Jumat, April 26, 2024

Meneropong Wajah Korupsi [Catatan Hukum 2016]

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman (ketiga kanan) menyapa jaksa penuntut umum usai sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (29/11). Majelis hakim menolak keberatan yang diajukan Irman Gusman dan tim kuasa hukumnya. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/ama/16.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman (ketiga kanan) menyapa jaksa penuntut umum usai sidang putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (29/11). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/ama/16.

Terlalu banyak peristiwa hukum yang mesti ditulis sebagai refleksi akhir tahun 2016. Karena itu, rasanya ruang di kolom ini tidak cukup untuk mengurai berbagai kejadian penting itu. Hal yang pasti adalah, sepanjang tahun 2016 ada beberapa kasus korupsi yang berhasil diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebut saja, misalnya, penangkapan atas Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta; operasi tangkap tangan penyidik KPK kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) Irman Gusman. Demikian pula penangkapan atas anggota DPR RI Dewi Yasin Limpo. Tak ketinggalan juga peristiwa penangkapan atas pengacara kondang O.C Kaligis, dan beberapa hakim di PTUN Medan karena dagang perkara. Terakhir penangkapan atas Rohadi, seorang Panitera Pengganti di Pengadilan Jakarta Utara, yang kini telah mendekam di balik jeruji besi.

Kasus-kasus korupsi tersebut dalam setahun terakhir menjadi tontonan memilukan bagi kita yang mencintai Indonesia. Pemangku kekuasaan kelihatannya begitu mudah mengkhianati kepercayaan rakyat demi korupsi. Kejahatan ini bahkan telah berhasil menginfeksi tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Alhasil, korupsi kita sebut sebagai the roots of all evil.

Kombinasi Cabang Kekuasaan
Charles-Louis de Secondat Baron de Montesquieu dalam L’Esprit des lois memperkenalkan sebuah konsep yang ia sebut trias politica (1755). Kala itu ia memisahkan tiga cabang kekuasaan, yakni pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, dan yang mengadili pelanggaran atas undang-undang. Dalam bahasa ketatanegaraan modern, pengemban kekuasaan tersebut biasa disebut sebagai legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Menurut sejarahnya, pemisahan ini bertujuan mencegah absolutisme raja (arbitrary power), sebab absolutisme menjadi stimulan terciptanya sistem pemerintahan otoriter non-demokratis yang ujungnya adalah memuluskan terjadinya korupsi. Dalam pemerintahan yang otoriter pula tindakan raja atau kepala negara menjadi sulit terkontrol sehingga sangat rentan disalahgunakan, termasuk dalam hal mengelola keuangan negara.

Intinya ada hubungan yang begitu kompleks antara kekuasaan dan korupsi. Atas dasar itu, sejarawan Lord Acton mengemukakan semacam postulat: power tends to corrupt and absolut power to corrupt absolutely. Bahwa kekuasaan itu cenderung korupsi dan kekuasaan yang absolut, korupsinya juga absolut.

Dalam konteks Indonesia, perilaku korupsi adalah suatu entitas yang sulit dipisahkan dengan tiga cabang kekuasaan ini. Bila kita perhatikan kasus-kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini, jelas bahwa perbuatan yang hina dan haram itu telah melintasi batas-batas pemisahan kekuasaan. Ia begitu mudah membobol benteng integritas dan kepercayaan publik.

Bila di masa Orde Baru korupsi lebih identik dengan eksekutif, pasca reformasi kasus-kasus korupsi justru melekat di tubuh legislatif dan yudikatif. Tidak terhitung sudah berapa anggota DPR yang dibui karena korupsi. Demikian pula sudah berapa banyak polisi, hakim, advokat, dan jaksa yang dipidana karena menjadi sapu kotor. Aparat yang sehari-hari ditugaskan oleh negara untuk memberangus korupsi malah harus ikut dibersihkan.

Fenomena ini jauh-jauh hari sebetulnya telah diramalkan oleh Robert Klitgard, profesor dari Harvard University, dalam Corrupt Cities, A Practical Guide to Cure and Prevention (2000). Ia berujar bahwa korupsi adalah kombinasi antara monopoli kekuasaan (monopoly power) didukung kewenangan membuat keputusan (discrection by officials) namum minim pertanggungjawaban (acoountability).

Secara singkat Klitgard merumuskannya: C= M+D-A. Rumus ini menemukan pembenaran empirik dalam dimensi korupsi di Indonesia. Pada proyek pengadaan barang dan jasa, misalnya, korupsi dilakukan sejak tahap perencanaan di eksekutif, tahap pembahasan di legislatif, dan tak juga ketinggalan pengaturan perkaranya di yudikatif. Inilah yang saya sebut sebagai kombinasi pada tiga cabang kekuasaan.

Kejahatan Kerah Putih
Berbicara tentang korupsi tidak dapat dipisahkan dengan aktornya. Kejahatan ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu. Prototipenya bukanlah sosok sembarangan, melainkan orang yang memiliki kapasitas dan pengaruh yang signifikan. Ia bisa bersemayam tak hanya di legisltaif dan eksekutif tetapi juga di yudikatif.

Karena itu, di tahun 1939, seorang sosio-kriminolog di Chicago University bernama Edwin H. Sutherland berpidato di hadapan American Sociological Society dan memperkenalkan istilah white collar crime. Pada awalnya istilah ini dibuat oleh Sutherland untuk membedakan antara kejahatan kelas atas (crime in the upper or white collar class) dan kejahatan kelas bawah (crime in the lower class).

White collar class digambarkan sebagai criminal activity by persons of high social status and respectability who use their occupational position as a means violate the law (dilakukan oleh seseorang yang memiliki status sosial tinggi, dihargai, dan menggunakan jabatannya untuk melakukan pelanggaran hukum). Sedangkan crime in the lower class bercirikan seseorang yang memiliki status sosial rendah.

Bila memang demikian, maka kejahatan kerah putih adalah wujud lain dari tindak pidana korupsi. Perbuatan durjana ini tentu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki posisi penting dan terhormat. Pendeknya, korupsi berkelindan dengan pemangku kekuasaan yang bermental buruk.

Ada konspirasi yang begitu rapi antara seseorang yang berkuasa dengan pebisnis, birokrat, dan politisi. Atas dasar itulah korupsi begitu sulit diendus bahkan hampir tidak tersentuh. Kebiadaban koruptor digambarkan oleh Syed Hussein Alatas dalam Corruption and the Destiny of Asia (2002) seperti monster raksasa yang kejam, dingin, dan tidak berperasaan menutup tiga cabang kekuasaan sehingga merasa dirinya tidak terkalahkan.

Hal itu kemudian disokong oleh filsafat kejahatan kerah putih (baca: korupsi) seperti ditegaskan Giriraj Shah dalam White Collar Crime: sukses dan keuntungan material adalah dua hal yang terpenting dalam kehidupan dan pencapaiannya, seseorang tidak harus ragu-ragu untuk melakukan perilaku tidak etis.

Pada titik inilah mengapa integritas itu begitu penting. Sebab, hanya integritas yang dapat menjamin kemenangan kita dalam menghadapi perilaku tidak etis, termasuk menggaransi keberhasilan kita memerang korupsi. Spencer Johnson, penulis buku One Minute Manager, berujar bahwa integritas itu mengatakan kebenaran pada diri sendiri dan kejujuran adalah mengatakan kebenaran pada orang lain.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.