Jumat, Maret 29, 2024

Mengapa Agenda Reforma Agraria Jokowi Gagal

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)

Sisa usia pemerintahan duet Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tinggal menghitung hari. Sayangnya, hingga di ujung akhir jabatan pelaksanaan reforma agraria seperti dijanjikan di awal pemerintahan banyak mengalami sumbatan. Reforma agraria yang diyakini menjadi jalan untuk mengoreksi ketimpangan yang menganga ternyata berjalan bagai siput.

Hingga jelang akhir pemerintahan Jokowi-JK rasa keadilan bagi warga dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber agraria nasional, terutama tanah, belum hadir. Yang terjadi kemudian ketimpangan penguasaan tanah yang akut di segelintir orang tetap lestari.

Catatan-catatan sebelumnya menunjukkan betapa timpangnya penguasaan tanah di negeri ini: 0,2% penduduk menguasai 56% aset nasional dengan konsentrasi aset 87% dalam bentuk tanah. Ini berarti aset nasional hanya dikuasai 440 ribu orang (Winoto, 2008). Sebaliknya, 49,5% petani di Jawa dan 18,7% petani luar Jawa tuna tanah. Kondisi ini nyaris tak berubah dalam 70 tahun terakhir (Moh. Tauchid, 1952).

Dari identifikasi masalah diketahui penyebab mandeknya reforma agraria 5 tahun terakhir: kebijakan reforma agraria dan perhutanan sosial prematur. Kebijakan tersebut, baik target, luas, lokasi, infrastruktur pendukung maupun penerima manfaat, dibuat tidak berdasarkan kondisi riil di lapangan. Kebijakan dibuat lebih oleh dorongan keberanian ketimbang kecermatan. Karenanya penting merawat keberanian untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan mendesak. Sudah tentu, terutama, untuk akselerasi reforma agraria.

Salah dua “keberanian” Jokowi-JK adalah terbitnya Peraturan Presiden Reforma Agraria No. 86/2018 dan Inpres Moratorium Sawit di perkebunan. Tampak ada kemauan politik presiden mengenai reforma agraria. Perpres ini menjadi panduan agar kementerian yang bertugas menjalankan reforma agraria berjalan sinergis dan kolaboratif.

Memang, ada kritik terhadap substansi Perpres Reforma Agraria. Yang jelas, Perpres telah keluar dari peti es selama satu dekade pemerintahan SBY. Mandat dalam Perpres ini juga telah memperkuat regulasi yang ada: UUD 1945, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960, dan TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

Masalahnya, hingga saat ini Kemenko Perekonomian sebagai Ketua Tim Reforma Agraria Pusat belum banyak bergerak. Begitu pula Gugus Tugas Reforma Agraria nasional yang dipimpin oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI. Kementerian terakhir ini lebih fokus mengakselerasi legalisasi aset lewat sertifikasi tanah.

“Prestasi” ini selalu dibangga-banggakan. Padahal, alih-alih memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah, kebijakan ini bisa-bisa justru mengakselerasi liberalisasi pertanahan Bank Dunia dalam sistem pasar tanah. Semestinya Kementerian ATR/BPN fokus meredistribusi tanah kepada petani kecil dan buruh tani, baik dari HGU maupun kawasan hutan, selain mengurus konflik agraria.

Satu dekade era Susilo Bambang Yudhoyono dan  hampir 5 tahun duet Jokowi-JK, konflik agraria di wilayah perkebunan selalu menempati posisi pertama. Periode 2015–2018, Konsorsium Pembaruan Agraria (2019) mencatat terjadi 1.771 konflik agraria, 642 di antaranya terjadi di sektor perkebunan yang melibatkan HGU-HGU perusahaan negara dan swasta. Tingginya eskalasi konflik menandai reforma agraria belum berada di jalur yang benar. Selain menata ulang struktur penguasaan sumber-sumber agraria yang timpang menjadi struktur penguasaan baru yang lebih adil, reforma agraria sejatinya untuk mengakhiri konflik.

KPA mencatat dua hal terkait pelaksanaan reforma agraria 4,5 tahun terakhir. Pertama, realisasi redistribusi tanah belum menyasar akar masalah. Duet Jokowi-JK membagi program 9 juta hektare program reforma agraria menjadi: 400 ribu hektare redistribusi tanah dari HGU kadaluwarsa dan ditelantarkan perusahaan; 4,1 juta hektare redistribusi tanah dari pelepasan klaim kawasan hutan; 3,9 juta hektare legalisasi aset; dan 600 ribu hektare legalisasi tanah transmigrasi yang belum disertifikasi.

Aksi demonstrasi APRST menolak Reforma Agraria Palsu Jokowi-JK pada Hari Tani Nasional 2017.

Dari sasaran 400 ribu hektare, per Oktober 2018, baru tercapai 270-an ribu hektare. Itu pun hanya 785 hektare yang sesuai prinsip reforma agraria: daerah konflik dan sesuai sasaran. Sementara 4,1 juta hektare sasaran pelepasan kawasan hutan yang padat konflik belum ada realisasi.

Kedua, sempitnya ruang partisipasi rakyat. Seperti ditengarai selama ini, reforma agraria dirakit top down. Tak melibatkan warga akar rumput dan organisasi tani. Dalam kurun waktu 4 tahun, KPA bersama serikat petani dan organisasi masyarakat adat telah mendata Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di kawasan hutan dan perkebunan. LPRA ada di tanah seluas 668.383 hektare, melibatkan 147.446 KK dan tersebar di 461 desa, 98 kabupaten dan 20 provinsi. Di lokasi ini ada kesesuaian obyek dan subyek penerima reforma agraria. Sayang data yang ada di tangan pemerintah ini belum disentuh.

“Warisan” yang buruk ini harus diselesaikan oleh duet pemenang Pemilu Presiden 2019: Jokowi-Ma’ruf Amien selama memerintah 5 tahun mendatang. Untuk mengakselerasi reforma agraria, rekomendasi KPA (2019) bisa menjadi petunjuk kunci. Pertama, membentuk Badan Otoritas Reforma Agraria yang bersifat lintas sektor, partisipatif dan langsung dipimpin Presiden. Karena reforma agraria hanya sementara, badan ini sifatnya ad hoc.

Kedua, memfokuskan agenda reforma agraria di wilayah prioritas, sesuai usulan masyarakat. Ketiga, membuka informasi kepada publik konsesi perusahaan perkebunan negara dan swasta untuk mendorong terciptanya sistem pertanahan yang transparan.

Keempat, menghentikan pendekatan keamanan dan represif dalam menangani konflik agraria. Terakhir, redistribusi lahan perlu dilengkapi dengan program pendukung: seperti akses kredit, teknologi, pasar, manajemen, dan infrastruktur.

Baca juga

Menyematkan Kembali Sebutan Negara Agraris

Sawit dan Kekerasan sebagai Jalan

Reformasi Agraria yang Semu

Menyoal (Kembali) Reforma Agraria

Kekhawatiran Bagi-Bagi Sertifikat ala Pak Presiden

Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010 - sekarang). Penulis 6 buku dan menyunting 12 buku. Salah satunya buku ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.