Atmosfir musim haji tahun 2016 sudah mulai terasa. Gelombang pertama rombongan jemaah haji Indonesia bahkan sudah menginjakkan kaki di kota suci Madinah al-Munawwarah, Arab Saudi. Dalam satu bulan ke depan, pemberitaan seputar haji akan menghiasi media arus utama.
Gaung ibadah haji yang terus makin terasa ini membangunkan kembali ingatan perjalanan haji yang saya jalani satu tahun lalu (2015). Karenanya, saya akan berbagi pengalaman berhaji ke Tanah Suci kepada Anda, pembaca. Narasi ini bersifat personal. Namanya juga berbagi pengalaman.
Sebagai anggota jemaah haji reguler, bukan haji plus, saya meninggalkan tanah air cukup lama pergi ke Tanah Suci, sekitar 40 hari. Yang saya rasakan, saat pergi haji, ada suasana “travelling”, meski tak sepenuhnya. Ya, kita harus siap dengan segala kemungkinan, kejutan-kejutan yang mungkin muncul.
Satu-satunya jadwal tentatif orang berhaji adalah proses ritual haji itu sendiri yang memakan waktu sekitar empat hari di kota suci Mekkah. Sisanya tergantung kita sendiri.
Tentu saya ingin menikmati seluruh proses haji, tak hanya karena tempat tujuannya (the destination) tapi juga proses perjalanannya (the journey). Maka, saya mempersiapkan diri sejak jauh hari.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa ibadah haji sejatinya adalah “ibadah fisik”. Artinya, kita dituntut memiliki fisik yang prima untuk menjalaninya. Ritual haji seperti thawaf (mengelilingi Ka’bah tujuh putaran), sa’i (berjalan dari bukit Safa ke Marwah), melempar jumrah, bahkan wuquf (berdiam diri) di Arafah, dan lain-lain merupakan bukti haji adalah “ibadah fisik”. Apalagi sudah menjadi “tradisi”, lokasi penginapan yang ditinggali jemaah haji Indonesia jaraknya cukup jauh dari Masjidil Haram.
Ketika mendapat informasi dari pemerintah bahwa saya mendapat “panggilan” haji tahun 2015, hal yang harus saya lakukan adalah mempersiapkan fisik yang prima. Ini tantangan berat bagi saya, karena pada saat itu saya mengalami obesitas.
Dengan kondisi badan yang “bergelambir” tentu saya khawatir tak bisa menikmati pergi haji ini, khawatir mudah kelelahan atau sakit. Dan sejak itu saya membulatkan tekad mengatasinya. “Jihad” saya berhasil, dalam waktu 3 bulan berat badan turun 10 kilogram.
Selain fisik, perlu juga persiapan mental, di samping tentu harus beradaptasi dengan iklim cuaca yang ekstrim. Kita semua paham bahwa musim haji adalah berkumpulnya umat Islam dari berbagai suku bangsa dan negara, dengan beragam kultur budaya yang berbeda dalam satu waktu dan tempat.
Seiring mendekati prosesi haji, kota suci semakin disesaki manusia. Fasilitas publik seperti transportasi dan toilet semakin tidak memadai, karena jumlah manusia semakin membludak. Penjagaan di Masjidil Haram, Mekkah, diperketat, akses masuk ke tempat tersebut semakin sulit dan terbatas. Ya, karena aparat keamanan melakukan sistem “buka-tutup” dengan memasang barikade tanpa batas waktu yang pasti, atau dialihkan ke jalur lain.
Akibatnya, tak sedikit jemaah haji yang terpisah dengan rombonganya; paling buruk nasibnya adalah tersesat mencari jalan pulang. Sebenarnya tersesat di lokasi seperti Masjidil Haram yang bangunannya “maha luas” dan pengunjungnya “maha banyak” adalah keniscayaan. Jadi, jangan sampai Anda frustasi, apalagi stress, menghadapi situasi ini.
Dalam musim haji umat Islam yang berkumpul di Tanah Suci tak hanya datang dari beragam suku bangsa dan negara, tapi juga aneka mazhab atau aliran dalam Islam. Tak perlu kaget atau merasa aneh dengan praktik peribadatan yang berbeda.
Menyaksikan kebersamaan umat Islam dari beragam lintas mazhab, suku, bangsa, negara, dan budaya di musim haji, bagi saya adalah pengalaman spiritual yang luar biasa. Peristiwa yang mungkin sulit didapati pada sebuah ibadah, selain di ibadah haji.
Semangat dan nilai kebersamaan umat Islam pada musim haji di Tanah Suci ini sepatutnya bisa dibawa para jemaah haji saat kembali ke tanah air. Demi terjalinnya kerukunan umat.
Jika kerukunan antar-umat beragama di Indonesia bisa terwujud, kerukunan intra-umat beragama lebih bisa diwujudkan, bukan?