Selasa, Oktober 8, 2024

Menegakkan Hukum, Mengorbankan Konstitusi

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

dom-1453376707Sejumlah pendukung calon kepala daerah berfoto di sela-sela sidang putusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (21/1). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Wali Kota, dan Wakil Wali Kota telah menunjukkan tajinya.  Para hakim Mahkamah Konstitusi sudah mengetuk palu yang menolak seluruh perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) kepala daerah dengan selisih suara melebihi kisaran 0,5-2 persen.

Ambang batas pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil pilkada memang menjadi polemik sejak Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan hasil pilkada. Barangkali inilah situasi anomali saat MK harus memilih putusan yang sulit. Apakah akan menegakkan hukum tertulis atau akan memilih jalan progresif dalam memutus perkara PHP kepala daerah.

Pertimbangan hukum MK diawali dengan kewenangan MK mengadili perkara PHP kepala daerah berdasarkan Pasal 157 UU No. 8/2015 dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. MK menyatakan bahwa kewenangannya merupakan kewenangan non-permanen, transisional, dan kewenangan tambahan.

Selanjutnya MK berargumentasi bahwa keberadaan Pasal 158 UU No. 8/2015 terkait ambang batas pengajuan permohonan merupakan bentuk rekayasa sosial terhadap penyelenggaraan pilkada. Sayangnya, argumentasi rekayasa sosial tidak sebangun dan tidak dapat dilogikakan dengan pengaturan ambang batas.

Hal yang juga tidak dapat terjelaskan secara sempurna oleh MK dalam putusannya adalah apa hubungan ambang batas dengan rekayasa sosial sebagai tujuan pembentukan sehingga muncul angka 0,5-2 persen. Menurut MK, ketentuan mengenai ambang batas PHP kepala daerah lebih kental nuansa bagaimana membangun kesadaran hukum dan berpolitik agar tidak serta-merta menggugat suatu hasil pilkada ke MK. Dengan demikian, penegakan hukum PHP kepala daerah harus taat asas dan taat hukum.

Akan tetapi MK lupa bahwa terdapat pengabaian nilai kebenaran dalam jumlah lebih besar jika ia menerapkan pasal 158 secara murni dan konsekuen. Sebab, dengan menerapkan pasal 158 secara murni dan konsekuen, MK telah menutup kesempatan para pencari keadilan dengan dalil ambang batas. Yang lebih gawat,  secara tidak langsung MK membuka kesempatan bagi orang-orang yang memang berniat memenangi pilkada secara curang.

Hal tersebut cukup dilakukan dengan hanya merancang selisih suara kemenangan di atas ambang batas yang telah dinyatakan pada pasal 158. Walaupun akan ada perkara PHP kepala daerah yang diajukan ke MK, kemenangan dalam pilkada pasti diperoleh. Sebab, selisih suara telah berada di atas ambang batas PHP kepala daerah sesuai ketentuan pasal 158.

Terlepas dari itu semua, seyogyanya tidak satu pun dalil yang bisa membenarkan bahwa pada setiap proses hukum di institusi peradilan diperbolehkan mengenyampingkan nilai kebenaran atau keadilan dalam takaran apa pun. Bayangkan jika semua peradilan di Indonesia juga punya ambang batas nilai yang dapat diperkarakan.

Dampak positifnya tentu jumlah perkara yang akan ditangani dan diputus oleh institusi peradilan akan berkurang. Namun akan berapa banyak pencari keadilan (justiciabelen) yang harus kehilangan haknya karena adanya ambang batas perkara? MK sepertinya lupa bahwa berperkara di institusi peradilan tak hanya mencari kemenangan, tapi juga mencari nilai kebenaran baik formil maupun materil.

Dengan menggunakan argumentasi bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial, secara a contrario para tergugat/termohon akan menjebak MK dalam perkara PHP maupun pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Meski dalam kedua jenis perkara tersebut betul-betul telah merugikan hak konstitusional warga negara. Sebab, dalil hukum sebagai alat rekayasa sosial bisa dipergunakan sebagai alasan dari cita-cita dan semangat pembentukan undang-undang apa pun.

Pendeknya, materi undang-undang tersebut sejatinya merugikan hak konstitusional warga negara. Perihal ambang batas pengajuan permohonan pembatalan hasil pilkada, sebagai pengawal konstitusi dan demokratisasi, MK semestinya tidak hanya berpatokan pada aspek prosedural. Ia juga harus melihat aspek substansial dari kasus pengajuan permohonan pembatalan hasil pilkada.

Menjamin suara rakyat terdistribusi secara benar dalam pemilu merupakan bentuk menegakkan nilai-nilai kedaulatan rakyat yang dinyatakan secara eksplisit dan terkandung di dalam UUD 1945 tanpa mengenal adanya ambang batas. Apalagi MK sendiri pernah menyatakan kalau MK tidak boleh terjebak dalam keadilan prosedural semata.

Kini, setelah MK tetap berpegang teguh pada Pasal 158 UU No. 8/2015, mau tidak mau, revisi atas Undang-Undang Pilkada semakin mendesak untuk disegerakan. Khususnya menyangkut ambang batas perkara PHP kepala daerah. Jika tidak direvisi, ke depan kepala daerah hasil menang curang berpotensi besar akan muncul dan masif. Dan MK hanya akan menjadi mahkamah corong undang-undang dalam perkara PHP kepala daerah.

M. Nurul Fajri
M. Nurul Fajri
Alumni Program Magister Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.