiden Suharto mendapat kehormatan berpidato di mimbar FAO (Organisasi Pangan Dunia) tahun 1985.

Akan tetapi kebanggaan itu hanya sesaat karena tahun-tahun berikutnya Indonesia masih harus impor beras lagi walaupun jumlahnya sudah berkurang. Namun ketika badai krisis ekonomi melanda tahun 1997-1998, impor beras RI meroket. Pasca reformasi, sejumlah program recovery dilakukan khususnya sektor pertanian. Alhasil, walaupun kita mampu menekan laju impor akan tetapi kita tidak bisa keluar dari perangkap impor beras hingga kini.

Betulkah alasan impor beras itu untuk menutupi gap kebutuhan beras nasional kita? Betulkah produksi beras nasional kita masih rendah? Lantas bagaimana dengan ratusan trliun dana APBN yang telah dialokasikan untuk program-program peningkatan sentra-sentra produksi? Lantas bagaimana dengan strategi ketahanan pangan nasional kita? Sepertinya rapuh kalau kita hanya berkutat untuk menutupi kebutuhan pangan 1-2 bulan di tahun berjalan. Padahal Ketahanan Pangan yang baik itu harus ditopang oleh cadangan pangan minimal hingga 6 bulan kedepan.

Bagaimana dengan strategi jangka panjang, misalnya antisipasi terhadap lonjakan penduduk?

Perlu diingat bahwa bangsa Indonesia saat ini merupakan salah satu pengkonsumsi beras terbesar di dunia dengan konsumsi rata-rata sekitar 112-120 kg per kapita per tahun. Sementara negara-negara tetangga seperti Cina hanya mengkonsumsi 90 kg, India 74 kg, Tailand 100 kg, dan Filipina 100 kg. Tapi yang menarik adalah kemampuan produksi beras mereka melebihi kebutuhan konsumsi dalam negeri mereka sendiri. Inilah yang harus kita pikirkan. Mengapa negara tetangga mampu menggenjot laju produksi beras mereka melebihi kebutuhan konsumsi mereka.

Menurut saya, perlu ada langkah-langkah yang radikal. Namun sebelum itu, kita harus melakukan pendekatan secara menyeluruh terhadap persoalan yang ada. Pendekatan bisa kita bagi ke dalam 2 bagian yaitu hulu dan hilir.

Bagian hulu ini dimulai dari distribusi bantuan modal kerja, bibit, pupuk dan alsintan, penyuluhan, pengembangan skill, pengendalian hama, waduk/embung, irigasi, ketersedian lahan sawah atau luas panen hingga penjualan.

Masing-masing komponen ini perlu pembenahan. Sebagai contoh masih banyak petani atau gapoktan sulit  mendapatkan akses ke bibit dan pupuk, bantuan alsintan yang diselewengkan atau diperjualbelikan oleh oknum atau dijadikan alat barter dukungan politik, masih banyak sawah tadah hujan atau menggunakan sumur bor, masih banyak sawah yang hanya bisa panen sekali setahun, lahan panen belum maksimal, tekanan rentenir yang membuat petani terpaksa menjual sawah mereka, praktek ijon dan permainan harga oleh tengkulak. Belum lagi banyak lahan masyarakat yang dikuasai oleh Izin Usaha Pertambangan atau kegiatan expansif korporasi. Banyak sawah berubah fungsi menjadi pemukiman.

Sementara bagian hilir meliputi penampungan gabah kering giling, kemampuan giling, tingkat konversi, distribusi dan pemasaran. Suatu hal yang sangat penting dan krusial adalah transparansi sirkulasi atau distribusi gabah dan beras baik yang dikelola oleh swasta maupun oleh pemerintah (BULOG). Peran BULOG harus lebih besar dalam menampung hasil panen dari petani. Praktek monopoli dan “mafia beras” harus dihilangkan.

Kalau kita melihat peta per-beras-an (gambar terlampir), konon Bulog hanya mampu mengelola sekitar 5% dari semua Gabah Kering Giling (GKG). Sebagian besar dikelola oleh swasta. Para petani kita lebih banyak dalam kendali pihak swasta melalui praktek ijon dan jaringan para tengkulak. Bahkan konon impor beras merupakan bagian dari permainan harga para tengkulak berdasi. Allahualam bissawab.

Kasra Jaru Munara
Kasra Jaru Munara
Ketua DPW PSI Provinsi Sulawesi Tenggara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.